Saturday, November 23, 2013

MUJAHID JANGKRIK 1


Aku mulai kenal pengajian kelas 2 SMP. Waktu itu aku tidak percaya yang namanya jatuh cinta, karena materi materi yang aku terima dari pengajian melarang untuk berpacaran. Tapi pada kenyataannya,ada seorang akhwat yang membuatku bergetar, ketika kelas 2 SMA. Aku beranikan diri untuk melamarnya, karena aku tidak mau pacaran, dosa.
Dia memintaku untuk menamatkan SMA dulu. Aku ikuti maunya, aku bersabar menunggu. Ketika aku lulus SMA, dia mengatakan,” kalau akhi mencintaiku ….” dia memintaku melakukan sesuatu, juga kuturuti permintaannya.

Aku terperangah membaca smsnya, membayangkan remaja kelsa dua SMA melamar seorang wanita untuk menjadi istri. Setahuku, remaja seusia itu sedang gencar gencarnya tebar pesona dengan berbagai macam gaya, sehebat hebat dan senekad nekadnya, mereka paling nembak cewek, ngajak jadian, ngajak pacaran, tapi yang ini?

Aku langsung teringat pada pelatihan parenting yang aku ikuti tujuh belas tahun lalu, membicarakan tentang bagaimana cara menanamkan life skill pada anak. Saat itu salah satu pembicara mengatakan, dia membayangkan, anak anak dengan life skill yang baik akan menjadi pemuda yang pada umur 15 tahun berani melamar seorang wanita untuk membentuk keluarga karena sudah mampu. 
Saat itu peserta pelantikan serempak geer. . .tertawa, kami fikir sekedar banyolan, intermezo supaya peserta tidak mengantuk, tetapi setelah dijelaskan, ternyata hal itu bukan hal yang mustahil. Justru ketika seorang pemuda bagus life skillnya, ketika masanya gejolak mudanya membahana, maka penyalurannya pada hal yang diridhoi Allah, pernikahan.

Kulanjutkan membaca smsnya.

Sampai saatnya tiba, aku kembali mengajukan lamaran kepadanya. Sebelum berlanjut pada proses berikutnyanya, dia jatuh sakit sampai Allah mengambilnya. 
Aku kehilangan cinta pertamaku. 
Kau bisa bayangkan bagaimana perasaanku? Hancur! Aku merasakan kehancuran dalam hidup, kehilangan pegangan, tak tentu arah melangkah, hilang konsentrasi. Aku terpuruk, benar benar aku terjerembab, jatuh, tak sanggup bangun

Itu lima tahun yang lalu, hingga beberapa hari lalu kuputuskan untuk mengakhiri kesedihanku, bersamaan dengan kutemukan namamu di brosur, lalu ku catat no hp mu dan kuberanikan diri kirim sms.

***
Aku ingat kejadian 4 hari yang lalu, selesai sholat dhuha, kutemani anakku yang terkecil bermain, sambil beresan rumah, ada suara nada panggil dari hp, anakku berlari mengambilnya.

“ Mi, ada sms,” katanya sambil menyerahkan padaku.

“ Terima kasih.” kataku.

Sama sama umi sayang,” jawabnya sambil berlari ke tempat bermainnya. Ah,  anakku memang menggemaskan.

Assalamu’alaikum, saya Habib, apa saya boleh berkenalan? Di mana rumah anda? Apa anda bersedia saya lamar?

Tertulis pesan di hp, kuulang ulang membacanya, tidak salah.
Lha … lha … lha … apa apaan ini? Tanpa membalas salam, langsung sms kubalas dengan nada ketus,

Katakan ! dari siapa dapat no saya ?

Subhanallah, saya dapat brosur dari ustadz saya, afwan jiddan kalau tidak berkenan.

Lho ? Afwan jiddan ? itukan bukan ucapan sembarangan? Setahuku itu ungkapan yang ada di internal, he he he maksudku dikalangan aktivis pengajian.

Akhi ikut tarbiyah ya? tanyaku melunak.

InsyaAllah, ukh..

Eh, koq aku sebel dijawab begitu?

Hey akhi, ustadz antum siapa ? koq sikap akhi seperti itu? Apa di tarbiyah diajarkan seperti itu? tanyaku dengan nada tinggi.

Ukhti! Coba diteliti ucapan saya tadi, bukankah itu tuntunan Islam, proses dalam mencari istri ? pertama saya tanya ukhti siapa, rumah dimana = ta ‘aruf, kedua apakah bersedia saya lamar ? = khitbah, ketiga kalau ukhti jawab ya, proses ketiga, menikah..

Ha ha ha, naïf banget nih ikhwan, ah kerjaiin dikit ah, sifat isengku kambuh.

Akhi, ya memang begitu urutannya, teorinya, tapi ya nggak saklek amatlah, kan akhi belum tahu saya akhwat apa ummahat?

Dalam hatiku tertawa terpingkal pingkal, bahkan sampai tertawa sungguhan, sekalian bercanda dengan si kecil.

Kalau begitu, boleh saya tahu, ukhti akhwat atau ummahat?

Akhi, saya ummahat dengan 6 orang anak, usia hamper kepala lima, jadi lamaran ditolak.

Apa di situ tidak ada akhwat?

Ihhh, nekad juga orang ini?

Ada, anak anak saya, masih kecil.

Anak umi nggak apa apa deh.

Heh, ketuaan nanti, jawabku, masih merasa lucu, tapi aku merasakan adanya keakraban dalam dialog dengan sms tersebut.

Kupikir selesai, ternyata ?
***
Sore hari setelah sholat Ashar, hp berbunyi tanda panggilan masuk. Aku tak terbiasa meneliti no telfon yang masuk sebelum kuangkat, biasanya juga Abi, anak anak, tetangga, teman pengajian atau pasien.

“ Assalamu”alaikum.”

“ Wa’alaikum salam,” diam sejenak.

“ Maaf, ini siapa?” tanyaku

“ Umi, ini Habib, yang tadi sms.”

“ Ooo, ada apa Bib?” tanyaku, lho? Aku heran dengan suaraku sendiri, koq bisa langsung akrab seperti dengan teman temanku atau dengan anakku ya? Padahalkan belum kenal-kenal amat dengan si Habib?

Tut . . .tut . . .tut. . .  terputus, mungkin pulsanya habis.

Mau ngomong apa lagi si Habib sampai nelfon? Rasanya tadi sudah selesai? Sudah kujelaskan semua? 

Apalagi ya? Entahlah ….
***

No comments:

Post a Comment