Sunday, November 24, 2013

MUJAHID JANGKRIK 2


Esoknya, siang hari ketika aku sedang menunggu teman yang akan pergi bersama ke pengajian, Habib sms lagi.

Umi, boleh ngobrol lewat sms?

Boleh kalau memang ada yang mau ditanya.

Eh, temanku sudah datang untuk berangkat bersama.

Sudah dulu ya, Umi mau berangkat pengajian.

Salam untuk akhwat yang cantik ya,.aku senang dengan akhwat yang berkacamata dan kelihatan pintar. 

Wah! Itu mah Umi banget ( 25 tahun lalu ) he he he, isengku nongol lagi.

Yeee .. Umi, udah keduluan Abi juga. Kalau saja aku ketemu sebelum Abi memiliki Umi?

Uuuuuuu. . . telat lahir! ejekku.

Koq setiap smsan dengan Habib aku merasakan seperti smsan dengan sulungku yang ada di Jakarta Ya? Enak, penuh canda, menyegarkan.

Mungkin ini kesalahanku. Mungkin ini ketidak pekaanku. Mungkin ini yang mengawali terjadinya kisah aneh ini.
***
Malam harinya, sekitar jam 21, anak anak sudah tidur, Abi sedang mengisi majlis ta’lim di masjid kompleks, terdengar tanda sms masuk, siapa ya?

Umi sedang apa?  yaah, Habib lagi.

Ini ada yang sedang diselesaikan.

Umi, aku akan katakana sesuatu padamu, ana uhibbukifillah, aku mencintaimu karena Allah.

Lho .. lho … lho … apa apaan si Habib?

Nggak ada angin, hujan apalagi badai eh asal ceplos saja. Tapi okelah, ini anak muda, darahnya masih panas, aku yang sudah dewasa harus lebih bisa menahan diri.

Cinta karena Allah selalu bermuara pada peningkatan ma’rifah dan ketaatan kepada syariatNya.

Aku yakin dengan perasaanku. Getaran getaran ini yang dulu pernah kurasakan, aku tidak pernah melupakan itu.

Tetapi cinta karena Allah tidak akan pernah melanggar syariatNya

Syariat mana yang kulanggar Umi? Apakah menyatakan cinta melanggar syariat? Bukankah tidak ada larangan?

Aku terdiam, tak berani jawab, walaupun hatiku tidak setuju, tapi aku belum punya dalilnya.

Mungkin dia benar, diakan hanya bilang cinta karena Allah? Bukankah kita biasa dengan hal itu? Tapi biasanyakan antar sesama jenis atau pernyataan kepada jamaah ketika ada majelis? Lha ini antara laki laki dewasa dan perempuan dewasa, bukan mahram lho? Apalagi istri orang? Smsan malam itu berakhir menggantung seperti itu.
***
Jam 4 pagi, seperti biasa aku terbangun. Sempat tergagap karena sedikit lebih siang daripada biasanya. 

Tanganku meraba bawah bantal, mencari hp, ternyata mati. Segera kuaktifkan kembali, ternyata ada 2 pesan masuk.

Umi!  aaah, si Habib lagi, itu sapaan ketika dia izin masuk untuk komunikasi lewat sms, kulihat waktu kirim, masyaAllah, 00.05.

Aku nggak bisa tidur, selalu memikirkanmu

Kudiamkan saja, tidak ku balas. Hp memang selalu ku sanding dan dalam kondisi aktif. 
Kondisiku mengharuskan aku seperti itu, ibuku sudah sepuh, tinggal bersama adikku, yang selalu kunanti khabar beritanya, dua anakku jauh dariku. Aku tak ingin saat keduanya membutuhkan dan menghubungi, hp tidak aktif. Aku juga selalu siaga sebagai seorang terapis, dimana sewaktu waktu ada pasien darurat yang butuh pertolongan.

Selesai dzikir subuh, kuambil Al quran untuk tilawah, sebelum sempat ta’awud, sms masuk,

Umi! aduh aduh Habib….. hmmm.

Mulailah harimu dengan ayat ayat cintaNya, Al quran.

Kumulai hariku dan kuakhiri dengan cintamu, Umi!

Masa bodoh.

Tilawah kumulai sampai waktunya aku ke dapur menyiapkan segala keperluan pagi, hp kuletakkan di lemari, silent!
***

Habib memang penuh perhatian. Aku belum bisa membayangkan sosoknya seperti apa, dan memang tidak ada minatku untuk mengetahuinya. Setiap waktu makan, dia hamper selalu sms,

Umi, sudah makan,? kalau kujawab  sudah, dia akan diam, tapi kalau ku jawab,
belum, malezzzz, selalu dikatakan,        
Makan Umi, nanti sakit. Aku nggak mau dengar Umi sakit.  Aduh aduh, mesranyaaaaa.
***
Pernah suatui malam, setelah sholat Isya, Habib sms menyapaku, kebetulan aku baru dapat sms dari sulungku.

Baru saja aku dapat sms dari anak sulungku yang ada di Jakarta, kau tahu bagaimana perasaanku? Seperti ketika aku dapat telfon dari anak keduaku yang ada di Eropa, juga sama seperti ketika aku dapat sms darimu. 
Saat kumerindukan anak anakku, kau hadir mengisi kekosongan itu. 
Perlu kau tahu, seorang laki laki sukses, selalu mempunyai dua bidadari dalam hidupnya. Yang pertama adalah ibunya, bidadari kedua adalah istrinya. Aku ingin menjadi bidadari pertama dalam hidupmu. Aku selalu doakan anak anakku agar dimanapun mereka berada, Allah selalu melindunginya, mencukupi rizkinya, memudahkan segala urusannya, menjadikan orang orang disekitarnya mencintainya dan mengingatkan mereka agar selalu dekat dengan Alquran, lalu kau ingin aku doakan apa?

Nggak Umi, engkaulah satu satunya bidadariku, aku minta doakan agar hatimu juga mencintaiku.

Uff, kalau itu diucapkannya 25 tahun yang lalu, mungkin tidak perlu di ulang dua kali melamar, sekali saja langsung aku terima. So sweet, romantis banget!

Ha ha ha jadi ingat Abi, pernah ku bilang,” Bi bilang cinta dong?” ha ha ha, beliau belingsatan, nyengir kuda, aku pura pura ngambek. Tapi ketika Abi benar benar bilang cinta padaku, aku tidak bisa menahan tawa, terpingkal pingkal sampai keluar air mata. Ah sudahlah. . . nggak pake bilang cinta, anaknya juga enam koq, he he he.

Kadang kadang masalah romantisme di bahas dikalangan ibu ibu,  ada yang menganggapnya super penting, ada yang biasa biasa saja. Ada yang ekspresinya terlalu lebay, ada yang super kaku, he he he aku dan Abi tipe mana ya?

Belum berhasil juga, okelah, besok cari akal lain.
***

2 comments:

  1. Assalamu'alaykum...saya ijin baca tulisan2nya nggih ^^ ijin meninggalkan jejak juga :D

    Membaca Mujahid Jngkrik (walaupun baru nyampe sesi 2), kok saya merasa aneh ya. Orang yang ikut tarbiyah, yang pemahaman islamnya tinggi kok begitu. Terlebih ikhwannya. Sikapnya jelas2 salah dan melanggar syara'. Menggoda dan merayu istri orang, sms2 yg ga penting (bisa jatuh ke kholwat), dan ga bisa menjaga nafsu. Sebelnya berkedok islami lagi! Itu mah ikhwan bakwan hehe :D

    logis nda sih orang yg ngaji islam bahkan sejak belia tapi bersikap seperti itu? atau memang ada kali ya tipe2 yg demikian hhe :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wa'alaikum salam, monggo di baca. Itulah yang selama ini ada dibenak kebanyakan orang tentang tarbiyah, begitu besar harapannya. Tapi di sisi lain, kita juga harus menerima peluang salah manusianya. Cerita ini coba menghadirkan sesuatu yang mungkin terjadi, bahkan pada kenyataannya bisa lebih parah dari ini. Harapannya ada pelajaran yang bisa kita ambil, untuk lebih bijak membaca persoalan yang ada, sehingga tidak mudah memvonis sebuah sikap dengan ukuran pribadi, mengatas namakan syariah yg ala kadarnya. Trims untuk apresiasinya, bersabar menunggu endingnya ya? jangan berhenti karena nggak simpati dengan tokohnya, he he he.

      Delete