Saturday, November 9, 2013

DUMA.......?

Pagi hari, setelah sholat Dhuha dan tilawah, nenek Anis berpamitan kepada anak perempuannya,
" Mamak mau ke tempat nenek Ijah sebentar, kangen,"
"Ya Mak, hati hati."

"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikum salam, masuk nenek Anis," sambut nenek Ijah dengan ramah, sambil berjalan tertatih dengan tongkatnya menuju sofa panjang yang ada di ruang tamu.
"Sedang apa nenek Ijah?"
"Iya nih, nenek sendirian. cucu sekolah semua, mantu sudah berangkat dagang ke pasar, bunda Ijah entah kemana, tadi ngajak sikecil jalan jalan naik sepeda."
"Nenek Ijah sudah sarapan?"
"Hhhh, kalau pagi ya begini, sepi... rasanya lamaaaa sekali menunggu siang, nunggu cucu pulang sekolah."
"Nenek Ijah sudah sholat Dhuha belum," nenek Anis mengeraskan suaranya
"Belum, masih dingin. Nanti agak siang mandinya, biar nggak usah merebus air. Yang penting pagi cuci muka, terus minum kopi sambil makan kue. Tadi pagi nenek dibelikan kue Lambang sari, tapi nggak enak, terasa di beri pemanis buatan. Nenek mah peka banget dengan yang namanya pemanis buatan atau penyedap rasa, sepertinya di lidah terasa gimanaaa gitu."

Nenek Anis bangkit dari duduknya dengan agak kesal, kemudian berpamitan.

Dengan wajah agak cemberut, nenek Anis pulang. Tidak masuk rumah, beliau duduk di kursi bambu di teras rumah. Matanya menatap pohon mangga yang sedang lebat buahnya, tapi tidak dengan fikirannya.
"Koq sebentar mak, Nggak ada nenek Ijah?" Nenek Anis diam, tidak menjawab. Anak perempuannya menyadari, kemudian dia berjalan ke hadapan nenek Anis, kemudian berjongkok di hadapannya. Dipegangnya lutut ibunya dengan lembut, kemudian dengan sabar menanti si ibu memandang wajahnya.
"Ada apa, koq sebentar? Apa nenek Ijah nggak ada?"
"Ada, males lama lama. Mamak hanya disuruh mendengarkan nenek Ijah ngomong, dasar tuli!"
"Ya sudah, di rumah dulu. Istirahat sambil melihat tingkah Habib yang tidak bisa diam, besok ke rumah nenek Sari. Kalau sekarang beliau sedang di rumah bungsunya."

Nenek Anis, usia 85 tahun, nampak masih sehat. Pandangannya sudah banyak berkurang, tapi masih bisa tilawah menggunakan Al Quran ukuran jumbo. Pendengarannya sudah banyak berkurang, atau lebih tepatnya tersisa sedikit. Beliau bisa diajak komunikasi dengan baik dengan memperhatikan mimik wajah dan gerak bibir mitra bicara serta suara yang agak dikeraskan.

Nenek Ijah, usianya lebih muda dari nenek Anis, tapi kesehatannya jauh di bawah kondisi kesehatan nenek Anis. Hal yang kurang disuka oleh nenek Anis, beliau termasuk pelit, tidak rajin ibadah dan karena tulinya parah, tidak bisa mendengar apa kata mitra bicara.

Nenek Sari, usianya lebih muda, tapi nenek Anis suka, orangnya suka ibadah, senang bertanya tentang agama kepada nenek Anis, suka berbagi dan menampakkan terimakasih ketika diberi.

Tiga nenek yang hidup bertetangga, yang menjadi pemandangan dan pelajaran tersendiri bagi yang masih muda, seperti itukah mereka di masa yang akan datang?
DUMA... Dunia Manula, yang tidak setiap kita berkesempatan mengalaminya, tapi kita bisa memasukinya tanpa menunggu manula. Dunia tempat kita mengabdi, membuktikan konsep birrulwalidain, berbakti kepada kedua orang tua.
Dunia dimana kita memberi pelajaran berbakti kepada orang tua dengan contoh nyata untuk anak anak, dunia yang selalu mewanti wanti kita, apa yang sudah kita siapkan untuk mengisi hari hari di mana pendengaran dan penglihatan tak lagi sempurna?

No comments:

Post a Comment