Thursday, November 14, 2013

AZZAM


29 Mei 1993

Ketika bangun subuh, aku merasakan sedikit berbeda di pinggulku, karena hanya sekilas kuabaikan saja, aku kekamar mandi untuk bersih bersih dan berwudhu. Aku sempat terkejut, ketika ada sesuatu yang tak biasa ketika aku istinja, mungkinkah? Mungkinkah ini tandanya,? tidak persis, tetapi mirip dengan apa yang kubaca, tanda tanda akan melahirkan! 
Seharusnya aku tidak terkejut, bukankah hal ini yang kunanti beberapa hari ini? Dokter telah memvonis, jika empat hari kedepan dari hari ini belum juga ada tanda tanda, kemungkinan akan di ambil tindakan untuk melahirkan janin yang ada di rahimku, karena toleransi waktu secara perhitungan waktu sudah habis, cadangan makanan untuk janin sudah tidak memadai dan jika tidak segera dikeluarkan, akan membahayakan janin.
Sekembalinya Mas dari masjid, kuberitahukan apa yang terjadi. Mas menawariku untuk segera diantar ke bidan, tapi aku belum mau.Menurut yang kubaca dari panduan kehamilan, ini belum waktunya, masih lama. Tapi rupanya rasa sakit di daerah pinggulku terasa meningkat intensitasnya, akhirnya aku mengalah. 

Pukul enam pagi Mas mengantarku ke bidan Nurhayati yang rumahnya hanya tiga ratus meter dari rumah kami, cukup dengan berjalan kaki.
Tak terlalu lama menunggu, bidan yang biasa memeriksa rutin kehamilanku keluar, menyapaku ramah, walau ku tahu beliau sedang berduka. Baru sebulan lalu suaminya meninggalkannya tuk selamanya. Aku diajaknya masuk, kuceritakan semua yang ku alami pagi ini. Aku di suruhnya berbaring, untuk diperiksa bagian rahim, mencari tahu posisi janin di rahimku. 
Wajahnya sedikit mengrinyut, aku curiga, ada sesuatu yang membuat ekspresinya membuatku khawatir. Aku berusaha tenang, menantikan apa yang akan diucapkannya.

“ Sebaiknya ibu ke Rumah Sakit Abdul Muluk.” ujarnya mantap.

“ Mengapa bu? Ada yang tidak beres?” tanyaku, khawatir.

“ Janinnya belum masuk ke rongga panggul, ini kondisi yang tidak biasa, sudah ada tanda tanda tapi janin belum turun ke rongga panggul. Dari pada menunggu di sini, belum jelas proses selanjutnya, lebih baik ibu langsung ke rumah sakit, sehingga bila memang perlu di ambil tindakan, akan lebih cepat, karena dokter ada di sana dan alatnya juga lengkap  di sana.”

“ Apa tidak perlu periksa dalam dulu bu?” tanyaku ragu, aku ingat prosedur melahirkan yang di tulis di buku panduan kehamilan.

“ Tidak perlu, karena posisi janin yang belum pada tempatnya dan janin yang termasuk kategori besar, saya khawatir, kita tidak  boleh berspekulasi.”jawabnya mantap.

Aku dan Mas pulang, tidak banyak bicara, jujur, ada bersit khawatir dalam hatiku, ini anak pertama yang sudah agak lama kami nantikan.

Kami menikah bulan September 1991, hamper dua tahun kami menunggu saat saat ini.

Banyak alasan yang membuatku khawatir:

1        Usiaku bukan terbilang muda untuk kelahiran anak pertama, dua puluh delapan tahun.

2        Janinku termasuk besar, menurut pemeriksaan raba bidan yang sudah senior.

3        Aku belum tahu kondisi fisikku untuk sebuah kelahiran, ini yang pertama. Belum di katahui besarnya pinggul dan model jalan lahirku, dengar dengar setiap orang kondisinya berbeda dan kedua hal tersebut sangat menentukan proses kelahiran secara normal
.
4        Kalau… harus di ambil tindakan, di luar tindakan kelahiran normal, artinya kami harus siapkan biaya yang besarnya di luar tabungan yang sudah kami kumpulkan untuk menyambut kelahiran
.
Sesampai di rumah, kami duduk sejenak, membicarakan hal tersebut.Tak ada yang bisa kami lakukan selain mengikuti saran bidan, akhirnya kami pasrahkan semuanya pada Allah. 
Dia jelas tahu apa yang akan terjadi, kami mohon kekuatan. 

Sebelum berangkat kami sempatkan sholat Dhuha, mungkin ini sholat terakhirku, batinku… sedikit pilu, tapi aku tetap berusaha mengendalikan gejolak jiwaku, ini perjuanganku, ini jihadku, aku harus siapkan mental sebaik baiknya. Layaknya seorang mujahid berangkat ke medan jihad, selain senjata dan fisik, kondisi mental itu yang lebih utama.

Jam 9 kami berangkat naik angkot. Lokasi rumah sakit mengharuskan kami berganti angkot. Selama di angkot, tanganku tak lepas dari genggaman tangan Mas, sesekali kutekan tangannya ketika rasa sakit saat kontraksi datang. Aku tidak begitu memperhatikan penumpang lain, apakah mereka memperhatikan wajahku yang sesekali meringis kesakitan, atau tidak ada yang tahu, bahwa di dekatnya ada seorang wanita akan melahirkan.

Kami langsung menuju ruang angkasa, sebutan untuk ruang bersalin dan segala tindakan yang berkaitan dengan persalinan, mungkin karena posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan lain. 
Kami sengaja tidak masuk melalui UGD, ini pengalaman pertama kami berurusan dengan rumah sakit. 
Kami hanya mencari orang yang sudah kami kenal, dengan harapan urusan bisa lebih mudah. 
Kami mencari ibu Tarni, salah satu bidan yang bertugas di ruang itu, tetapi ternyata beliau tidak masuk, kerana sedang pulang kampung, orang tuanya meninggal. Bu Tarni bidan senior, beliau ibu dari salah satu teman ku di pengajian. 
Agak kecewa menemui kenyataan ini, tapi itu tidak berlangsung lama, karena di kala kami bertanya pada petugas, sesosok wanita berbaju dokter keluar dari ruang periksa, sosok itu kami kenal, Dr Aida, orang tua dari salah satu santri kami di TPA. Beliau mengenali kami dan menanyakan keperluan kami, Alhamdulillah, ini kemudahan. Setelah kami ceritakan, beliau menyuruhku masuk ke ruang periksa dan melakukan tindakan pemeriksaan.Kesimpulannya, aku harus menunggu proses melahirkan secara alami,karena belum cukup alasan untuk melakukan tindakan darurat. Lalu aku di tempatkan di salah satu ruangan untuk pasien yang akan melahirkan tetapi diperkirakan agak lama menunggu. Aku diperbolehkan jalan jalan untuk membantu proses pembukaan jalan lahir

Untuk bersalin ada dua ruangan, yang pertama ruang utama, yang berisi sekitar sepuluh tempat tidur. Yang kedua, agak lebih kecil, berisi empat tempat tidur.
Aku menyaksikan kesibukan yang luar biasa di dua ruang ini, para dokter  bidan dan perawat yang begitu cekatan, para pasien dengan berbagai kondisi dengan ekspresi yang beragam. 
Banyak nilai kehidupan yang aku dapatkan di dua ruang ini. Begitu banyak jenis karakter manusia yang tidak dapat ditutup tutupi lagi dalam kondisi seperti ini.
Ada pasien yang mengungkapkan kesakitannya dengan sumpah serapah, ada yang dengan diamnya, ada yang menahan dengan tetesan air mata, ada yang sibuk dengan dzikirnya.Aku sibuk memikirkan kondisiku sendiri, aku berusaha untuk tidak berekspresi dengan cara yang tidak pantas.

Perkembanganku begitu lambat. Mas keluar masuk ruangan, karena tidak enak dengan pasien lain kalau terus menerus menungguiku, ruangannya terlalu sempit. Empat tempat tidur yang tersedia, hanya satu yang kosong. Pendamping pasien lain kebanyakan perempuan, ibu atau ibu mertua dari pasien yang juga akan melahirkan, atau sedang menunggu jadwal operasi. Aku juga tidak terus menerus di tempat tidur, seperti anjuran dokter, aku lebih sering berjalan jalan. 
Waktunya makan aku tidak berselera sama sekali, tapi Mas membujukku, walau sedikit aku ikuti apa katanya .Aku makan tanpa rasa, hanya sebatas kewajiban, untunglah tidak aku muntahkan. Biasanya kalau aku tidak mau, makanan yang masuk ke mulut langsung keluar, seakan tenggorokanku menolaknya.

Setelah waktu Ashar, aku sudah tidak bisa lagi berjalan jalan. Aku sudah harus di tempat persalinan, jalan lahir sudah membuka cukup lebar. Dr Aida berpamitan, beliau pulang, aku diserahkan kepada dokter Marlina, yang menggantikannya bertugas. Aku ucapkan terima kasih atas perhatiannya, atas bantuannya.

Luar biasa, seperti ini sakitnya. 
Ibu, maafkan aku bila selama ini aku sering menyakiti hatimu, walau kutahu kau pasti akan memaafkan. 
Bu, bantu aku dengan doa doamu, sakit bu… sungguh sakit, seperti inikah ketika kau melahirkan aku? Tentu, mungkin lebih sakit lagi, sekali lagi, maafkan aku. 

Hatiku menangis, tapi aku tak hendak mengeluarkan air mata ini. 
Tidak, tidak boleh. 
Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah, seperti ibuku dulu memperjuangkan aku, aku juga harus lebih keras berjuang untuk itu. Harus! 
Hanya aku yang bisa melakukannya, dokter, bidan,perawat, mereka hanya membantuku. 
Aku tokoh utamanya, aku harus kuat, aku harus berhasil, laa haula walaa quwwata illa billah, yaa Qowwi, mohon kekuatan.

Perjuanganku begitu berat mulai dari jam 22.00, saat bukaan jalan lahir lengkap. Secara teori ketika bukaan lengkap, idealnya janin segera keluar. Proses dari bukaan lengkap sampai bayi benar benar keluar, tidak boleh lebih dari 2 jam!

Yaa Rahman, pantas kau berikan predikat syahid bagi wanita beriman, bersabar yang wafat pada saat melahirkan. 
Ketika di medan pertempuran, kebersamaan dengan anggota pasukan akan memberikan semangat yang luar biasa, kondisi sulit di medan perang membangkitkan semangat yang menyala nyala, tapi bersama sama, sedang aku? Laa haula wala quwwata illa billah. 
Aku sakit sendirian ya Allah, tak ada yang bisa menggantikan sakitku, atau mengambil sedikit bagian saja dari yang kurasakan.
Aku tahu, Mas begitu menghawatirkan aku. Dia sibuk menanyakan, apa yang bisa dilakukannya untukku, aku hanya menggeleng. 
"Tak ada Mas. Tak ada! Ini bagianku, yang kau tak kan pernah bisa merasakannya, terimakasih."

Secara upaya, kami sudah maksimal. Sebelum beragkat tadi aku sudah minum rendaman air rumput Fatimah, yang konon membantu memudahkan proses kelahiran. Mas juga selalu menawarkan kepadaku campuran kunung telur ayam kampung dan madu, yang berfungsi untuk menambah tenaga. Semua usaha Mas, aku sangat hargai. Sebelumnya kalau makan ada aroma amis, aku mundur, menolak, atau makanan yang terlalu manis, lidahku menolak, tapi saat ini tak ada yng kutolak. 
Semua yang aku bisa, akan aku lakukan, ini pertempuranku, ini jihadku!
Yang ku ingat, betapa beratnya, ketika rahim berkontraksi, janin dari dalam mendorong, otomatis ada rasa ingin mengejan, tetapi dokter dan bidan melarangku mengejan, karena belum waktunya, tenaga harus di hemat, sehingga ketika saatnya dibutuhkan tenaga untuk mengeluarkan bayi, aku masih kuat.

Pukul 23.00, dokter memasang infuse, aku sudah butuh di bantu dengan infuse. Sudah tidak tahu lagi, seperti apa kondisiku. Baju basah kuyup karena keringat, tidak sempat ganti, apalagi dengan kondisi tempat melahirkan yang tidak berhijab, dalam satu tuang ada orang orang yang tidak pantas melihat aurat, walaupun mereka perempuan semua, tetap saja aku merasa risih.
Aku tidak punya pilihan lain, inilah yang harus kuhadapi. Aku tidak pedulikan lainnya, aku hanya focus bagaimana bisa mengeluarkan anakku dari rahim dengan sebaik baiknya, aku ikuti semua petunjuk dokter dan bidan yang menangani.

Hanya lisan dan hatiku yang tak lepas berdzikir kepada Allah, sejak Dzuhur aku sudah tidak sholat.Biasanya aku cengeng, sedikit sedikit menangis, tapi kali ini, tak setitik air matapun menetes. Alhamdulillah, Allah memberikan ketegaran pada hatiku untuk menghadapi ini semua, tanpa air mata.

Menjelang jam 00.00 dokter Marlina mengatakan,

” Maaf ibu, bayi harus segera keluar, tapi pintu lahir belum cukup untuk mengeluarkan kepala bayi. Andainyapun tidak kami gunting, tetap saja akan terjadi perobekan, lebih baik kami gunting, supaya robeknya lebih rapi dan untuk pemulihannya/ penjahitannya akan lebih sempurna hasilnya.”

“ Silahkan dok, lakukan yang terbaik, saya percaya pada dokter.”

Akhirnya dokter terpaksa menggunting perineum. 
Sakit? Aku sudah tidak bisa membedakan lagi, sakit atau tidak, aku hanya merasakan perbedaannya ketika ada rasa hangat saat darah mengalir karena dokter menggunting perineum.

“ Ayo adek, kapan ini mau keluar, hari Sabtu atau Minggu?” ada suara salah satu perawat memberi semangat.   
  
Aku berharap lahir hari Sabtu, kenapa? Setidaknya ada perbedaan satu detik tuk lebih cepat mengetahui akhir dari perjalanan ini, tuk mengakhiri rasa akit ini, Allah.

Allah Maha berkehendak, harapku tak dikabulkannya, mungkin Dia ingin aku lebih sempurna menikmati saat saat ini. Lewat tengah malam, belum lahir juga.Berbagai upaya alami dilakukan, dengan menuangkan minyak tuk memperlicin jalan lahir, dengan manual tangan dokter, membantu memperlebar jalan lahir, dll.

Aku benar benar sudah tak perduli dengan rasa sakit ini, benar benar tak perduli, yang kufikir, ya Allah, cepat selesaikan semua ini, aku khawatir tak kuat lagi, tak mampu lagi.

Lewat tengah malam,broll…. Kurasakan hangat membajiri bagian bawah tubuhku, kulihat dokter mengangkat bayiku, Alhamdulillah! Aku berteriak lepas! Kulihat mereka sibuk, dokter memerintahkan perawat mendekatkan lampu sorot besar, kemudian menyerahkan bayiku kepada bidan yang mendampinginya… hei ada sesuatu yang ingin kudengar, tapi mana suara itu?

“ Dokter koq nggak nangiiiis?”

Tak ada jawaban, kulihat mereka tambah sibuk, dua bidan dan perawat mengurus bayiku, dokter sibuk mengupayakan dan menunggu keluarnya ari ari, sampai kemudian… brol, kehangatan di bagian bawah tubuhku bertambah, ternyata ari ari keluar, sakit juga tapi tidak sesakit saat keluarnya bayiku.

Beberapa menit belum juga terdengar suara tangis bayiku, aku mulai curiga.

“ Dokter… koq nggak nagis? Tanyaku sekali lagi.

“ Ibu… yang sabar ya, kita sudah berusaha……..”
“ Meninggal dokter. . .? Innalilahi wainnalillahi rojiun.” 
Hanya itu yang mampu ku ucapkan, ku ulang ulang, dalam hati juga di lisanku.Aku tidak mampu menangis, aku belum menyadari sepenuhnya, aku baru saja bebas dari situasi yang luar biasa.

Dokter menjahit perineumku, aku ingat kata salah seorang temanku, yang paling sakit ketika dijahit, tapi aku tidak sempat membedakannya, fikiranku sibuk dengan Mas, alangkah kecewanya? Bahkan, masyaallah, sampai aku lupa minta ke dokter melihat anakku. Ketika dokter sedang menangani dan membereskan tubuhku, dan bayiku sedang di urus oleh bidan, Mas diperbolehkan masuk, langsung menghampiriku. 

Sebelum mampu mengucap sepatahpun, tangannya langsung kupegang,” Mas yang sabar ya?” Aku tidak tahu, mengapa aku bisa sekuat itu. 

Mas hanya menjawab” ya ya tidak apa apa.”

Bahkan ketika aku dipindahkan keruang perawatan, aku masih sempat berpesan kepada pasien yang belum melahirkan,” Yang sabar ya bu.”

Entahlah, apa yang ada dalam fikiranku saat itu, seolah aku belum menyadari apa yang baru saja terjadi. Mungkin karena terlalu lelah, bahkan aku juga tidak memikirkan bayiku, seolah aku dilupakan olehNya. 

Bidan dan perawat mengantarku ke ruang perawatan, menunggu beberapa saat, melihat perkembanganku. Aku belum boleh tidur, harus tetap sadar. Aku di temani oleh adik iparku yang perempuan, sedang Mas membawa pulang bayiku. Ketika saatnya aku boleh tidur, benar benar aku pulas.

Keesokan paginya, aku bangun saat Dhuha. Adikku melaporkan, ada beberapa temanku datang, karena melihatku tidur pulas mereka hanya mendoakan dan titip salam. Kemudian adikku pamit pulang, sedang aku ditemani dua orang guru TPA, dimana kami biasa bersama sama mengajar. 
Dalam kondisi seperti ini nilai ukhuwah begitu terasa, dalam kesedihan aku tidak sempat sendiri, selalu saja ada teman yang menemani, yang mengajakku bicara masalah lain, bukan yang sedang aku hadapi.

Siang hari, berbondong ibu, kakak dan adik adikku yang tinggal di kota lain hadir. Rupanya mereka pagi pagi sudah sampai rumah untuk menyelenggarakan jenazah. Aku tak sempat tersedu, padahal aku ingin sekali tersedu sepuasnya di pelukan ibu, tapi banyaknya yang hadir tak bisa membuatku larut dalam suasana haru. Mereka berusaha menghibur dan aku tak ingin mengecewakan mereka. Kutunjukkan ketegaran, aku tak ingin mereka melihatku dalam kesedihan.

Sore hari Mas baru muncul, setelah membereskan urusan penguburan dan melayani tamu, saudara dan para pelayat. Ibu tidak ikut pulang rombongan, tetap tinggal menemaniku. Kulihat wajah Mas begitu lelah, kasihan.

Aku merasakan kami saling menguatkan dan menjaga perasaan, aku berusaha memahami andainya Mas kecewa dengan takdir ini, dan kurasakan juga Mas berusaha menjagaku dari kesedihan dan penyesalan yang mungkin terjadi.

“Di beri nama siapa Mas anak kita?” tanyaku keesokan paginya.

“Abdurrahman Azzam.”

Itu nama yang sudah kusiapkan jika anakku lahir laki laki. Selama hamil aku hunting nama nama yang baik, kusiapkan dua nama, nama laki laki dan nama perempuan. Nama adalah doa dan harapan, itulah doa untuk anak kami, walaupun Allah berkehendak lain.

Tiga hari aku di rawat di sumah sakit, sedang ibu hanya bisa menemaniku selama satu pekan.
Ketika aku sudah di rumah, ibu sudah pulang, aku sering sendiri di rumah. Belum bisa beraktivitas seperti biasanya. Saat saat itulah aku merasa kehilangan, kesepian, rindu, sedih, akhirnya menangis. 
Kondisi nifas membuatku terhalang untuk lebih mendekat kepada Allah. Setiap aku melihat perlengkapan bayi yang sudah kusiapkan, selalu saja menangis, akhirnya aku minta Mas menyingkirkannya. 
Untunglah aku tinggal di kompleks masjid, dimana aku dan Mas mengelola TPAnya, sehingga ketika pagi dan sore hari aku terhibur dengan ramainya anak anak TPA yang belajar dan guru guru yang silih berganti mampir ke rumah bersilatuhaim. Orang tua santripun sering mampir dan menemaniku ngobrol sambil menunggu anaknya yang sedang belajar.

Biasanya, orang tua santri sering bertanya dan belajar kepadaku, tetapi sejak aku melahirkan, mereka lebih banyak menghiburku
.
“Umi sudah punya tabungan di surga, yang akan menyambut dan menolong Umi nantinya.”

“Orang yang dekat dengan Allah, biasanya diuji dengan yang berat berat karena dianggap kuat.”

“Semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik.”

Itu kalimat kalimat yang sering mereka sampaikan. Aku membenarkannya, berterima kasih pada mereka. Aku merasakan ketulusan mereka.

Ketika sendiri, aku sering menangis. Bukan karena menyesali atau tidak ikhlas, tetapi menangis karena rindu. Teringat ketika dia ada di rahimku, sempat berkomunikasi, bercanda dengan gerakannya yang lucu dan menggelikan. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, melihatnya, tetapi aku merasakan kehadirannya sangat dekat, bersatu dalam tubuhku. Aku yakin, Allah memberikan yang terbaik untukku, walau belum tahu di mana letak kebaikannya. Setidaknya aku sudah menemukannya, salah satunya ketika Allah membuatku lupa minta melihat bayiku. Mungkin kesedihan lebih sulit kuhilangkan jika aku pernah melihatnya.
Bahkan hingga kini, setelah dua puluh tahun berlalu, aku tetap merindukannya, dan aku menangis untuk itu.

#tulisan ini tidak selesai selesai karena tangis rindu#

1 comment:

  1. hikssss,....sedihhh.
    Perjuangan seorang ibu yang luar biasa mba *_*

    ReplyDelete