Friday, February 28, 2014

KEMBALIKAN DIA, APAPUN KONDISINYA

"Sudah dengar kabar terbaru Mba?" tanya Darni sambil menghempaskan tubuhnya di kursi.

"Kabar apa dik?" Siti menyiapkan hati, perasaannya mengatakan adik iparnya ini datang membawa kabar tidak enak tentang suaminya.

"Biasa Mba, Mas Durno bertingkah lagi."

Siti menghela nafas berat, benar dugaannya.

"Dengan siapa sekarang?" tanya Siti, berusaha tenang, menahan api cemburu.

"Rukmini, janda kembang yang baru pindah ke kampung sebelah."

"Sudah banyak yang tahu?" Siti bertanya dengan wajah khawatir.

"Mungkin mba Siti yang terakhir tahu," jawab Darni sambil memandang Siti dengan wajah mengasihani.

***

"Siti, bisa pulang belakangan? Ada yang mau Umi tanyakan."

"Bisa Mi." Siti mengurungkan niatnya keluar dari pintu, dia duduk kembali sambil menantikan Umi, guru ngajinya mengantar teman-teman lain keluar pintu.

"Mau sampai kapan kau bertahan hidup seperti ini?" Umi memulai pembicaraan, setelah semua teman-temannya pulang.

"Maksud Umi?" Siti bertanya untuk meyakinkan, walau sebenarnya dia telah menduga arah pembicaraannya.

"Umi sudah dengar kabar tentang Durno yang bertingkah lagi."

Siti menunduk, menantikan ucapan selanjutnya.

"Ini perselingkuhannya yang keberapa?"

Siti tidak menjawab, karena dia yakin Umi sudah tahu jawabannya. Air mata mulai mengalir mengiringi gemuruh dadanya yang seakan siap meledak.

"Umiii!" Siti tak tahan lagi, direbahkannya kepala di pangkuan Umi yang duduk dihadapannya, menangis sesenggukan. Umi tak berkata apa-apa, dibelainya kepala Siti penuh kasih sayang, hatinya ikut tercabik mengingat nasib Siti, yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Ditunggunya sampai Siti puas menumpahkan beban emosinya.

Setelah puas, Siti mengangkat kepalanya, mengusap air mata dan merapikan jilbabnya. Sudah agak tenang.

"Islam tidak mengharamkan perceraian nak," jelas Umi hati-hati.

"Maaf Umi, tak ada niat sedikitpun dalam hati Siti untuk berpisah dengan Mas Durno. Dia pilihan Siti dan Siti akan bertanggung jawab dengan pilihan ini."

"Siti yakin dengan keputusan ini?" tanya Umi.

Siti mengangguk mantap,"Tolong bantu doa, Umi."

"Ya, insyaallah, barokallah."

***

"Sudah makan, Mas?" sambut Siti, saat Durno baru pulang.

"Sudah," jawab Durno tanpa memalingkan wajahnya pada Siti, langsung masuk kamar dan merebahkan badannya. Baru beberapa saat sudah terdengar suara dengkurnya.

Siti hanya menghela nafas, berusaha lebih bersabar. Kapan bisa bicara kalau hampir setiap hari seperti ini? Pulang langsung tidur, esoknya pagi-pagi sekali harus pergi mengantar anak-anak sekolah dan orang-orang kantoran yang berlangganan ojeknya. Langsung mangkal di terminal, siang menjemput pelanggan lagi.

Siti tidak tahu, di mana istirahatnya saat sela tidak ada penumpang, nyatanya pulang selalu malam hari.

Kasihan anak-anak, jarang bertemu dengan bapaknya, hanya pagi hari, itupun dengan tergesa.

***

Lima belas tahun sudah Siti dan Durno hidup berumah tangga.

Durno, petani sukses, ganteng, supel dan jadi pujaan gadis-gadis.

Siti, gadis pemalu, anak seorang tokoh agama, rajin ibadah, guru Sekolah Dasar di kampungnya.

Banyak yang menyesali, saat Siti menerima pinangan Durno. Teman-teman yang menyayanginya, juga termasuk orang tuanya, termasuk gadis-gadis yang mengharapkan Durno, karena dengan menikahnya Durno dengan Siti maka tertutuplah peluang bagi mereka untuk mendekati Durno.

Sebenarnya orang tua Siti kurang setuju, karena mereka mengharapkan menantu yang dapat meneruskan mengurus pondok yang di asuhnya, tapi mereka tidak memaksakan kehendaknya, menghormati keputusan Siti, karena tahu anaknya akan bertanggung jawab dengan keputusannya.

Kehidupan keluarga Siti dan Durno diliputi kebahagiaan. Kekhawatiran orang tua dan teman-temannya tidak terbukti, usaha agrobisnis Durno maju pesat, Siti tetap mengajar Agama di SD. Mereka dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kehidupan yang sempurna.

Roda kehidupan terus bergulir, senang susah, pasang-surut rizki dipergilirkan, sampai pada puncaknya, lima tahun yang lalu, usaha agrobisnis Durno ambruk total. Persaingan dalam bisnis memang luar biasa, segala cara dilakukan untuk memperebutkan peluang pasar. Saatnya Durno mendapat giliran apes, tidak tanggung-tanggung, fitnah itu bahkan sempat menyeretnya ke pengadilan, tuduhan penipuan! Untunglah tim pengacara berhasil menyelamatkannya dari jerat penjara.

Proses pengadilan yang berlarut-larut itu menyedot habis hasil jerih payahnya selama ini, dua rumahnya terjual, belum lagi kebun dan sawahnya, ludes semua untuk menutupi hutang-hutang bisnisnya.

Untunglah masih ada sawah peninggalan abah dan gaji bulanannya sebagai PNS untuk menutup kebutuhan sehari-hari.

Ujian itu mengantarkan Siti lebih dekat kepada Allah, tetapi tidak begitu untuk Durno.

Durno kecewa! Marah pada takdirnya! Merasa diperlakukan tidak adil, alih-alih mendekat, bahkan Dia memutuskan meninggalkan semua yang ada hubungannya dengan ibadah.

Tak jarang Siti disarankan untuk meninggalkan Durno yang semakin lama semakin jauh dari kehidupan yang baik, tapi Siti tetap bertahan dan bersabar mendampingi Durno, walaupun kadang dia mendapat perlakuan yang kurang baik dari suaminya. Dia berusaha memaklumi kondisi Durno yang labil karena ketidak sanggupannya menghadapi ujian ini. Siti bertekad akan mendampinginya di saat sulit seperti dia mendampinginya di saat senang dan bahagia.

***

"Mbak Siti...mbak!"

Terdengar panggilan panik dan ketukan pintu yang tanpa jeda.

Siti yang baru saja selesai shalat segera membereskan mukena dan menyambar jilbab, sambil tergopoh membuka pintu depan.

Opick, suami Darni memapah Darno yang sedang menekan perut sambil meringis kesakitan masuk ke dalam rumah.

"Langsung ke kamar aja, Dik!" kata Siti sambil berjalan mendahului ke arah kamar.

Tiga bulan terakhir ini, hal serupa sering terjadi. Durno pulang dengan merintih kesakitan, menekan perut sampai jalannya terbungkuk-bungkuk.

Sebenarnya Siti sudah melarangnya ngojek, tapi Durno bersikukuh. Kalau sedang kesakitan memang dia tidak pergi, tapi ketika merasa sehat, dia langsung mangkal di terminal. Semua pelanggan ojek mengundurkan diri, karena Durno sering mangkir karena sakit.

Kondisinya yang semakin parah, lemah tak bertenaga, pucat dan sering kali nyeri perut yang luar biasa memaksa Durno mau diajak Siti periksa ke rumah sakit, dan hasil pemeriksaan Durno divonis terserang kanker usus stadium lanjut.

Kini hari-hari dihabiskannya di rumah, kondisi yang lemah membuatnya tak bisa beraktifitas seperti biasa, belum lagi nyeri yang sering datang tiba-tiba membuatnya tak berani nekad pergi sendiri, apalagi bawa motor.

Ketika kondisi dianggap parah, Durno dirawat inap di rumah sakit. Siti bergantian dengan saudara-saudara ipar dan mertuanya menjaga Durno di rumah sakit.

Sebenarnya adik-adiknya enggan merawat Durno karena kelakuannya yang sudah bikin malu keluarga, apalagi sejak dua tahun terakhir Durno nekad menikahi Rukmini walaupun keluarga tidak ada yang menyetujuinya.

Sejak menikahi Rukmini, Durno tidak pernah pulang, sampai tiga bulan yang lalu Durno diantar salah satu teman ojeknya pulang dalam kondisi kesakitan.

Mungkin inilah pengabulan doa untuk Siti. Sejak ditinggalkan Durno, Siti selalu berdoa agar suaminya dikembalikan dengan kondisi apapun.

Bagaimanapun Durno adalah suaminya, bapak dari anak-anaknya, dan itu yang akan dipertahankan bagaimanapun keadaannya. Siti masih berharap, dengan kondisi tak berdaya, Durno mau kembali mendekat pada Yang Maha Kuasa.

***

Durno merasakan penderitaan karena sakitnya selama satu tahun. Selama itu Siti tetap setia mendampinginya dengan kesabaran, walaupun dengan kondisi seperti itupun Durno tetap bisa menyakiti dengan ucapannya. Siti memaafkannya, sampai Allah memanggilnya.

Siti tidak tahu, apakah dengan sakitnya Durno dapat pengampunan Allah, yang jelas, sebagai istri dia telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, mendampingi dan berusaha mengajak suaminya kembali kepada Allah, selebihnya, Siti yakin dengan keadilan Allah.

No comments:

Post a Comment