Friday, February 28, 2014

TERAPIS KOK SAKIT?

Beberapa kali komentar itu sampai kepadaku, langsung atau melalui orang lain, disampaikan dengan sinis atau bercanda.

"Memang terapis nggak boleh sakit?"

"Logikanya, terapis tahu banyak tentang penyakit. Tahu penyebab penyakit, harusnya bisa dicegah. Tahu apa obatnya, seharusnya segera diobati, jadi nggak sampai terdengar sakit oleh orang lain, supaya kredibilitasnya sebagai terapis terjaga, pasien semakin percaya."

Idealnya begitu, mauku juga begitu, tapi namanya kehidupan, tak selamanya kemauan dan harapan sesuai dengan kenyataan yang terjadi.

Excuse?

Ya!

Bagiku excuse (alasan) bukan barang haram! He he.

"Masing-masing penyakit pasti ada obatnya. Kalau obat sudah mengenai penyakit, penyakit itu pasti sembuh, DENGAN IZIN ALLAH." (HR Ahmad dan Al Hakim)

Mungkin excuse yang aku sampaikan itu akan melemahkan semangat berusaha, tidak memotivasi dan sebagainya, tapi aku melihatnya dari sisi lain, sisi kerendahan hati, manusia berusaha maksimal, tapi tidak boleh kecewa bila usahanya belum menghasilkan sesuai yang diharapkan. Dan usaha itu harus diteruskan sampai batas keberhasilan, sampai obat bertemu dengan penyakit, yang merupakan syarat keluarnya izin Allah.

Aku bicara bukan sekedar masalah ilmiah, alamiah, juga sedikit menyentuh masalah ilahiah.

" Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." Terjemah AQ Surat As syu'ara ayat 80

Ketika kita berfikir, penyakit disembuhkan obat ini, dokter itu, terapis itu, maka kita layak mempertanyakan bagaimana kesehatan aqidah kita, keimanan kita pada Allah, pengenalan kita pada Allah.

Menurutku, manusia memang butuh diberi sakit, merasakan sakit, karena dalam sakit ada kebaikan, walaupun dengan sakit ada penurunan produktifitas.

Aku tidak tahu, apa yang orang lain dapatkan dari sakitnya, tapi dengan sakit yang kualami, banyak hal yang kudapatkan, hal-hal yang aku syukuri.

Dalam kondisi sakit, selama masih bisa bangun, aku masih bisa melayani pasien tertentu, misalnya konsultasi atau akupunktur, tapi untuk pijat dan bekam, aku liburkan dulu, karena membutuhkan fisik yang lebih fit. Aku lakukan itu karena aku sangat mengenali penyakitku, tidak menular ataupun membahayakan orang lain.

Saat penyakit semakin parah, sehingga membuatku lebih nyaman berbaring, banyak hal yang bisa aku evaluasi. Dengan melihat sikap anak-anak terhadap kondisi yang sedang terjadi, bagaimana kepekaan rasa mereka, bagaimana ekspresi kasih sayang terhadap uminya, bagaimana keikhlasan dan tanggung jawab mereka ketika menggantikan tugas-tugas sesuai kemampuan mereka, bagaimana tanggap darurat suami menghandel keberlangsungan urusan rumah tangga.

Dari pengamatan itu aku evaluasi, apa yang sudah aku lakukan selama ini, karena bagaimanapun, sikap mereka semua merupakan cerminan dari pola didik yang selama ini aku terapkan.

Kredibilitas?

Aku tidak merasakan kredibilitas akan ambrol dengan semua ini, karena konsep yang kupakai, terapis hanyalah sebagai sarana sampainya kesembuhan dari Allah, sama halnya dengan obat, alat kesehatan dan metode pengobatan, semua hanya ikhtiar maksimal manusia.

Dalam sakitpun ada janji Allah untuk pembersihan dosa dan pengampunan, maka saat sakit sebanyak-banyaknya beristighar, merendahkan hati, membunuh kesombongan dan keangkuhan, karena dalam sehat belum tentu kesempatan beristighfar bisa sebanyak ketika sakit.

Jadi, nggak masalah dong terapis sakit, sama halnya juga dokter atau profesor bisa sakit dan meninggal.


2 comments:

  1. Ahahaha, ya alamiah atuh Mi, namanya juga manusia,
    Tapi ada katanya manusia yang nggak pernah sakit, yaitu mas Firaun,, hahaha

    ReplyDelete