Monday, December 16, 2013

SIAPA YANG IMAM?




“ Sampai kapan kau akan bertahan dengan kondisi seperti ini?” tanyaku geram, kutatap adikku dengan sorot mata tajam. Dia tahu, kalau aku sudah memandang dengan cara seperti ini, berarti aku sudah tidak main main.

“Entahlah. . .?” jawabnya, sambil berlinang air mata.

Tak tahan aku menyaksikannya, kutubruk dan kudekap dia dalam pelukku, kami bertangisan. Betapa berat yang ditanggungnya. Kalau aku bukan kakaknya, yang tahu betul bagaimana karakternya, mungkin aku tidak akan tahu, seberat apa bebannya.

Lia memang penyabar, sangat bahkan.Entahlah, kami saudara sekandung, tapi karakter jauh berbeda, Lia penyabar, santun, sedang aku gedebrak gedebruk, kata ibu. Tidak sabaran, apa apa terburu buru, ambil keputusan tanpa fikir panjang, dan lain lain.

***

Tiga belas tahun yang lalu, di suatu siang, sepulang dari kampus, Lia menyampaikan padaku, ada seseorang yang akan segera melamarnya, aku langsung melotot mendengarnya.

“Maafkan Lia mba, sama sekali tidak bermaksud membuat mba marah atau sakit hati.” katanya sebelum aku sempat berkata apa apa, nada suaranya yang penuh kerendahan hati membuatku lilih.

Jujur, aku sempat tersinggung bahkan hampir marah mendengar pemberitahuannya, bayangkan, aku kakaknya, lebih tua, belum menikah, eh tiba tiba Lia menyampaikan hal konyol seperti itu.

“Jadi maksudnya, Lia mau mendahului mba? Menikah lebih dulu?” tanyaku.

Lia diam, tak berani menjawab, menundukkan wajahnya, aku kasihan melihatnya, Lia benar benar dalam posisi serba salah. Kuhela nafas untuk lebih menenangkan diri.

“Baiklah, sekarang apa yang bisa mba bantu?”

Lia nampak terkejut, langsung mengangkat wajahnya, menatapku dengan wajah berbinar.

“Benar mba?” tanyanya antusias, kuanggukkan kepala sambil tersenyum terpaksa.

“Siapa yang akan melamarmu?”

“Kata mba Sinta, namanya Umar,anak fakultas Eknomi, semester delapan.”

“Masih kuliah?” sungguh, aku terkejut mendengarnya.

“Iya mba, seangkatan dengan Lia.” Jawabnya, menunduk lagi.

“Mengapa Lia ingin segera menikah? Lia masih kuliah, Umar belum selesai, mengapa tidak menyelesaikan kuliah dulu?”

“Lia takut fitnah, bukankah Rasulullah menganjurkan, ketika seorang beriman datang meminang terimalah, jika ditolak khawatir akan ada fitnah yang datang.”

Aku faham, tapi apakah aku sudah siap melaksanakannya bila hal itu terjadi? Mungkin aku tidak seyakin Lia.

“Bagaimana dengan Ibu dan Mas Fahri, apa kata mereka?”

“Lia butuh bantuan mba untuk memuluskan semua urusan,” tatapannya memohon.

“Astaghfirullah!” Lia setengah berteriak sambil tangannya menutup mulutnya.

“Ada apa?”tanyaku heran.

“Bagaimana dengan mba? Apakah mba mengizinkan? Apakah mba tidak keberatan aku langkahi?”

Aku menggeleng, walaupun sedih, belum rela seratus persen, tapi aku tak ingin mengecewakannya,
”Insyaallah mba nggak apa apa, skripsi masih dalam perbaikan. Jodoh tak kan ke mana, kalau sudah saatnya, mba yakin, jodoh mba akan dikirim Allah.”

Wajah Lia langsung cerah, dia berlari mendekapku, hmmm, bahagia sekali.

Kemudian kami atur strategi, pertama kami temui Sinta, teman seangkatanku yang menjadi ustadzah Lia untuk mencari keterangan sebanyak banyaknya tentang Umar, pemuda yang telah siap melamar Lia.

Dari Sinta dan suaminya kami mendapat keterangan, Umar seorang aktifis dakwah kampus, anak seorang pejabat di sebuah BUMN, bersedia dan berjanji mengizinkan Lia menyelesaikan kuliahnya dan membiayainya sebagai tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Informasi itu melegakan kami, karena menurutku, seorang aktifis dakwah kampus biasanya baik agamanya, keimanan dan akhlaknya,karena aku juga ada di dalamnya, menyaksikan sendiri bagaimana kiprah teman teman di sana.

Informasi yang kami dapat dari Sinta dan suaminya cukup membuat Ibu dan Mas Fahri lega hati dan mengizinkan apa yang diinginkan Lia.

Dengan izin Allah, pernikahan berlangsung dengan lancar, mas Fahri menggantikan ayah almarhum menjadi wali nikah untuk Lia.

Seminggu setelah menikah, mereka langsung menempati rumah yang telah dibelikan oleh orang tua Umar di sebuah perumahan sederhana yang sudah sebagian direhab.

Aku bahagia melihat mereka, kadang iri. Mereka bisa berpacaran seperti mahasiswa lainnya, tapi mereka sudah halal, tanpa ketakutan dikejar rasa bersalah dan dosa.

***

Saat menyusun skripsi, Lia hamil. Tapi dia gigih, dengan kondisi tubuh yang lemah pengaruh kehamilannya, 

Lia tetap mengerjakan skripsinya, dia tidak mau menunda kelulusannya.

Aku memperhatikan kehidupannya, badannya semakin kurus, tapi Lia tidak pernah mengeluh, baik kepakaku, Ibu ataupun mas Fahri. Setiap kutanyakan kesulitannya, dia hanya tersenyum dan mengatakan,    

Lia nggak apa apa mbak, terima kasih. Nanti kalau butuh bantuan, mba orang pertama yang akan Lia hubungi.”

Aku tidak bisa memaksanya, aku hanya pasrah. Aku percaya padanya, selama masih bisa, memang Lia pantang merepotkan orang lain, bahkan aku, kakak kandungnya sendiri. Aku faham, dan menghormati keputusannya. Kami memang dididik untuk tidak manja, berani ambil keputusan dan siap dengan konskuensinya.

Lia berhasil lulus dengan nilai baik, sedang Umar baru mulai menggarap skripsi. Kesibukan dakwah menjadi alasan keterlambatannya menyelesaikan kuliah.

Aku melihat begitu banyak perbedaan kehidupan kami dan keluarga Umar. Ini bisa dilihat dari karakter Umar. Dalam keluarga kami, anak sulung benar benar bisa menjadi contoh teladan dan pemimpin bagi adik adiknya, orang tua kami mendidiknya seperti itu, dan kami melihat sosok itu pada mas Fahri. Sepeninggal bapak, mas Fahri langsung mengambil alih kepemimpinan dalam keluarga, tak nampak canggung sedikitpun, karena bapak sudah melatihnya sejak kecil.

Sedangkan kalau melihat sosok Umar, sebagai anak sulung, aku sama sekali tak melihat itu. Bayangkan, sebagai seorang suami, seharusnya dia bertanggung jawab memenuhi nafkah untuk keluargan, tapi nyatanya, semua ditanggung orang tuanya. Tentu saja Lia merasa tidak enak hati dan tertekan. Bagaimana tidak? Dia harus bisa mengatur keuangan keluarga sebaik baiknya, jangan sampai ada komentar negatif dari keluarga suaminya. Itu sebabnya, setelah wisuda dan melahirkan anak pertamanya, Lia langsung mencari pekerjaan yang paruh waktu sehingga bisa bergantian dengan Umar menjaga bayinya. Mau tidak mau Umar harus melakukannya, karena Lia memang harus bekerja, dengan adanya anak, pengeluaran otomatis jadi bertambah, sedangkan Umar belum berpenghasilan. Mau mencari baby sister, jelas tidak berani, keuangannya tidak memungkinkan.

Kehidupan terus berjalan, sampai kemudian Umar dapat menyelesaikan studynya. Mulailah dia melamar kerja dengan bermodal kesarjanaannya, tentu kerja kantoran. Umar tidak terlatih kerja kasar atau berdagang, terbiasa semuanya tersedia dengan mudah.

Waktu berjalan, tiba saatnya orang tua Umar pensiun, penghasilannya jelas berkurang. Subsidi untuk keluarga Umar berkurang drastis, nyaris terhenti. Untunglah untuk tempat tinggal tidak perlu memikirkan uang kontrakan, anak masih kecil kecil, belum perlu biaya sekolah, nyaris kebutuhan yang mendesak sebatas makan, pakaian dan kesehatan.

Umar ternyata bosenan, tidak gigih, tidak segagah ketika melihatnya sebagai aktifis dakwah kampus ketika kuliah dulu. Dalam bekerja ingin cepat dapat penghasilan yang bear, sedangkan umumnya sekarang yang dituntut bukan sekedar nilai ijasah, tapi skill. Hampir setiap perusahaan memberlakukan masa percobaan sebelum seorang karyawan menjadi karyawan tetap dengan gaji pokok. Umar tak tahan dengan masa masa itu, berulang kali dicobanya, hampir selalu mundur sebelum masa percobaan habis. Sebenarnya teman teman pengajiannya selalu membantu memprioritaskannya bila ada peluang, mengingat tanggungannya sebagai kepala keluarga, tapi ya. . .begitu lagi, begitu lagi.

Nyaris tiga tahun terakhir Umar tidak bekerja, nyaris semua rizki yang sampai untuk keluarganya lewat jalan Lia, padahal anak anak sudah sekolah, bahkan di sekolah yang berbiaya tinggi, bukan karena sok mampu tapi idealisme membuat mereka memilih sekolah sekolah itu. Lia rela banting tulang, dia ingin memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak anaknya.

***

“Sebenarnya siapa imam dalam keluarga?” tanyaku sengit.

Lia diam, menunduk. Ujung jari kakinya sibuk mengorek ngorek lantai, seakan disitu ada sesuatu yang perlu dibersihkan, padahal aku yakin, lantai itu bersih.

“Umar faham agama, bahkan sampai sekarangpun masih aktif berdakwah, masa dia tidak tahu bahwa kewajiban menafkahi istri dan anak adalah tanggung jawabnya?”aku masih menggerutu, aku benar benar jengkel memikirkannya.

“Lia tahu, Umar juga faham. Tapi Lia belum mampu membantu Umar mengatasi dirinya, karakter yang sudah terbentuk hasil didikan orang tuanya sangat tidak mudah diubahnya. Bukan bermaksud menyalahkan orang tuanya, tapi itulah yang terjadi menurut pendapat Lia.”

“Kalau menurut mbak, jika kita sudah bertekad kuat untuk berubah menjadi lebih baik, pasti Allah akan membantu, tetapi itu tergantung pada kesungguhan. Mba curiga, jangan jangan Umar sudah merasa nyaman dengan kondisi seperti ini. Bisa sajakan, sesuatu yang awalnya tidak disuka, tetapi karena begitu lama dengan kondisi seperti itu, sesuatu yang awalnya tidak disukai lama lama justru dinikmatinya, apa dia tidak malu?”

“Sebenarnya Lia ikhlas dengan kondisi ini, biarlah rizki itu lewat jalan ikhtiar Lia, tapi kadang keikhlasan itu tercederai ketika Umar bersikap yang tidak menyenangkan.” Lia mulai meneteskan air matanya.

“Apa maksud Lia? Umar bersikap kasar?”

“Bahkan dia pernah mentalak Lia, karena sikapnya kasar pada anak anak. Lia protes, Lia nggak rela anak anak dikasari. Lia tahu, mungkin itu ekspresi rasa bersalahnya, merasa tidak berguna, tapi Lia marah kalau pelampiasannya dengan main kasar pada anak?”

“Jadi?” aku terkejut dengan cerita Lia, aku tak menyangka akan sejauh itu.

“Tapi menurut ustadz, talak itu tidak berlaku, karena tidak memenuhi persyaratan jatuhnya talak.” Lia buru buru menjelaskan.

“Andai orang lain yang mengalami, mba yakin, mereka tidak akan tahan dan memilih perceraian.” Aku mengemukakan pendapat, ya mungkin kesannya memanas manasi, aku kasihan pada Lia, terlalu berat bebannya.

“Tidak mba, insyaallah Lia kuat, toh sudah berjalan sekian lama.”

“Apa yang membuatmu bisa bertahan sekuat ini?” tanyaku penasaran.

“Anak anak dan dakwah. Lia tidak ingin menghancurkan masa depan anak anak, Lia juga tak ingin menodai dakwah yang sudah banyak kena fitnah ini dengan kehancuran rumah tangga Lia. Apa yang terjadi pada kami, tentu akan mempengaruhi dakwah kami. Biarlah apa yang Lia lakukan ini bernilai sebagai amal unggulan di hadapan Allah, tolong doakan ya mba, agar Lia tetap kuat dan ada perubahan pada diri Umar.”

***

No comments:

Post a Comment