Sunday, December 15, 2013

KEBIMBANGAN LANJUTAN

Sampai wisuda, kebimbangan itu belum terjawab. Aku belum tahu siapa jodohku. Dalam kesindirian, aku terus merenung memikirkan dan mempertimbangkan, tetapi bukan berarti mengganggu aktifitas. Yang pasti aku belum juga punya jawaban pasti, siapkah aku menikah dengan orang yang tidak sesuai dengan sosok ideal itu? ikhwan, usia lebih tua atau seumuran, pendidikan lebih tinggi atau sederajat.

Aku berusaha mengatasi kebimbangan itu, aku tak ingin terombang ambing dengan perasaanku. Kupasrahkan semua pada Allah, minta yang terbaik. Aku yakin, Allah akan memberikan yang terbaik, karena aku berniat baik. Aku ingin menikah dengan orang yang bisa saling mendukung dalam upaya membentuk keluarga yang mencetak generasi robbani.

Nilai manusia ada pada ikhtiarnya, aku memilih ikhtiar ke dalam diri, memperbaiki diri terutama dari sisi aqidah, karena janji Allah, laki laki yang baik untuk wanita yang baik, juga selalu berdoa, agar laki laki yang pertama meminangku, itulah jodohku. Aku tak ingin menciptakan kebimbangan kedua, kusiapkan diri dengan kedatangan siapapun jodohku dengan kemantapan hati.

1991, ujian itu datang, ketika seseorang datang meminangku, tidak sesuai dengan sosok ideal, usianya lebih muda, pendidikannya sedikit di bawah tingkat pendidikanku, satu yang meyakinkanku bahwa dia sosok yang sesuai dengan doaku, dia ikhwan, aktifis dakwah kampus.

Bismillah, aku tak ingin mengingkari doaku. Aku bersedia menjadi istrinya, dua pekan setelah acara khitbah, akad nikah segera digelar. Teman teman kampusku hadir, termasuk Ros, teman sekamar di kos kosan.

"Barokallah, selamat, kau sudah berani ambil keputusan," ucapnya ketika berpamitan.

"Aku yakin, ini yang terbaik," jawabku mantap.

***
 2009

Suatu pagi seseorang menelfonku.

"Mba, ini  Rina, adik kak Ros, bisa kita ketemu?"

"Boleh, Rina ke rumah mba ya?"

"Ya mba, ini mau langsung berangkat, sekitar sepuluh menit lagi insyaallah sampai."

"Ok, mba tunggu."

***

Rina bercerita, kalau saat ini Ros sedang dalam pelarian. Ros sedang marah dan meninggalkan rumah, karena suaminya menikah lagi untuk yang ketiga kalinya.

Ros sekarang ada di suatu tempat, dia ingin bertemu denganku. Rencana besok kami akan menemuinya di tempat persembunyian.

***

Siangnya, ada seseorang menelfon.

" Maaf, ini bu Dini, teman kuliahnya Ros?"terdengar suara seorang laki laki.

"Ya, benar, maaf ini siapa, dapat nomor saya dari siapa?"

"Saya Herman, suami Ros, saya dapat nomor Ibu dari Rina. Apakah Ros ke rumah Ibu? atau Ibu tahu di mana istri saya sekarang?"

Aku terhenyak, dadaku berdegup kencang, bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan?

"Halo?"

 "Ya, maaf. Saya sudah lama sekali tidak bertemu Ros, dia tidak ke rumah dan saya juga tidak tahu di mana sekarang." Aku meyakinkan diri, sedang tidak berbohong, memang aku tahu Ros pergi, tapi belum tahu di mana tempat sembunyinya, baru akan ke sana besok.

"Baik bu, tapi tolong, kalau ibu bertemu Ros, katakan, anaknya yang kecil selalu menangis, mencarinya, terima kasih sebelumnya."

"Ya pak, insyaallah."

***

Ros banyak berubah. Badannya kurus, pakaiannya tak sesempurna dulu. Ros memelukku lama, menangis dipundakku. Kubiarkan sampai dia merasa lega.

Sudah lama kami tak bertemu, setelah saling bertanya kabar, mulailah Ros bercerita perjalanan hidupnya sejak meninggalkan kampus.

***

Dua tahun setelah kelulusannya, Ros diterima sebagai guru PNS, dan ditempatkan di luar daerah.
Keberadaannya sebagai seorang gadis, guru, PNS menarik minat seorang pemuda pemangku adat daerah itu.

Keberadaan pemuda yang jauh dari sosok idealnya, membuat Ros tidak memperdulikannya.
Pemuda itu nekad! Dalam perjalanan pulang dari tempatnya mengajar, seperti biasa Ros naik angkot. Tanpa disadarinya angkot itu menuju arah yang lewat dari jalur biasanya, Ros tidak bisa berbuat apa apa selain pasrah, ketika salah seorang penumpang menodongkan pisau dan memintanya untuk tidak berteriak. Dalam kepasrahan, Ros hanya bermohon perlindungan kepada Allah.

Ros dibawa ke salah satu rumah di luar daerah, berjarak sekitar dua puluh kilometer dari rumah kontrakannya. Ros diperlakukan dengan baik, disambut layaknya tamu. Pemilik rumah ternyata salah satu paman Herman, pemuda anak pemangku adat itu.
Beliau mengungkapkan rencana keluarga dan mohon maaf dengan cara yang sudah dilakukan.
Memang dalam adat daerahnya, ada istilah kawin lari, dimana seorang gadis akan meninggalkan rumah dengan pria yang akan menjadi suaminya dengan meninggalkan surat untuk keluarganya sebagai permohonan izin.
Mereka minta ada sedikit modifikasi, dimana Ros diminta untuk membuat surat yang akan disampaikan ke keluarganya oleh utusan keluarga Herman. Ros diminta untuk mempertimbangkannya, dia diberi waktu untuk berfikir. Sebelum ada keputusan, Ros tetap tinggal di rumah itu, dengan penjagaan.

Dalam karantinanya, Ros berfikir sendiri, menimbang nimbang sendiri, memohon pada Allah petunjuk untuk mengambil keputusan yang terbaik. Ros sadar, keputusannya akan sangat menentukan kehidupan berikutnya.

Akhirnya Ros memutuskan untuk menerima pinangan Herman dan mengikuti rencana keluarganya, dengan harapan, walaupun Herman bukan sosok ideal, dia bisa membimbingnya kearah yang lebih baik, nyatanya toh sampai usianya 28 tahun, ikhwan yang didamba tak juga kunjung datang.

Kehidupannya berlimpah materi, sebagai anak pemangku adat, Herman berlimpah materi, perkebunannya luas. Akhirnya Ros tahu, Herman menginginkannya karena statusnya sebagai PNS. Sebuah kebanggaan memiliki istri seorang PNS, karena dilingkungannya wanita jarang yang berpendidikan tinggi, apalagi sebagai PNS. Ros tetap berjuang, dengan tersengal sengal, berusaha mengajak suaminya pada kehidupan beragama yang lebih baik, apadaya, dalam kesendiriannya dalam berjuang, boro boro suaminya menjadi lebih baik, justru Ros yang semakin melemah energinya. Ibadahnya semakin terkikis, dari cara berpakaian semakin menurun kualitas syar'inya, apalagi kegiatan dakwah? hmmm semakin jauh.

Saat saat berkesempatan sendiri, merenung, Ros ingat dengan kata katanya di kamar kos dulu.

“Menurutku, tidak semudah itu, Arrijaalu qowwamuuna ‘alannisa, laki laki itu pemimpin atas perempuan. Kalau Allah menentukan demikian, berarti kekuatan dan kewibawaan mereka di atas perempuan. Sebelum menjadi suami istri itu belum bisa dibuktikan, tapi ketika sudah menikah, risalah dan fitrah akan selalu mengarah ke konsep itu. Dibutuhkan hal luar biasa untuk keluar dari ketentuan itu.”

Satu hal yang membuat Ros menderita berkepanjangan, Herman berulang kali kawin cerai dengan perempuan lain, tapi tidak mau menceraikan Ros, walaupun sudah berulang kali diminta dan berbagai aksi dilakukan. Ini pelariannya yang ketiga, sebagai protes Herman menikah lagi setelah istri yang lain diceraikannya.

Aku tidak bisa berkata banyak, hanya memberi beberapa masukan, kemudian aku antarkan ke ustadz yang faham dengan syari'ah, untuk minta nasehat bagaimana mengatasi masalah rumah tangganya.

Satu hal yang Ros sesalkan, keputusannya menerima Herman sebagai suami.

Aku berusaha memotivasinya, tak ada guna penyesalan berkepanjangan, tak perlu menengok kebelakang, selamatkan apa apa yang masih bisa diselamatkan, yakinlah, tak ada yang tak mungkin bagi Allah.

***

Kehidupan memang penuh warna dan manusia punya peran dalam pewarnaan itu. Seharusnya kita bisa mengkombinasi warna yang tersedia menjadi lukisan kehidupan yang indah, menyegarkan dan menginspirasi dalam setiap helaan nafas, sehingga tak ada kesedihan berkepanjangan, sesak di dada dan derita yang menghimpit kehidupan. Sertakan Allah dalam setiap langkah kehidupan, saat mengambil keputusan, ketika menerima dampak dari keputusan, karena semua itu tak lepas dari takdirNya, sekenarioNya, kehendakNya.

No comments:

Post a Comment