Wednesday, December 4, 2013

MUJAHID JANGKRIK 18


Kamis malam. Anak anak sudah tidur, kulongok Abi sedang membaca di tempat tidur, di kamar tengah. Ada dua kamar yang jadi tempat istirahat kami, kamar tengah biasa aku gunakan untuk tidur dengan si kecil, sedang Abi lebih sering di kamar depan. Untuk si bungsu aku terlambat menanamkan kemandirian, sehingga belum bisa memisahkan tidurnya dariku. Anehnya lagi, ketika malam terbangun dan melihat ada Abi, dia akan menangis dan meminta Abi pindah kamar, ha ha ha

Aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri, bersiap untuk tidur.

Melihat aku masuk kamar dan menutup pintu, Abi meletakkan bukunya di meja kecil di sebelah tempat tidur serta mencopot kacamatanya.

Kurebahkan tubuhku di sampingnya. Tak ada reaksi, kulirik wajahnya, hmmm matanya terpejam, tapi aku yakin belum tidur, lah baru beberapa menit.

“Bi. . .,”

“Hmmm.”

“Sudah ngantuk?”

“Belum.”

“Boleh nanya?” hhhh, jantungku mulai berdegup agak keras.

“Ya?”

“Abi merasakan ada perubahan sikap Umi nggak sebulan terakhir ini?”

“Maksud Umi?”

“Ya, Abi melihat Umi belakangan ini ada perbedaan nggak, terutama dari sikap?”

“Mmm. . .ada nggak ya?” jawabnya sambil tersenyum, aku semakin deg degan.

“Ada nggak Bi?”

“Kasih tau nggak ya...?” hmmm benar benar menyiksa.

“Abiiiii?”

“Ada.” Jawaban itu membuatku semakin tidak nyaman, kurasakan tubuhnya bergeser mendekat, kupejamkan mata, berusaha pasrah, bersiap mendengar jawabannya. Terasa ada hembusan nafas di telingaku, aku semakin merinding.

“Umi tambah romantis.” bisiknya, aku kaget dengan jawabannya, tapi aku senang, reflek tanganku mencubit pinggangnya.

“Auuu!” jeritnya, aku nyengir kuda melihatnya kesakitan, rupanya cubitanku terlalu keras.

“Satu lagi, tambah genit!” katanya sambil melotot lucu, ah senangnya. Langsung kurebahkan kepalaku di atas dadanya, hmmmm. Lega rasanya.

***

Umi!

Ya, apa kabar Bib?

Badan semakin sehat, tidur agak lumayan, sudah ada nyenyaknya, walau sebentar.

Gimana perasaan Habib terhadap Umi?

Maksudnya?

Sudahkah rasa cinta itu kau kikis?

Entahlah Mi, aku masih merasakan hal yang sama, nyaman kalau berkomunikasi dengan Umi.

Kapan kau bisa hilangkan perasaan itu? Tentu menyiksa, mengharapka seseorang yang tak mungkin kau miliki?

Tau dirilah aku  Mi? nggak mungkinlah aku mau memaksa Umi jadi milikku? Sementara sudah ada Abi di sisi Umi. Kalau toh nanti aku  sudah beristri,Umi tetap aku butuhkan.

Koq gitu?

Memang apa bedanya aku dengan teman Umi yang lain? Bukannya teman Umi ada ribuan orang? Tuh nggak masalah?

 Habib benar benar menunjukkan kecemburuannya pada teman teman fb ku, yang dianggapnya bisa bebas berkomunikasi dan curhat.

Umi jangan tinggalin aku. Kuingin Umi dampingiku tuk selamanya

Ngomong opo tho Biiiiiib? Kapan kau akhiri semua ini?

Owh , aku sadari itu semua Umi.makanya mau ke tempat Umi, berobat dan insayallah ada pencerahan setelah itu.

Terimakasih kalau kau bisa selesaikan ini secepatnya.

Umi jangan khawatir, aku bisa ngerti gimana perasaan Umi, makanya aku nggak bakal nunda nunda tuk silaturahim segera..

***

Umi, aku berangkat sekarang, inssyaallah empat stau lima jam sampai tempat Umi.

Hati hati, barokallah.
***

“ Siang nanti ada agenda apa Bi?”

“Ada jadwal khotbah Jum’at, terus langsung jemput anak anak, kenapa?”

“Ada yang konfirmasi, siang ada pasien akupunktur, laki laki, gimana? Nunggu Abi dulu atau langsung Umi tangani?”

“Kalau Abi belum pulang, langsung tangani aja, kan ada anak anak di rumah, takut kelamaan.”

***

Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi nanti, hanya menunggu. Seperti biasa, sebelum pasien datang, aku persiapka ruangan dan perlengkapan yang akan kugunakan. Kunyalakan pengharum ruangan, kupilihkan musik lembut therapi yang diakui beberapa pasien menimbulkan sensasi rilex, sehingga mampu mengalihkan rasa sakit yang muncul akibat akupunktur, terutama yang sebelumnya mempunyai rasa takut dengan jarum.

Setelah sholat dzuhur, aku sempatkan makan, sekaligus menyuapi si kecil sampai selesai, Habib datang. 

Sendirian.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam, masuk!”

Kupersilahkan dia masuk ke ruang praktek, pintu depan kubiarkan terbuka, juga pintu penghubung dengan rumah induk.Kuupayakan sikapku sewajar mungkin, setenang mungkin.

“Duduk.”

“Maaf Mi, adek nggak jadi ikut, ada kegiatan.”

“Ok, nggak apa apa.”

“Nggak susah kan cari alamat Umi.”

Terdengar suara motor berhenti di halaman rumah, aku bangkit.

“Abi pulang, tunggu sebentar ya?”

Si kecil mendahului  langkahku menuju ke pintu depan, begitu ramainya menyambut kakak yang baru pulang, biasa, laporan kegiatannya di rumah.

Kuajak Abi ke kamar pasien, mereka berkenalan. Kutinggalkan sebentar menyambut anak anak, lalu kembali ke kamar praktek.

Abi berpamitan untuk makan siang, setelah menawari Habib ikut makan, tetapi di tolak karena sudah makan di warung diperjalanan tadi.

“Ayo, katanya banyak yang mau dibicarakan,”

Habib hanya tersenyum, tanpa menatapku, diarahkannya tatapannya ke arah pintu, sekali kali ke arah kesibukan dua anakku yang kubiarkan bermain di ruang praktek, sekalian menemani.

Kutunggu tak ada suara, akhirnya aku yang memulai.

“Umi koq rasanya belum percaya. . .”

“Belum percaya apa? Buktinya aku sudah ada di sini?”

Sepi, Habib diam, aku agak bingung mau membicarakan apa, akhirnya.

“Jadi mau terapy? Nggak takut jarum?”

“Jadi,” jawabnya lirih.

Abi masuk ruang praktek, minta maaf pada Habib, tidak bisa menemani, berpamitan padaku, ada rapat mendadak di assosiasi.

Kulanjutkan wawancara sekitar penyakitnya, sampai kutentukan diagnosa yang mendekati sesuai dengan hasil wawancara.

Ku arahkan Habib mengambil posisi terapi di tempat yang sudah ku siapkan. Akupun bersiap diri, memakai sarung tangan dan masker.

Ku raba bagian bagian tertentu di tangan dan kakinya, kutekan tekan, dan kutanyakan apa yang dirasakannya, sebagai penunjang hasil wawancara, untuk lebih meyakinkan dalam menentukan tindakan terapi.

Aku tak tahu perasaannya, tetapi aku perhatikan dari getar tubuhnya, bisa dipastikan dia tidak tenang, aku tidak berani memeriksa detak jantungnya, pasti hasilnya tidak akurat, he he he.

Aku sangat maklum, apabila yang selama ini diakuinya padaku benar, sangat wajar kalau reaksi tubuhnya seperti itu.

Kutangani sesuai prosedur standar, seperti yang kulakukan pada pasien lainnya. Setelah selesai ku tanamkan jarum pada titik titik terpilih, sambil menunggu proses terapi, Habib kuajak bicara. Sebagai seorang terapis, aku terpaksa menatap pasien ketika wawancara, untuk menghindari bias. Maka itu kuberlakukan juga terhadap Habib.

“Gimana pengajian pekanannya, sudah jalankan?”

“Sudah, aku dikelompokkan dengan teman teman yang sudah berumah tangga, aku sendiri yang belum menikah.”

“Ya pantaslah, memang seharusnya begitu.”

“Kenapa memang seharusnya begitu?”

“Memang tampangnya sudah tua, pantes punya anak.”

Ah, dia memalinghkan wajahnya, aku tersenyum. Nggak tahu, dia tersinggung atau tidak.

 Akhirnya pembicaraan kuarahkan pada pekerjaannya, tentang kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan pengajian pekanannya.

Setelah semua kuanggap selesai, koq nggak pamit juga?

“Mau sholat di sini?”

“Nanti saja cari masjid.”

“Lansung pulang ke rumah?”

“Mau mampir ke tempat paman, nginap di sana, kemalaman kalau ke rumah.”

Loh, koq nggak pamit pamit? Gimana nih?

“Umi mau sholat, mau pulang jam berapa?”

“Sekarang,” jawabnya lirih, sambil berdiri dan berkemas. Lalu, duduk lagi, lho?

“Nyaman banget Mi,” Habib memberanikan diri menyampaikan perasaannya.

“Keinginan Habib sudah kesampaian, bertemu Umi, nggak penasaran lagi kan? Artinya setelah ini nggak ada sms lagi?”

Habib langsung menghentikan langkahnya yang sudah hampir mencapai pintu depan, dia membalikkan badannya. Aku sempat kaget.

“Umi! Orang lain. . .”

“Ok.” Aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya.

***

Malam harinya, Habib sms panjang, wah bukan sms lagi nih.


Umi. Kaulah orang paling baik yang pernah kukenal. Di saat keterpurukanku kau hadir bagai cahaya. 

Kau orang paling jujur yang pernah ada dalam hidupku.



Di tengah beribu masalah yang kuhadapi, kau pemberi semangat bagiku, tak tahu bagaimana bila saat itu aku tak mengenalmu.


Terima kasih kuucapkan padamu wahai Umi, selama kaki ini masih berpijak, aku akan erusaha menjadi seperti yang kau harapkan.

Aku lega sudah bertemu denganmu dan melihat langsung bagaimana kehidupanmu. Sejujurnya aku iri dan sangat cemburu dengan Abi, manusia yang dalam pandanganku sangat sangat beruntung.Aku semakin ciut, harapanku semakin terkubur. Tidaklah mungkin rasanya aku memilikimu.Biarlah harap ini ku pendam dalam dalam, aku terima semua ini, walaupun berat, aku akan usahakan ikhlas dan ridho menerimanya. Sakit hati dan kecewa sudah sering aku rasakan, tapi jangan khawatir, aku tidak akan mengambil langkah bodoh seperti yang kemarin. Aku sudah mendapat bekal yang cukup darimu. Pesan pesan itu tak akan kulupa, pesan yang telah menghidupkan kembali semangat hidupku, mengembalikan pada tugas tugasku yang sudah kuabaikan. Jangan terlalu mendesakku untuk segera mencari penggantimu, sekarang aku akan menunaikan dulu tugasku sebagai pemimpin keluargaku, membantu ayahku mengarahkan dan mengantarkan adik adikku yang masih perlu bimbingan dan biaya. Ini bukti cintaku kepadamu, dan aku tidak pernah merasa bersalah mencintaimu, karena kau memang layak untuk kucintai, mungkin oleh semua laki laki.Aku berharap Abi bisa mencintai dan membahagiakanmu lebih dari kesanggupanku dan siapapun, karena kau layak untuk mendapatkan itu.Terimakasih untuk semua kebahagiaan yang telah kau berikan. Terimakasih untuk nasehat nasehat yang telah kau tanamkan dalam sanubariku, semoga Allah selalu menjagamu, selalu memberikan kebahagiaan dunia dan akherat, barokallah.

Airmataku menggenang, syukur kupanjatkan kehadiratmu ya Rahman. Bimbing selalu dia dalam memperbaiki kehidupannya, bantu dia untuk lebih kuat mengatasi masalah masalahnya.

Barokallah.
***

No comments:

Post a Comment