Wednesday, December 4, 2013

MUJAHID JANGKRIK 19


Sepulang mengantar anak anak ke sekolah, kulihat Abi membuka leptop..

“Nggak ada agenda Bi?”

“Kosong, mau cari berita terkini.”  

“Sempatkan baca tulisan Umi yang terakhir, dari kemarin kemarin Abi nggak sempat.”

“Ok.”

“Umi mau melanjutkan masak dan mencuci, tanggung.”

Kutinggalkan Abi sendirian, aku ke dapur, melanjutkan masakan yang belum selesai. Hatiku tak karuan rasanya, campur aduk. Takut, khawatir, degup jantungku tak menentu. Sangat menyiksa, sungguh, aku tersiksa dengan perasaanku!

“Umiiii!”

Jantungku seakan berhenti berdetak, kagetku melebihi ketika mendengar guntur menggelegar. Ya Allah, tolong hamba!

“Yaa!.” Jawabku, setengah berlari menghampiri kamar, sampai depan pintu langkahku terhenti, aku takut masuk.

“Sini!”

Perlahan kuhampiri Abi, sambil menunduk, tak berani kutatap wajahnya. Berdiri dihadapannya bagai patung, kaku, tak dapat bergerak.

“Duduk!” masih dengan suara sangat tegas.

Aku duduk bersimpuh dihadapannya, yang saat itu sedang duduk dikarpet.  

“Jadi pasien kemarin itu Habib, yang ada di tulisan Umi ini?” tanyanya dengan suara tegas, tapi tidak teriak seperti tadi.Aku mengangguk perlahan.

Dipegangnya kedua bahuku dengan kuat.

“Abi sedang bicara dengan Umi, angkat wajahnya!”

Perlahan kuangkat wajahku, tapi aku tak berani menatapnya. Kupejamkan mata, aku sudah pasrah. Apapun yang akan dilakukannya, aku pasrah, Aku tidak akan membela diri jika dia menyalahkan, aku hanya berharap, Allah memberikan yang terbaik bagi kami. Tak terasa air mata menggenang, dan perlahan mengalir di pipiku. Aku tidak tahu, apa arti tangisku, campur aduk perasaanku. Takut, merasa bersalah, menyesal, entahlah. 

Aku menunggu vonis itu. Tapi kenapa begitu lama? 

Tiba tiba aku merasakan sesuatu yang lembut hinggap di dahiku. 

Aku seperti tidak percaya, aku sangat hafal, itu...kecupan lembut bibirnya. Apa artinya ini? 
Aku mencoba mengintip apa yang terjadi, perlahan kubuka kelopak mataku, tapi kupejamkan lagi, aku takut ini hanya mimpi. Aku tak ingin beranjak dari suasana ini. 

Kurasakan tangannya berpindah ke pipiku, tidak keras seperti tadi, lembut. 

Aku masih takut membuka mata, sampai terdengar suaranya yang menggoda.

“Ih, seperti penganten, buka matanya! Koq malu malu?”

Setelah kuyakin dengan suara itu, kubuka mataku perlahan. Wajah itu begitu dekat, hampir bersentuhan dengan hidungku. Kulihat senyumnya, tak ada tanda tanda marah.

“Abi nggak marah?” tanyaku heran, sambil sedikit mendelik.

“Marah dengan siapa?”

“Umi?”

“Nggak ah, nanti kalau Abi marah, ada Habib yang begitu mencintai Umi.”

“Nggak marah dengan Habib?”

“Untuk apa? Dia toh sudah mundur? Bahkan kalau berkesempatan ketemu lagi, Abi akan mengucapkan terimakasih.”

“Koq malah berterimakasih ?”

“Habib sudah mengingatkan, bahwa Abi harus bersyukur mempunyai Umi, yang begitu di damba laki laki, bukan karena kecantikan fisik, tetapi karena karakter yang sangat dibutuhkan untuk mendampingi hidup.”

Hatiku membuncah, sangat bahagia. Langsung kususupkan wajahku kepelukannya, tapi uh, koq wajahku dijauhkannya dari dada? Ditatapnya mataku dalam dalam.

“Janji! Tak akan terulang lagi, Abi tak akan bisa menahan cemburu kalau sampai terulang lagi.”

Langsung kupeluk erat Abi, seakan tak akan kulepas lagi.Kunikmati suasana itu beberapa jenak, keresapi degup jantungnya, tarikan lembut nafasnya, eh ada sesuatu yang mengusik di benakku.

“Menurut Abi, apa tindakan Umi di hadapan Allah salah?”

“Semoga Allah mengampuni kesalahan kesalahannya, dan niat baik serta upaya yang Umi lakukan untuk mengembalikan seorang hamba dari keputus asaannya, dapat menutup kesalahan kesalahan itu.”

“Tolong bantu doakan Umi ya Bi?”

“Ya, tentu saja.”

“Mengapa Abi begitu percaya pada Umi?”

“Selama ini tidak Abi temukan alasan untuk tidak percaya, dan Abi sudah serahkan penjagaannya pada Allah untuk hal hal yang di luar kemampuan Abi untuk menjaga Umi.”

Subhanallah, Alhamdulillah, Astaghfirullah. Terima kasih ya Rahman, atas penyelesaian masalah ini, yang tidak menimbulkan korban.


TAMAT

No comments:

Post a Comment