Tuesday, December 17, 2013

HILMY 1


Bagaimana ini? Aku sudah tak kuat lagi , sebenarnya aku tak tega membangunkan suami yang pulas tertidur, dia terlalu lelah.
Baru sore tadi dia pulang mengantarkan ibuku , pulang berhujan hujan, kedinginan. Wajarlah kalau tidurnya sangat lelap. Tapi aku tak bisa berbuat apa apa, lemah kurasakan sekujur tubuh. Menggigil sejak tadi, untunglah bayiku yang baru berumur sepekan tidur dengan tenang.

Maafkan, terpaksa aku membangunkanmu Mas, bisik hatiku. Tapi tanganku tak sampai menggapai tubuhnya, suamiku tidur melintang di dekat kakiku, terpaksa ku senggol kakinya menggunakan kakiku.

Suamiku tampak terkejut, langsung bangun, duduk sebentar dia pegang kakiku.

“Masyaallah, panas sekali?”

Itu kata terakhir yang kudengar, setelah itu aku tak ingat apa apa, mungkin tidur atau pingsan, aku tidak tahu, seumur hidup belum pernah aku mengalami pingsan.

***

Kepalaku pusing karena bangun tiba tiba, panas yang menjalar dari kaki istri membuatku spontan duduk. Kupegang kakinya, haah! panas sekali. Aku segera turun dari dipan dan menghampirinya, Allah! Pingsan!

“Nduk! Bangun...nduk!” aku panik, segera kuambil air dan waslap untuk mengompresnya. Kuoles leher dan pelipisnya dengan minyak kayu putih dan kuhirupkan dihidungnya, dengan harapan segera sadar.

Ke dokter! Ya, harus ke dokter, tak bisa ditunda lagi. Wajah istriku pucat, pasi. Aku segera mengganti pakaiannya, mempersiapkan membawanya ke dokter. Kuminta adikku ke tempat mas Khudori, tetangga sebelah rumah, untuk mencarikan becak.

***
Ketika sadar, kurasakan bagian dahi basah, kupegang, oo ternyata ada kompres.

“ Yuk ke dokter,” kata suamiku  sambil tanganya sibuk memakaikan kaos kaki .

“ Jam berapa Mas?” tanyaku

“ Setengah dua belas.”            

“ Besok pagi saja Mas, nggak enak malam malam mengganggu dokter.”

“ Sekarang! Ini hasilnya kalau menunda nunda ke dokter!”

Memang setelah maghrib tadi suamiku mengajakku ke dokter karena badanku demam, tapi ku fikir demam biasa, maka aku menolaknya.

Sekarang aku tidak bisa menolak lagi, kondisiku sudah sangat membutuhkan pemeriksaan dokter. Dibantu suami dan adik ipar perempuan, aku bersiap berangkat, tapi aku ingat sesuatu.

“Ganti baju dulu Mas, aku tadi pakai daster.”

“Sudah,” jawab suamiku, pendek.

Rupanya saat aku  pingsan, suamiku sudah mengganti bajuku, aku tidak tahu baju yang mana, karena tertutup jaket dan jilbab, terserahlah, yang penting seluruh auratku aman, dan aku percaya pada suamiku, dia tak akan membiarkan auratku keleleran.

Dengan tertatih, aku di papah menuju becak yang sudah menunggu, terlihat mas Khudori  dan mbak Tus, istrinya di depan pintu. Kusempatkan berpamitan, walau sambil lalu dan sangat lirih, ”Mba, titip bayi ya?”

“ Ya,Mi, insyaallah.” jawab mba Tus, melegakan.
Di lingkungan aku biasa di panggil Umi, walaupun belum punya anak, karena aku guru ngaji dan santri memanggilku begitu, begitu juga suami, biasa dipanggil Abi.

Aku berjalan lebih tenang, setidaknya satu beban fikiranku lepas. Bayiku ada yang menjaga, mba Tus juga sedang menyusui anaknya, setidaknya kalau urusanku panjang dan lama, beliau bisa menyusui bayiku..

Di halaman sudah menunggu abang becak dan becaknya, pak Rasyid, tetangga yang juga pengurus masjid, dan pak Hasan, petugas keamanan lingkungan yang sedang berjaga.

“ Mas, tolong anter ke dr Naimah ya,”

“ Ya Bi, monggo.”

Rumah Dr. Naimah hanya berjarak sekitar 400 meter dari tempat tinggalku, pak Hasan mengikuti kami dari belakang, sekalian menjalankan tugasnya keliling lingkungan.

Sesampainya di depan rumah dokter, suamiku langsung melompat dari becak, bahkan sebelum becak berhenti. Membunyikan bel pintu gerbang berulang ulang, tidak juga ada yang membukakan..

Karena terlalu lama, suamiku melompat pagar rumahnya, yang tidak terlalu tinggi. Membunyikan bel di pintu rumahnya sambil mengetuk ngetuk. Sia sia.

“Mungkin sedang ke Jakarta,”

Terdengar pak Hasan sudah menyusul.

“Dibawa ke rumah sakit saja Bi, minta tolong antarkan sopir pak Ediwan,” usulnya.

Tak ada pilihan lain, suamiku kembali naik becak dan minta diantar ke rumah pak Ediwan, tetangga belakang rumah.

Sesampai di pintu gerbang, suamiku tidak langsung menekan bel, tetapi mengintip ke halaman dari jeruji pagar rumahnya yang tinggi, tak nampak mobil di garasi tempat biasanya mobil parker.

Akhirnya kami kembali ke rumah, ternyata pak Rasyid dan mas Khudori masih ada di halaman rumah kami. 

Aku dibiarkan di beca, suamiku turun, membicarakan hasil perjalanan kami sesaat tadi. Dalam kondisi lemah tanpa tenaga, aku tetap memikirkan jalan keluarnya, pandanganku tertuju pada telfon umum yang ada di pojok halaman masjid. Aku memang tinggal di kompleks masjid, karena tugas suamiku sebagai pimpinan TPA di masjid itu.

“ Mas, telpon bu Tarni dulu, baiknya bagaimana,”

“ Nomernya lupa,” jawab suamiku, aku maklum. Itu pertama kali aku melihat kepanikan yang luar biasa, sebelumnya dia akan bersikap tenang menghadapi situasi segenting apapun.

Alhamdulillah, dalam kondisi fisik lemah tanpa tenaga. Ingatanku masih baik, aku ingat nomor telpon rumah bu Tarni, bidan yang menolong persalinanku seminggu yang lalu.

Kulihat suamiku menelpon, menjelaskan kondisi saat ini, minta pendapat beliau.

“ Kita ke rumah bu Tarni dulu.”

Kulihat suamiku berunding dengan yang hadir, nampak mereka kebingungan, dengan apa membawaku ke sana? Tempatnya jauh, tidak mungkin dengan becak.

“ Mas, kan di rumah pak. . .siapa tuh yang pojokan jalan, ada mobil angkot,” aku memberi usul.

Alhamdulillah, dalam kondisi terkulai, Allah masih memberikan kejernihan pada fikiranku, walau tak sesempurna ketika sehat.

“Masyaallah, iya, tempat pakde kan ada mobil, dua malah,” suamiku sampai teriak, hmmm, nih ada bapak bapak empat orang panikan semua, lupa dengan hal penting seperti itu.

Akhirnya, aku dan suami di antar oleh anak pakde dengan mobil pribadinya.

Dalam perjalanan benar benar aku merasakan seluruh tubuhku bagai dilolosi, lunglai, tanpa tenaga. Dalam kondisi seperti ini, aku teringat dengan bayiku.

“ Mas. . . titip eee, siapa anak kita namanya. . .?” kataku  pada suami, heran! Nomer telfon ingat, tetangga ingat, hah! Nama anak sendiri nggak ingat, ah maklumlah, baru sepekan. Aku ingat dengan wasiat.  Aku ingin berwasiat, tapi suamiku segera memotong ucapanku yang belum kuselesaikan.

“ Sudah, diam! Nggak usah banyak omomg, perbanyak dzikir!”bentaknya.

Aku kaget, belum pernah suamiku membentak selama ini, tapi aku maklum. Mungkin itu ekspresi ketakutan, kekhawatiran yang sangat.

Aku menurut, tak bicara lagi. Sepanjang jalan aku merenungkan apa yang terjadi. Yang kurasa hanyalah lemas, tanpa tenaga, tetapi aku tidak merasakan sakit apa apa. Disekujur tubuh, aku rasakan baik baik saja, hanya lemah. Mau menggerakkan jaripun aku tak sanggup. Aku duduk bersandar di kursi bagian tengah mobil, di pegangi suamiku. Kepalaku tak bergeser dari bahunya., aku merasakan debaran jantungnya yang memburu dan kurasakan menjalar sampai bahunya, aku merasakannya. Kurasakan perjalanan ini begitu jauh, begitu lama. Kupejamkan mata, sekali kali kubuka. Kupandangi langit penuh bintang, sejuk  kurasakan  udara malam ini.

Inikah saatnya aku meninggalkan semuanya? Aku coba coba ingat, seperti apa rasanya sakaratul maut yang di gambarkan oleh Rasulullah dalam salah satu hadistnya. Tapi koq tidak sama ya? Katanya, semudah mudahnya sakaratul maut, tetap ada sakitnya, ada ketakutannya, tapi yang kurasa justru keindahan malam yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Nikmatnya badanku tanpa rasa sakit sedikitpun, hanya tanpa tenaga. Tetapi kondisi tanpa tenaga itulah yang justru mengantarkanku pada kepasrahan total kepadaNya, benar benar pasrah. Mungkin itulah saat terindah aku dalam  kepasrahan, tanpa sisa sedikitpun, total.

Sesampainya di rumah bu Tarni, aku di bopong suami, di bantu bu Tarni dan anak gadisnya, aku benar benar tanpa tenaga, tak bisa lagi dipapah.

“ Di kamar depan saja!” perintah bu Tarni.

Aku segera di tangani, di periksa, tanpa ku duga bu Tarni memerintahkan anaknya untuk mengambil alat kerokan, hah?

Aku di keroyok. Ada yang mengerok, ada yg memijit, seluruh tubuhku, depan, belakang, tangan, kaki. Setelah semua terkendali, aku di beri minum teh hangat. Aku rasakan tubuhku mulai bertenaga, ku coba gerakkan jari, perlahan  mengangkat tangan, Alhamdulillah, berhasil.

“Bagaimana bu?” Tanya suamiku, masih dengan nada khawatir.

“ Sudah Mas, nggak apa apa. Tapi biar disini dulu. Lihat perkembangannya. Bayinya saja Mas ambil, bawa ke sini, biar Uminya lebih tenang.”

“Apa yang terjadi Bu?”

“ Masuk angin kasep.”

Masyaallah, masuk angin? Kalau masuk angin saya biasa tangani, tapi belum pernah ketemu yang seperti ini. 

Baik, saya akan bawa kemari bayinya.”

Tanpa menunggu dua kali, suamiku pulang mengambil bayiku, oh baru ingat, bayiku namanya Hilmy, ooh, maafkan Umi nak, sampai lupa namamu.

“ Bu, kondisi seperti tadi apa bisa nggak tertolong?”

“ Sangat bisa, terlambat sedikit ya bisa nggak tertolong.”

Alhamdulillah ya Allah, Kau izinkan aku lepas dari masa kritis ini, tak terasa air mata menetes di pipi, aku kangen bayiku.

***

No comments:

Post a Comment