Tuesday, December 17, 2013

HILMY 2


Setelah mendapat kepastian, istriku baik baik saja dan bisa ditinggal, aku segera bergegas pulang untuk mengambil Hilmy, masih dengan mobil pakde, karena memang anak pakde menunggu hasil pemeriksaan.

Sesampai di rumah segera kusiapkan keperluannya, pakaian dan lain lainnya. Agak bingung juga sih, apa apa saja yang dibutuhkan, tapi biarlah, kekurangannya besok kuambil lagi setelah tanya istri, dan lagi tentunya di rumah bu Tarni ada keperluan bayi, bukankah memang di sana klinik bersalin? Aku agak bingung ketika mau menggendongnya, bisa sih, kemarin juga menggendong, tapikan hanya di dalam rumah, sedang ini akan pergi lumayan jauh, malam menjelang dini hari, angin kencang dan tentunya dingin sekali. Dimana selimut bayi yang tebal, yang dipakai waktu pulang dari klinik bersalin ya? Ah, aku tidak menemukannya. Hmm, ada handuk baru, lebar dan tebal hadiah dari salah satu orang tua santri TPA tergeletak di sisi bantal, istriku belum sempat membereskan dan menyimpannya. Kugunakan handuk tebal itu untuk membungkus Hilmy, beres. 

Kugendong Hilmy dalam dekapanku, melindunginya dari hawa dingin dan angin kencang.

Mengulang perjalanan yang sama, tapi jauh berbeda yang kurasa. Perjalanan kali ini tak begitu menegangkan, tak juga menakutkan, mengkhawatirkan. Aku bersyukur, Hilmy tenang dalam gendonganku, anak pintar. Tadi kata mba Tus, Hilmy juga nggak rewel, saat bangun, disusui dan tidur lagi, Alhamdulillah. Itu sangat membantu, yang jelas aku akan sangat panik jika dia menangis, aku tak tahu cara mendiamkannya, akukan tidak punya ASI, he he.

“Astaghfirullah!” tiba tiba aku rasakan mobil berhenti mendadak,dan. . .masyaallah, di posisi jalan sedang menanjak?

“Kenapa mas?” tanyaku panik.

“Sepertinya bensin habis, Bi.” Jawab anak pakde.

Mobil dimundurkan untuk mencari posisi yang lebih aman, kemudian anak pakde keluar.

“Tunggu dulu ya Bi, saya cari bensin dulu.”

“Di mana mas nyarinya?”

“Saya coba dulu di sekitar sini, mungkin ada warung yang masih buka.”

Aku menunggu beberapa saat, sambil terus berdoa, mohon agar Hilmy jangan bangun dulu, masih jauh. 

Sambil berhitung, andainya aku jalan kaki, tapi kasihan Hilmy, dingin dan angin terlalu kencang.

“Nggak ada yang buka Bi, gimana ya?” anak pakde datang tanpa hasil.

Aku berfikir keras, kupandang sekeliling, Alhamdulillah.

“Maaf mas, itu ada telpon umum, mungkin bisa minta tolong pakde.”

“Oh, ya. Telpon bapak, minta tolong bawakan bensin.” Anak pakde langsung menuju ke telpon umum. 

Hmmm, penantian diperpanjang, ya Allah, tolong lelapkan Hilmy selama menunggu.

Aku berunding dengan anak pakde, bagaimana caranya segera sampai tempat, kalau menunggu pakde jelas lama, akhirnya diputuskan untuk mencari pertolongan, tumpangan mobil yang lewat.

Aku tetap di dalam mobil, sedang anak pakde menyetop setiap mobil yang lewat, sudah beberapa yang lewat, tapi tak satupun yang mau berhenti. Kuputuskan turun sambil menggendong Hilmy, ikut menyetop mobil yang lewat, dengan harapan ada yang kasihan melihatku menggendong bayi. Aku tak tahu, berapa mobil yang telah kami stop, tak satupun yang perduli. Aku sedih, tapi aku maklum, mungkin mereka khawatir dan curiga, maklumlah hampir jam dua malam. Akhirnya aku harus bersabar menunggu mobil pakde.

Hampir dua jam kami terombang ambing dalam penantian, akhirnya pakde datang, langsung mengantar aku dan Hilmy, sedang anak pakde menunggu mobil yang kehabisan bensin.

***

Bahagianya mendengar suara suamiku datang, aku ingin bangkit, tapi belum kuat, aku ingin segera memeluk bayiku. Baru beberapa jam saja aku berpisah dengannya, tapi aku sangat kangen, aku segera memeluknya ketika suamiku mengulurkannya padaku. Kupeluk dia yang sedang tenang tidur dalam balutan handuk tebal. Subhanallah.

Bu Tarni menyarankan aku tidak menyusuinya dulu, sebelum kondisiku pulih, khawatir mempengaruhi bayiku. Aku menurut, dalam kondisi seperti ini aku percayakan semuanya pada bu Tarni, dia lebih tahu tentunya. Akhirnya bayiku di bawa asistennya ke kamar lain untuk di rawat. Aku belum bisa melakukan apapun untuk bayiku. Aku sedih, menangis, tapi berusaha untuk menerimanya, aku pasrahkan semuanya pada Allah.

Keesokan harinya, atas saran dokter, aku di bantu infus agar segera pulih, juga minum beberapa obat untuk mengatasi demam dan berbagai keluhan yang menyertainya.

Apa sebenarnya yang terjadi denganku?

Sampai saat ini aku tidak tahu pasti, tapi kemungkinan besar disebabkan salah urus, he he he.

Sejak menikah, kami memang mandiri, jauh dari orang tua. Ibuku datang ketika aku sudah melahirkan, dan hanya bisa menemani tiga hari. Saat itu musim hujan, cuaca dingin mempengaruhi bayi sering pipis, sehingga butuh sering ganti pakaian. Saat itu kami mencuci manual, tidak ada pengering, sehingga proses pengeringan cucian tergantung matahari. Melihat kondisi suami yang sibuk, aku berusaha mencuci setiap ada popok dan baju bayi yang kotor, agar jangan sampai kehabisan baju kering. Kondisi baru melahirkan, di tambah cuaca dingin dan bolak balik ke air, membuat kondisi tubuhku semakin rentan, wajarlah kalau kondisi itu memicu menurunnya daya tahan tubuh.

Walaupun aku sudah mempersiapkan diri dengan banyak membaca tentang menyambut kelahiran dan bagaimana merawat bayi, tapi tanpa pembimbing yang sudah berpengalaman dan semua harus ditangani sendiri, membuat aku tak berdaya dan terpuruk dengan kondisi yang tak sesuai dengan yang aku baca, ini pengalaman yang sangat berharga untuk anak anak selanjutnya. Ini pengalaman pertamaku merawat bayi.

Pengalaman pertama menjadi seorang ibu, benar benar pelajaran yang luar biasa, Alhamdulillah, untuk 5 orang adik adiknya, kejadian itu tak terulang lagi. Setiap habis melahirkan, aku selalu ingat pengalaman itu dan berusaha untuk menghindari penyebab dari kejadian  seperti itu.

***

Setiap mengingat peristiwa itu, syukur kehadirat Allah selalu kupanjatkan, begitu besar karunia dan kemudahan yang diberikannya kepada kami saat dalam kesulitan. Satu hal yang kami yakini, kemudahan kemudahan itu tak lepas dari kehidupan kami sebagai guru ngaji dan pengurus masjid juga pengurus kematian. Memang apa yang kami lakukan bukan profesi bonafid, tapi dalam kondisi kesedihan, kematian anggota keluarga, profesi kami sangat dibutuhkan dan tentunya sangat membekas, manusiawi sekali, ketika seseorang merasa pernah ditolong maka akan sangat senang memberikan pertolongan kepada orang yang pernah menolongnya.
***

No comments:

Post a Comment