Saturday, January 4, 2014

SESALAN


“Apa yang memberatkan fikiran Mamak? Membuat gundah? Eny perhatikan, setiap doa usai sholat Mamak selalu menangis, kadang sampai tersedu?” tanyaku sambil melipat mukena, setelah sholat berjamaah dengan Mamak. Memang selalu kuusahakan untuk sholat berjamaah dengan belaiu saat mengunjunginya.

“Mamak tidak pernah bisa menahan air mata ketika berdoa. Semua anak anak mamak, juga bapak, selalu Mamak doakan, tapi ada penghalang ketika akan mendoakan mbakmu, Lia.” jawabnya lirih, kerut merut di wajahnya semakin menunjukkan kerentaannya. Usianya 85 tahun, terhitung panjang umur dan relatif sehat menurut ukuran dewasa ini.

Lia, kakak sulungku. Perjalanan hidupnya telah membuat sesalan tiada akhir di hati Mamak, ibu kandungnya, yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidiknya.

***

1972

“Mengapa harus Jogja Pak? Terlalu jauh, Lia anak perempuan.” Mamak minta penjelasan, apa alasan Bapak mengizinkan mba Lia sekolah di Jogja.

“Di sini belum ada sekolah perawat, apalagi yang ada asrama dan beasiswa. Nggak apa apa Mak, Lia pemberani, dia akan bisa menjaga diri.”

“Tapi Liakan sudah tamat SMA, sedang sekolah perawat itu setara dengan SMA? Kan sayang usia tiga tahun berlalu terbuang?”

“Ya nggak terbuang, tetap saja pelajaran SMAnya terpakai. Kalau mengandalkan ijazah SMA, sulit mendapat pekerjaan yang agak lumayan, kalau jadi perawatkan mudah mendapatkan pekerjaan, dan lagi, cita cita Lia memang ingin jadi perawat.” Bapak tetap mantap dengan keputusannya.

“Tapi itukan sekolah agama lain? Tentunya peraturannya sesuai dengan agama mereka? Lia muslimah lho Pak, bagaimana nanti dengan ibadahnya bila tinggal di asrama dengan aturan agama lain?”

“Tidak ada persyaratan tentang agama, siapapun yang lulus tes bisa diterima, dan Lia sudah membuktikan bahwa dia layak masuk asrama itu.”

Jawaban tegas Bapak membuat Mamak tak lagi dapat bicara, tatapan matanya mengisyaratkan beliau tak ingin lagi mendengar perkataan Mamak selanjutnya, dengan wajah menunduk, ditinggalkannya Bapak. Tak ada lagi yang dapat dilakukan kecuali menangis, hatinya tak setuju, tapi tak mampu membujuk Bapak tuk membatalkan keberangkatan sulungnya.  

***

1975

“Mengapa harus di sana? Apa tidak bisa mencari pekerjaan di rumah sakit atau klinik di sini? Itukan Rumah Sakit di bawah naungan agama lain, tentu asramanya juga pakai aturan agama mereka?” Mamak berusaha mencegah mba Lia yang minta izin merantau ke kota lain.

“Mak, dari SD, SMP, SMA, SPK, Lia sekolah di sekolah mereka, nyatanya sampai saat ini Lia tetap muslimah, apa itu bukan bukti bahwa Lia kuat? Lia tetap mempertahankan kemusliman Lia walaupun di lingkungan mereka?” mba Lia berusaha meyakinkan Mamak.

“Sudahlah Mak, jangan takut berlebihan begitu, benar apa yang Lia bilang,” Bapak menimpali, memperkuat argumen mba Lia.

Tak ada yang bisa dilakukan Mamak, kecuali masuk ke kamar dan menangis, menyesali diri, karena tak mampu mencegah kepergian sulungnya untuk yang kedua kali masuk ke lingkungan yang membahayakan aqidahnya.

***

1977

Apa yang ditakutkan Mamak terjadi. Mba Lia datang dan mengabarkan sudah berpindah agama. Bagai dihantam godam Mamak mendengar berita ini. Tiga hari tiga malam Mamak menangisinya, sakit terasa hatinya, lebih sakit andainya ditikam belati atau disayat sembilu.

Darah dagingnya, anak yang dilahirkan, disusui, ditimang dan diasuhnya dengan segala pengorbanan dan rasa sakitnya, memilih jalan lain. Pupus harapannya mendapat doa anak sholihah, habis impiannya tuk bahagia bersama di surga seperti yang diangankannya.

Sebulan setelah seremoni perpindahan agama, mba Lia menikah dengan pria yang seagama dengannya. Mamak tak mengizinkan pernikahan itu di rumahnya, pun tak hadir ketika pernikahan itu, hanya Bapak, aku dan kakakku yang saat itu belum begitu faham masalah itu.

***

Ibu tetaplah ibu, yang begitu mudah memaafkan apapun kesalahan yang dilakukan anaknya. Mamak tetap memperlakukan mba Lia sebagai anak dan menerima suaminya sebagai menantu, tetapi itu secara fisik, tetapi luka hati itu tak juga mengering, bahkan sampai saat ini.

“Apa Mamak tidak ridho dengan kehendak Allah? Bukankah setiap takdir semua atas kehendak Allah, termasuk yang terjadi pada mba Lia?” hati hati sekali kutanya Mamak.

“Mamak berusaha ihklas dan ridho atas kehendak Allah, tapi sedih ini sulit sekali hilang dari hati, apalagi ketika Mamak ingat, mungkin tak lama lagi akan menghadap Allah, malu dan takut, apa yang akan mamak katakan? Mamak diberi amanah, tetapi tidak mampu menajganya.”

“Allah Maha Melihat, Maha Adil. Tentunya usaha Mamak untuk mencegah terjadinya hal itu juga dinilai sebagai bentuk tanggung jawab Mamak terhadap amanah itu.”hiburku.

“Mamak takut, usaha Mamak dinilai belum maksimal.”

“Mak, Eny ingin, di hari tua Mamak bisa hidup dengan tenang, menikmati ibadah, lebih dekat dengan Allah. Pasrahkan semua pada Allah yang Maha Pengampun, manfaatkan waktu yang ada untuk berdzikir sebanyak banyaknya, semoga sesalan Mamak menjadi sebab ampunanNya. Semua  manusia sudah ditentukan garis hidupnya, kita hanya mengikuti ketentuan itu sebagai ujian perjalanan hidup. Setiap diri bertanggung awab atas perbuatannya.”

Mamak memelukku erat, adem rasanya. Kuusap air matanya dengan ujung jariku, Mamak tersenyum, kucium pipinya. Dipeluknya lagi aku dalam dekapannya, giliranku menitikkan air mata haru, kulantunkan doa dengan suara lirih,” Yaa Rahman, sayangi Mamak dan bahagiakan beliau di hari tuanya, berikan khusnul khotimah dan keluasan surga untuknya.”

***

No comments:

Post a Comment