Saturday, January 11, 2014

NYALEG

"Kenapa Abi mau?" tanyaku dengan nada agak tinggi.

"Kenapa juga Abi harus menolak?" suamiku balas bertanya, dengan nada agak heran.

"Jadi calegkan banyak resikonya?"

"Misalnya?"

"Modal finansial, mana ada orang jadi caleg nggak pake modal?"

"Insya Allah, nanti ada rizkinya."

"Kemampuan, baik menjaring suara maupun ketika jadi anggota legislatif, nggak ada latar belakang pendidikan politik."

"Abi nggak kerja sendiri, jadi caleg juga bukan kemauan, tapi diberi kepercayaan. Kerjanya tim, kalau toh Allah mengizinkan Abi terpilih, insya Allah diberi kemampuan untuk mengemban amanah. Kitakan pembelajar, terbiasa belajar cepat."

Aku diam, tak ada yang bisa kubantah dari penjelasan suami, tapi hatiku belum ikhlas dan ridho, masih ada ganjalan.

"Umi takut fitnah, dunia politik penuh dengan fitnah." kataku lirih.

Suamiku bangkit dari duduknya, berpindah ke sebelahku, merapat, tangannya merengkuh bahuku sambil diusap usapnya, menenangkan perasaanku.

"Sudah berapa lama kita di jalan ini? berbagai jenis medan sudah kita masuki, dakwah kampus, sekolah, masjid, ormas, TPA, masyarakat umum, saatnya kita diamanahi di medan politik. Komitmen kita di jalan ini mengharuskan kita menerima amanah ini. Kita bekerja bukan untuk siapa siapa, semuanya kita niatkan bekerja untuk Allah."

Aku diam, mendengarkan dan mencoba meresapi. Sebenarnya secara konsep aku faham sekali, tetapi ketika sampai ranah aplikasi, heeeeh, masih jirih, membayangkan fitnah yang dihadapi teman teman yang sudah lebih dulu terjun di dalamnya. Selama ini kami sebatas mendukung dan menjadi relawan, tapi kini, diamanahkan untuk melakoninya.

Berbagai jenis fitnah mereka alami, menyangkut masalah kurangnya dukungan keluarga, kecemburuan dari teman teman yang punya ambisi tapi belum diberi kesempatan, waktu yang tersita, lelah fisik dan fikiran, besarnya dana yang harus disiapkan, dan lain lain.

"Secara konsep Umi faham dan tak hendak mengelak, tapi dalam teknisnya nanti yang belum terbayangkan."

"Kita jalani semampu kita, tak hendak memaksakan diri. Ketika kita diamanahi, maka mindsetnya 'berhasil', masalah nanti bagaimana yang terjadi, kita pasrahkan pada Allah. Semoga amanah ini justru bisa lebih mendekatkan diri kita kepada Allah."

Walau masih berat, aku berusaha untuk lapang dada. Sebagai pendamping, mau nggak mau ya mendukung, semoga semua berjalan lancar.

***

Apa yang aku khawatirkan sebagian terjadi, bahkan yang belum terbayangkan sebelumnya lebih banyak lagi.

***

"Semua partai sama aja! halal haram hantam, yang penting menang." ada suara dari tetangga yang sudah pesimis dengan partai atau yang mendukung calon lain, sampai ke telingaku, tapi tidak langsung, melalui salah satu binaan di Majelis Ta'lim.

Belum ada suara miring langsung sampai ke telingaku, semua disampaikan oleh orang ketiga. Yang aku rasakan dari raut muka, ada yang sinis ketika membicarakan tentang pencalegan suamiku, tapi aku tak ingin bersu'uzdon, belum tentu benar, hati orang hanya Allah yang tahu.

Ada juga beberapa orang yang sebelumnya hanya kenalan biasa, tiba tiba mendekat, dengan bahasa halus menawarkan diri jadi tim sukses. Suami menyambutnya, selagi masih bisa direspon dengan baik, mereka adalah bagian dari sasaran dakwah. Mereka menawarkan keluarga besarnya untuk disosialisasi, tentunya biaya mengumpulkan orang menjadi tanggungan caleg dan timnya.

Kesempatan seperti itu digunakan sebaik baiknya, bukan sekedar sosialisasi, tapi ada sesuatu yang bisa diberikan di masyarakat. Suami lebih memilih membagikan ilmu dibandingkan materi, misalnya mengadakan pelatihan bebas buta huruf Al Quran, atau pelatihan tentang tanaman obat dan sebagainya, atau sekedar tausiyah/ siraman rohani.

Itupun menimbulkan fitnah dan kesinisan, ada yang sampai ke kami komentar 'menjual agama' untuk mencari kekuasaan, caleg kere, nggak pake modal, dan sebagainya.

Ketika dalam kondisi badmood, aku menangis, kuusahakan tidak terlihat suami, aku mengadu hanya pada Allah, tapi untuk urusan yang butuh solusi, aku selalu menyampaikannya pada suami.

Bukan hal mudah sebenarnya untuk kondisi ekonomi keluarga kami, tapi suami selalu memberi motivasi,

"Ini kesempatan kita untuk berinfaq, mungkin kalau Abi tidak dicalonkan, kita tidak akan pernah berinfaq sebanyak ini?"

***

"Maaf ya Bi, kadang Umi berharap Abi nggak jadi, Umi sepertinya belum siap memasuki dunia yang penuh fitnah ini."

"Fitnah ada di mana-mana, tidak hanya ada di dunia politik, tapi karena dunia ini banyak di kejar oleh orang-orang yang senang dengan kekuasaan, wajarlah kalau masing masing pihak membuat strategi untuk memenangkan permainan, salah satunya dengan perang pemikiran, membesar besarkan opini fitnah di dunia politik, sehingga orang orang yang berusaha membersihkan diri dari kotornya dunia, enggan masuk ke dunia ini. Bayangkan, kalau semua orang baik menghindar dari dunia politik, tentunya dunia politik dikuasai oleh orang orang yang tidak ada minat untuk menyebarkan nilai nilai kebaikan, Kebijakan kebijakan yang dibuatpun tidak memihak pada kebaikan, membela rakyat, melindungi yang lemah. Itu sebabnya dibutuhkan orang orang baik yang siap masuk ke dunia yang dianggap kotor ini, tapi tidak terkontaminasi kekotorannya. Kalau masyarakat mau jujur, tidak apriori, masih banyak koq tokoh politik yang layak dijadikan panutan."

***

"Kupasrahkan segalanya kepadaMu ya Rahman. Berikanlah kekuasaan kepada orang orang beriman yang amanah, beri kekuatan dan kesabaran kepada mereka."

No comments:

Post a Comment