Tuesday, January 28, 2014

MENGHITUNG HARI

Apa khabarnya Mba Rina, dik?

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun, maaf kak Rita belum sempet ngabarin. Mba Rina sudah meninggal dua tahun yang lalu, dibunuh seseorang, di rumahnya.

Silaturahim dengan kak Rita terjalin lagi sekitar sebulan yang lalu ketika dia mengajukan permintaan pertemanan di fb. Sebenarnya sebelumnya sudah aku cari, tapi tidak ada karena memang belum bergabung.

Dulu, 25 tahun lalu, kami sempat akrab. Walaupun tidak satu fakultas atau satu angkatan, tapi aktifitas di masjid kampus membuat kami menjalin persahabatan, tentunya dengan aktivis yang lain juga.

Kami tak pernah jumpa lagi sejak kak Rita kembali ke Medan, kota asalnya, 23 tahun lalu.

Chattingan dua hari yang lalu itu masih kupikirkan, mengingatkan pada kejadian ketika kudengar berita yang sangat mengejutkan dan hampir tidak bisa dipercaya. Mba Rina, kakak angkatanku waktu kuliah, di bunuh di rumahnya. Sulit difahami, bagaimana seorang muslimah yang aktif membina majelis taklim, rajin menimba ilmu dan banyak lagi kebaikannya di masyarakat, mendapatkan takdir yang menurut pandangan masyarakat, sangat mengenaskan, di bunuh dengan cara biadab.

Sayangnya kasus itu tidak diteruskan atas permintaan keluarga besar almarhumah. Entahlah, apa yang menjadi pertimbangannya. Ada yang mengatakan karena pelaku diduga salah satu keluarga jauhnya, ada juga yang menduga, mungkin menjaga perasaan anak-anaknya, agar tidak trauma.

***

"Hikmah apa yang bisa kita ambil dari musibah ini, Mi?" Tanya seorang ibu peserta majelis taklim binaanku, seminggu setelah kejadian.

"Silahkan yang lain, bisa mengambil hikmah apa?" kulempar pertanyaan ke seluruh peserta.

"Kita tidak pernah tau kapan ajal menjemput, itu sebabnya, kita yang ditinggalkan berusaha menyiapkan diri sebaik mungkin." seorang ibu menyampaikan pendapatnya.

"Kita juga tidak pernah tau, bagaimana cara kita menutup usia, dan jangan berprasangka buruk terhadap saudara kita yang sudah meninggal, walaupun caranya dianggap su'ul khotimah."

"Su'ul khotimah menurut manusia, belum tentu menurut Allah, itu ujian bagi kita untuk menyikapi takdir orang lain."

"Sayang banget ya? padahal seminggu lagi Romadhon, bulan yang selalu kita minta umur kita sampai kepadanya."

"Ibu-ibu, pernah nggak menghitung hari?" tanyaku. Hening sejenak, semua mata mengarah padaku, menunggu kelanjutan dan penjelasan.

"Kalau hari yang belum datang kita tidak bisa menghitungnya dengan pasti, masih berapa hari lagi dan akan kita gunakan untuk apa, tetapi untuk hari-hari yang sudah kita lalui, seharusnya kita bisa menghitungnya, karena kita tau pasti apa yang sudah kita lakukan dengan hari-hari itu."

***

Hampir setiap kita, akan melalui tahapan kehidupan mulai dari: lahir --> bayi --> masa kanak-kanak --> remaja  --> dewasa --> tua --> mati --> alam kubur --> akherat, walaupun setiap individu tidak sama masanya dalam setiap tahapan.

Masa sebelum remaja, tak usahlah kita hitung-hitung, itu adalah anugerah untuk kita, apapun kondisinya. Yang perlu kita hitung adalah usia dari remaja dan seterusnya, saat batas antara masa anak-anak yang kita tidak akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang kita lakukan dengan usia dewasa, yang mana kita harus tanggung jawabkan dari setiap detik waktu, desah nafas, gerak lisan dan seluruh anggota tubuh kita.

Masa remaja, ketika kita bertemu dengan masa baligh, batas seorang manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya. 

Di mana posisi kita saat ini? 

Dari situlah harusnya kita menghitung mundur, apa yang sudah kita lakukan dengan hari-hari kita.

Menghitung semua urusan yang telah kita lalui.

Bagaimana dengan sholat kita di masa remaja, di masa sibuk, di masa lalai, pernahkah kita tinggalkan? Berapa kalikah, sedangkan sholat adalah perkara yang tidak bisa ditinggalkan selama kita masih berakal? Sholat adalah perkara yang tidak bisa diwakilkan oleh siapapun?

Bagaimana dengan puasa kita? berapakah hutang puasa yang belum kita bayarkan? bagaimana bila Allah menjemput sedang hutang itu belum terlunaskan? Adakah anak yang sudah kita didik menjadi sholeh/ah yang bisa kita harapkan membayarkan hutang dan mendoakan agar kita diampuni atas kelalaian itu?

Bagaimana dengan sikap kita pada orang tua yang telah berkorban segalanya untuk membesarkan dan mendidik kita? Ibarat kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, untuk memenuhi amanahNya, sudahkah kita membahagiakan, sekedar tidak menyakiti hatinya? Ataukah kita termasuk anak yang selalu menumpahkan air mata bunda dan menyesakkan dada ayahanda karena kebengalan kita?

Di mana kita ketika orang lain bahu membahu memperbaiki kondisi umat, meningkatkan pemahaman masyarakat, membina remaja dan pemuda untuk perbaikan generasi berikutnya?

Apa yang sudah kita lakukan untuk mencetak generasi dan melahirkan singa-singa yang gagah dengan auman dan wibawanya, menggetarkan muruh-musuh yang gigih merangsek ingin menghancurkan generasi bangsa? Ya, dari rumah kita. Bukan generasi manja dengan gaya hedonisme yang hanya mengejar dunia?

Haaaah! Lelah! Lelah menghitung hari-hari yang telah berlalu dan takkan pernah terganti lagi.

Tapi itu harus tetap kita lakukan, agar bisa menghitung hari-hari ke depan, apa yang harus dilakukan untuk mengimbangi kesia-siaan hari yang telah lalu. Tak perlu meraba, masih berapa harikah diizinkan menghirup udara dunia, tetapi bagaimana memperlakukan dan melipat hari agar tunai semua amanah yang harus kita tuntaskan.


2 comments:

  1. Speechless bacanya, mbak.
    Menohok, dan harus menghitung hari juga.

    ReplyDelete
  2. kadang menghitung terhenti karena tergoda dengan yang lain, tapi peristiwa-peristiwa yang selalu berganti, selalu mengingatkan kembali bahwa hitungan kita harus terus berlanjut.

    ReplyDelete