Tuesday, January 28, 2014

BUNGA KOL

"Mamak masuk rumah sakit," kata Mas Rosyid, setelah mengucap salam.

Aku tidak terkejut, karena sudah menduga akan seperti ini kelanjutannya. Kuambil tas yang dibawanya dan meletakkan di rak.

"Kapan Mas?" tanyaku, sambil menyiapkan makan malam.

"Tadi malam, benjolan itu pecah dan mengeluarkan darah."

"Bagaimana rencana kita?"

"Besok, pagi-pagi kita ke rumah sakit, melihat kondisi, baru kita bisa buat rencana bagaimana kelanjutannya."

***

Esok paginya kami berangkat ke Metro, ke Rumah Sakit Islam dimana Mamak, ibu dari Mas Rosyid, suamiku, di rawat.

Di sana sudah berkumpul nenek, paman, bibi, mas Syamsu dan adik Rahmat.

Kuhampiri mamak yang terbaring lemah dan hanya mampu tersenyum tipis menyambut.
Trenyuh! Aku tak dapat membayangkan apa yang dirasakannya dengan benjolan sebesar bunga kol di leher kanannya.
Begitu cepat benjolan itu membesar dan kini pecah, teksturnya seperti bunga kol, tapi warnanya merah tua, seperti daging kornet, dan aromanya. . .maaf, sangat tidak sedap. Untunglah ruangan diberi pengharum, cukup lumayan untuk menutup aroma tak sedap tersebut.

"Bapak mana Mat?" kutatap wajah Rahmat yang terlihat sedih.

"Ke pasar Mba," jawabnya sambil membuang pandangannya ke luar jendela.

Sejak tak lagi menggarap sawah, bapak membuka kios di pasar untuk usaha pangkas rambut. Sudah berjalan sepuluh tahun belakangan, sedang sawah satu hektar jadi urusan Mamak dan adik adik mas Rosyid.
Bapak tak mau lagi menggarap sawah setelah aktif ikut salah satu aliran thoriqot yang ada di daerahnya, alasannya, kalau masih menggarap sawah, badan terlalu cape dan tidak bisa khusyu ibadah di malam hari. Bapak juga menjalankan salah satu amalan thoriqotnya, puasa setiap hari.

Setelah dimusyawarahkan, akhirnya diputuskan, aku menjaga Mamak selama dirawat bersama nenek, paman dan bibi secara bergantian.

Nenek, ibu dari Mamak ingin mendampingi putri satu satunya, sedang kakek di rumah diurus salah satu cucunya.

Paman, sebagai tukang bangunan, sedang tidak ada job, jadi bisa full menjaga mamak, kakak satu satunya.

Bibi, istri paman, juga bisa full, karena anak anak sudah besar, bisa mengurus dirinya sendiri.

Mas Syamsu harus kembali ke Kota Agung, tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sebagai PNS, sedang istrinya mengurus anaknya yang masih bayi.

Mas Rosyid harus kembali ke Bandarlampung, tugasnya sebagai guru tak mungkin ditinggalkan.

Aku yang dianggap paling mungkin, pekerjaanku sebagai penjahit di rumah tidak begitu terpengaruh jika kutinggalkan. Ibu juga tinggal di Metro, tak jauh dari rumah sakit.

Setiap pagi aku datang ke rumah sakit, giliran menjaga Mamak sambil membawa makan siang untuk paman dan bibi atau nenek. Kalau aku datang, maka salah satu, nenek atau bibi berpamitan pulang untuk melihat kondisi rumah dan beristirahat, paman tetap tinggal, siaga jika ada keperluan yang harus di ambil atau dicari di luar Rumah Sakit.

Ketika aku datang, Mamak sudah dimandikan dengan lap basah oleh bibi atau nenek. Aku tinggal melanjutkan, membersihkan bunga kol dengan cotton bud. Kubersihkan seripihan serpihan yang hampir lepas, agar tak tercecer di bantal.

Kami menyebutnya bunga kol, karena bentuknya menyerupai, juga menghindari ungkapan yang bikin miris siapa yang mendengarnya. Benar, mamak menderita kanker stadium lanjut, yang tidak mungkin dioperasi lagi. Tindakan lainpun menurut dokter sudah tidak efektif, justru kasihan dengan beliau bila dipaksakan. Informasi yang kami dengar dari orang lain yang pernah kemoterapi, sangat menyakitkan, membuat keluarga kasihan dan tak tega dengan kondisi mamak.

Mamak tak banyak bicara, bila kutawarkan sesuatu hanya mengangguk atau menggeleng lemah, tapi tetap berusaha menghadirkan senyum. Sambil membersihkan bunga kol, aku berusaha terus bicara, walaupun tidak mengharapkan jawaban mamak. Bicara tentang banyak hal, tentang kasih sayang Allah, tentang pembersihan dosa bagi orang-orang yang sabar dengan sakitnya, tentang anak-anak yang menyayangi mamak dengan caranya masing-masing, tentang makbulnya doa orang-orang yang sedang sakit, kesempatan orang yang sakit mendoakan orang lain, tentang keutamaan orang yang memaafkan walaupun yang bersalah tidak minta maaf  dan lainnya yang tujuannya memberi ketenangan pada mamak.

Setelah selesai membersihkan bunga kol, selalu kutawarkan pada mamak,"Ngaji Mak?" Beliau selalu menganggukkan kepala. Kemudian aku tilawah Al Quran dengan suara perlahan, cukup didengar oleh  mamak. Walaupun selalu dijawab dengan anggukan kepala, tetapi aku selalu menawarkan terlebih dahulu, aku tak ingin mengganggunya kalau memang sedang tidak ingin mendengar tilawah.
Beberapa saat mendengar tilawah, biasanya mamak tertidur.

Saatnya sholat, aku bantu mamak berwudhu  atau tayamum, kemudian menutup auratnya. Dengan berbaring, mamak tak pernah meninggalkan sholat, walau kondisinya sakit dan lemah.

Selama mamak dirawat, selama sepuluh hari, bapak hanya sekali menjenguk. Datang sore hari saat aku sudah pulang dan pulang pagi-pagi sebelum aku datang. Paman yang menyampaikannya padaku.

Aku tahu ada masalah antara bapak dan mamak. Menurutku masalah itu bersumber dari gaya komunikasi masing-masing, yang terjalin berpuluh tahun tanpa ada perubahan. Aku maklum, mengingat latar belakang kehidupan keduanya. Kehidupan yang sangat berat, terutama bapak.

Bapak, bungsu dari tiga bersaudara, satu-satunya laki-laki. Ketika kelas empat sekolah dasar, kakek meninggal. Bapak putus sekolah, membantu nenek berdagang untuk menghidupi empat orang di rumahnya.
Selain berdagang, banyak hal yang pernah bapak lakukan sebagai orang yang tak berijazah. Kagigihannya mampu menghidupi ibu dan dua orang kakak perempuannya.

Kehidupan yang keras dan perannya sebagai pemimpin di rumah, membuat bapak menjadi sosok yang jarang bicara, sulit berbasa-basi. Lebih sering langsung ambil tindakan tanpa banyak bicara atau musyawarah, dan itu terbawa sampai bapak berumah tangga, menikah dengan mamak.

Setidaknya, dengan karakter yang seperti itu, bapak mampu mendidik anak-anaknya untuk tidak meninggalkan sholat dan mampu membaca Al Quran.
Mas Rosyid pernah cerita, bagaimana disiplin dan kerasnya bapak dalam membiasakan anak-anaknya sholat dan mengajari langsung semua anaknya sampai bisa membaca Al Quran dengan benar.

Mamak, sosok wanita penyabar, sering memendam perasaan, menahan bicara, berusaha menerima keadaan.
Kalau ada yang tak kuat dipendamnya, maka mamak akan curhat ke nenek, ibu kandungnya.
Dengan sembilan anak dan ibu mertua yang sudah perlu perawatan, tentu itu bukan tanggungan perasaan yang ringan. Belum lagi mengelola sawah yang satu hektar, untuk mencukupi biaya hidup dan pendidikan anak anaknya. Untuk urusan itu sepenuhnya di tangan mamak, sedang bapak memikirkan belanja dapur setiap sore dan biaya lain bila penghasilan dari sawah tidak menutupi. Mamak di rumah mau tidak mau menerimaa apapun yang dibawa bapak dari pasar. Anak-anak protes tentang menu yang jarang gantipun, mamak hanya bisa menasihati.

Suatu saat Mamak pernah curhat padaku, bagaimana inginnya beliau diberi uang belanja oleh bapak, kemudian belanja sesuai dengan selera mamak untuk mengelola menu, tapi ya nggak tersampaikan.
Aku menyaksikan sendiri, jenis belanjaan yang Bapak bawa pulang, sangat monoton dan selalu sesuai selera kesukaan beliau.

Sebagai seorang perempuan, aku sangat mengerti, betapa Mamak sangat kecewa untuk urusaan ini.

Sebagai seorang istri dan ibu, ketika mampu menghidangkan menu istimewa hasil kreasinya sendiri di meja makan, merupakan kebahagiaan yang tak bisa ditukar dengan hal lain. Tentu sangat berbeda dengan dipaksa kreatif dengan memanfaatkan apa yang ada?

Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mamak. Dalam kondisi sakit yang beliau tau sudah sangat tipis harapannya untuk sembuh, tapi bapak tidak mendampinginya setiap waktu, bukankah seharusnya suami yang selama ini telah didampinginya, bersama membangun keluarga dan membesarkan anak-anak yang lebih layak mendampinginya? Untunglah masih ada ibu dan adiknya yang tak ingin beranjak meninggalkannya selama dirawat di rumah sakit.

Aku tak pernah menyinggung bapak dalam setiap pembicaraan dengan mamak, aku tak ingin mengusiknya.

Hari kesepuluh, mamak minta pulang, pihak rumah sakit tidak keberatan, tetapi aku tidak ikut ke rumah mamak yang jaraknya sekitar 25 km dari rumah ibu. Mas Rosyid menyuruhku beristirahat barang dua atau tiga hari di rumah ibu.

Tiga hari kemudian, ketika mentari belum lagi memancarkan sinarnya, pintu rumah ada yang mengetuk.

Heri, anak paman mampir, menyampaikan kabar, mamak meninggal dini hari tadi.

"Ya udah, nanti Mba nyusul, sekalian bareng Ibu dan Adik."

***

Setahun usia pernikahanku, mamak pergi. Banyak kesan yang aku dapatkan dari kepergiannya, terutama tentang model komunikasi dalam keluarga suami, yang otomatis itu berperan dalam pembentukan karakternya.

Aku menikah untuk selamanya, insyaallah. Informasi tentang keluarga suami yang kudapat membuatku berfikir, bagaimana caranya agar bisa memahami karakter suami dan mengantisipasi hal-hal yang tak nyaman dalam komunikasi keluarga yang kami bentuk.

***

Duapuluh tahun lebih usia pernikahan kami, yang kukhawatirkan tidak pernah terjadi. Kami saling terbuka, saling menjaga perasaan, saling memahami. Suami tempat curhat sebelum ke yang lain. Memang usiaku lebih tua  dari suami, yang kata orang, harusnya ngemong suami, tapi bagiku suami adalah pemimpin, yang wajib melindungiku, membimbingku, sedang aku menghormatinya, mengingatkannya, menenangkannya dikala gundah. Kami mitra dalam mengendalikan biduk rumah tangga ini, tidak saling tuntut, tapi saling tuntun.

Bukan hal mudah menyatukan dua karakter dengan pola asuh dan latar belakang keluarga yang berbeda, tapi kesepakatan berpegang pada tali Allah dalam menjalaninya sambil menabur cinta, akan lebih memudahkan dalam proses penyatuan dua hati.

Bersatunya dua hati, saling bimbing, menutup kekurangan, saling berbagi, satu tujuan, saling menghargai, merupakan landasan kokoh dalam mengarungi kehidupan berkeluarga, tak pernah berhenti belajar untuk memperbaiki diri, bersiap mengantarkan anak-anak menjadi generasi yang beriman, berkarakter, berkualitas, mandiri dan bertanggung jawab.


2 comments:

  1. saya juga pernah denger cerita seprti ini mbk,suami yg belanja,belanjanya yg ituuuuu tu saja...istrinya diam,persis...maksih mbk ceritanya^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama, semoga manfaat. Kadang sesuatu dianggap sepele oleh suami, padahal itu sangat membebani perasaan istri. Beban perasaan yang berkepnajangan dapat berdampak pada gangguan kesehatan, fisik maupun mental.

      Delete