Monday, January 20, 2014

DUA SUDUT PANDANG

"Umi, maaf, kalau boleh, saat gajian bulan ini saya mau pinjam uang seratus, kebetulan bertepatan dengan batas akhir pembayaran uang ujian anak," hati-hati kusampaikan pada Umi, tempat aku bekerja, menyetrika pakaian, saat berpamitan.

"Kita liat besok ya Teh, kalau memang ada, insyaAllah dibantu." Umi menjawab ramah, sambil tersenyum.

Aku sangat berharap beliau mau membantu, seperti hari-hari yang lalu. Belum pernah beliau menolak untuk membantu saat aku butuhkan, itu sebabnya aku senang kerja pada beliau. Sebagai seorang terapis, tentu saja pemasukannya banyak, uang seratus ribu tentu tak seberapa, mungkin bisa didapatnya hanya dari seorang pasien.

***

"Mi, yang nyetrika pakaian Nur aja ya?" pinta anakku yang baru pulang dari pondok.

"Kenapa?"

"Nur kan sekarang dah di rumah, ya bantu-bantu Umi, kan sayang pengeluaran tuk gaji teh Mun."

"Kalau Nur yang nyetrika, gaji teh Mun tuk Nur, maksudnya?"

"He he, kan bisa ngurangi ongkos tuk kursus Nur, sekalian pengen ngrasaain punya penghasilan sendiri," jawabnya sambil nyengir.

"Kasian teh Mun lah mba Nur, penghasilannya hilang," Husna ikut bicara.

"Besok Umi tanya teh Mun dulu ya, apa dia masih kerja beresan di warung nasi uduk." jawabku, sebelum kedua anakku bersitegang.

***

"Teh Mun masih bantu beresan di warung nasi uduk?"

"Nggak lagi, cuma sebulan kemarin, ada apa Mi?"

"Oo Umi pikir masih kerja di sana, niatnya mau mengistirahatkan teh Mun," jawab Umi pelan.

"Apa karena saya sering ngrepotin? sering pinjam uang ya Mi?" tanyaku, deg-degan.

"Semalem Nur bilang ke Umi, mau nggantiin teh Mun nyetrika, tapi kalau nggak ada pekerjaan selain di sini, ya nggak jadi, terusin aja sama teh Mun."

"Alhamdulillah, terima kasih Umi," jawabku lega.

"Tapi maaf teh Mun, Umi belum bisa bantu minjemin uang yang kemarin teh Mun minta, ini gaji seperti biasa." Umi mengulurkan uang, kupandangi wajahnya merasa bersalah.

"Nggak apa-apa Umi, diizinkan tetap bekerja di sini aja saya sangat bersyukur, terima kasih sekali."

***

Maaf ya teh Mun, bisik hatiku.

Sebenarnya aku tak tega menolak permintaannya, tapi memang belum bisa. Mungkin teh Mun memandang keluarga kami berkelimpahan. Anak-anak kami sekolahkan di pondok pesantren dan sekolah terpadu, yang bukan rahasia lagi, biayanya sangat mahal di bandingkan sekolah biasa. Tapi rasanya nggak perlu aku cerita ke teh Mun bahwa kami sering nunggak bayar SPP anak-anak, atau nunggak tagihan bank atau yang lain-lain untuk alasan tidak bisa membantunya. Aku khawatir menyakiti hatinya, kalau dia tau gajinya sebulan tidak cukup untuk biaya sekolah seorang anak kami.

"Nur, kasian teh Mun, dia nggak ada pekerjaan selain di sini."

"Ya sudah Mi, nggak apa apa," jawabnya, kecewa.

"InsyaAllah nanti ada alternatif lain untuk Nur, sekarang konsentrasi dulu dengan kursus dan murojaah hafalannya. Semoga bantuan kita ke teh Mun, dibalas dengan kebaikan yang sesuai dengan kebutuhan kita. Allah tak pernah menyia-nyiakan kebaikan hambaNya."

"Amin."

***

2 comments:

  1. Replies
    1. trims mba @Lusiana T, kadang pelajaran hidup ada di sekitar kita, sepintas dianggap remeh.

      Delete