Friday, January 24, 2014

"JENG"

"Ada SMS untuk Adek," kata suamiku di depan pintu kamar.

"Sebentar Mas, tanggung nih," jawabku sambil melanjutkan memasang popok bayi.

Suami meletakkan HP di meja kecil dekat dipan, di mana aku sedang memakaikan baju bayi selesai memandikankannya.

Memang kami baru memiliki satu hp, itupun kami paksakan membelinya, setelah pindah ke rumah sendiri yang tak ada telfon rumahnya. Jadi no hp itulah yang kuberikan pada teman-teman yang sewaktu-waktu ingin menghubungiku. Ketika suami di rumah, tentu tak ada masalah ketika ada yang menghubungiku, repotnya ketika ada berita yang mendesak untuk ditindaklanjuti, sedang suami sedang di luar dan tak bisa segera pulang, yach. . .mau bagaimana lagi. Inilah kondisinya.

Setelah beres, baru kubaca SMS yang ternyata dari adikku, mengabarkan Ibu yang sedang di rumahnya baik-baik saja, kirim salam untukku. Setelah ku balas, karena bayiku tidur, kulanjutkan membuka pesan yang lain, mungkin ada yang ditujukan untukku. Karena dalam SMS tidak ada siapa yang dituju, seperti surat undangan misalnya, kepada yth... maka, mau tidak mau aku membaca semua pesan yang masuk, baik pesan untuk suami maupun untukku.

Ada beberapa pesan yang berasal dari Ati, salah seorang teman kantor suami, aku mengenalnya, sebatas kenal namanya dan tahu yang mana orangnya. Dalam pesan-pesannya koq seperti membicarakan masalah pribadi ya? Penasaran, kubuka pesan terkirim, yang kira-kira pertanyaannya ada hubungannya dengan pesan dari Ati.

O la la, suamiku memanggil Ati dengan sebutan "Jeng"? Koq kesannya istimewa banget ya? Dan pembicaraannya koq tidak semata-mata masalah pekerjaan, tapi masalah pribadi juga? Jelas! Ini pasti ada apa-apa! Apakah suamiku mulai melirik perempuan lain? Saat aku baru saja melahirkan buah hati kami yang ke empat di usia pernikahan yang ke duabelas? Tak dapat kutahan, air mataku menitik. Aku harus selesaikan masalah ini, tak mau berlarut-larut. Kondisi kejiwaanku sebagai seorang ibu, apalagi sedang menyusui, harus dijaga, jangan sampai mempengaruhi. Pengalamanku, perasaan bayi sangat peka terhadap perasaan ibunya, aku tak ingin bayiku gelisah karena jiwaku sedang tak nyaman. Sambil berusaha menahan tangis, kuambil secarik kertas dan pen, lalu kutulis:

"Tolong malam ini jangan pergi, aku ingin penjelasan, ada hubungan apa antara Mas dan Ati."

Kertas itu kulipat kecil, lalu kusuruh anak ketiga menyerahkannya bersama hp ke suami.

***

"Apa yang Adek mau tahu?" tanya suami membuka pembicaraan malam itu, setelah anak-anak tidur.

"Ada apa antara Mas dan Ati?" kecemburuan membuat airmataku tak bisa ditahan lagi.

"Kenapa bertanya seperti itu? Adek curiga sama Mas?".

"Jujur, ya!" jawabku, memberanikan diri menatapnya.

"Apa yang membuat Adek curiga?"

"Isi SMS Mas dan Ati yang membuat aku merasa ada yang istimewa."

"Bagian mananya?"

"Isi pembicaraannya menunjukkan ada kedekatan yang lebih dari sekedar teman kerja."

"Ada lagi?"

"Mas memanggilnya 'Jeng', menurutku itu panggilan yang sangat istimewa. Biasanya Mas memanggil yang lain Bu atau Mba."

Suami menjelaskan semua yang kuragukan, mencoba menghilangkan kecurigaan dengan penjelasan yang tak bisa dibantah. Tapi hatiku belum bisa menerimanya dengan lega, tetap saja merasakan ketidak nyamanan.

"Kalau memang Adek nggak suka Mas memanggil Ati dengan 'Jeng', mulai besok Mas akan memanggilnya 'Mba' seperti yang lain, Ok?" suami mengakhiri pembicaraan malam itu dengan mengecup kening dan membelai kepalaku, berusaha menenangkan.

Melihat sikapnya yang bijak, aku berusaha menenangkan diri dan mengembalikan kepercayaan padanya.

***

Aku pernah mendapat nasihat, entah dari siapa, yang intinya,"Jangan membicarakan wanita lain ketika sedang bersama suami di tempat tidur."

Tapi aku merasakan kondisi psikologis paling nyaman, tenang dan dewasa justru ketika bersama suami di tempat tidur. Lah, tak perduli dengan nasehat itu, kan setiap pasangan punya cara masing-masing dalam berinteraksi.

"Mas, lanjutkan diskusi yang kemarin ya?"

"Diskusi yang mana?" jawabnya sambil merem-melek, lucu.

"Sudah ngantuk belum?"

"Mana bisa ngantuk diskusi dengan perempuan cerdas," pujinya, membuat hidungku mekar.

"Janji nggak pake nangis!" tambahnya.

"Oke, tapi Mas jujur ya? Apapun kejujuran itu, aku siap." kataku memastikan.

Suamiku mengacungkan dua jempolnya, tanda Ok. Kuhela nafas sebelum memulai pembicaraan.

"Mas sebenarnya tertarik dengan Ati kan?" ha ha, tembak langsung! Agak lama aku mendapatkan jawabannya.

"Ya," jawabnya, sambil menatapku, mungkin mengukur efek dari jawabannya, tapi temaran lampu kamar menyelamatkan, aku memang terkejut, walau aku sudah menduga jawaban itu dan berusaha siap mendengarnya.

Kuhela nafas lagi untuk mengurangi degup jantung yang mulai memburu. Sebuah perjuangan yang tak mudah untuk bersikap dewasa, tapi suami sudah mengenal dengan baik, dan selama ini aku bisa melakukannya.

"Hal apa yang membuat Mas tertarik?" tanyaku, lirih.

"Kegigihannya, keinginan belajarnya tinggi, bersungguh-sungguh merubah diri menjadi lebih baik,"jawabnya bersemangat.

"Apa hal itu nggak ada dalam diriku?" tanyaku agak tersinggung. Wanita mana yang suka dan tidak tersinggung ketika suaminya memuji wanita lain di hadapannya?

"Ada, ketiganya ada, tapi beda," jawabnya lagi, sambil merengkuhku dalam pelukannya.

"Mas tidak membandingkan Adek dengan siapapun. Adek punya keistimewaan yang takkan Mas temukan dalam diri orang lain, dan satu lagi yang tak bisa dibantah, Adek adalah satu-satunya istri Mas saat ini."

Segera kulepaskan diri dari pelukannya," Saat ini?" tanyaku sengit. Ups! aku lupa dengan tekad di awal pembicaraan, bersikap dewasa.

"Lho, benarkan?" tanya suami, menggoda. Tak kuhiraukan godaannya, lagi serius nih.

"Mas, aku tahu, jika Mas mau nikah lagi nggak dosa, tapi tolong pertimbangkan dengan matang dampaknya, bukan semata-mata bagiku, tapi terutama bagi anak-anak, pandangan keluarga besar dan masyarakat."

"Yeeee! Siapa yang mau nikah lagi? Istri satu aja nggak habis-habis?"

"Memang aku mau dihabisin?" tanyaku melotot, tak lupa jepitan tangan maju kepinggangnya.

"Awww, sakit!" jeritnya, sambil memencet hidungku.

"Bbbbb" hah! bikin gelagepan, susah bernafas.

"Maksudnya, istri satu aja Mas belum bisa membahagiakan, tuh badan Adek nggak gemuk-gemuk, masa mau beristri lagi, apa kata dunia?"

"Apa Mas mau badanku gemuk, tanda kalau Mas sudah membahagiakan?"

"No no no, jangan, nanti Mas nggak kuat nggendong lagi." jawabnya sambil menarik tubuhku.

Hmmm, aku lega.


4 comments: