Thursday, January 9, 2014

OBROLAN BERTEMA

Sore yang kurasakan begitu berat!

Hujan turun lumayan deras, langit gelap, seharusnya aku sudah bersiap siap untuk berangkat. Tapi malas begitu mendominasi, berat terasa batin ini tuk melangkahkan kaki. Begitu banyak hal yang menggelayuti dan menginginkan aku tetap di rumah, bermalas malasan di depan lepi.

Sore ini jadwal rutin aku mengisi majelis ta'lim mingguan, yang pesertanya ibu ibu penghuni komplek, para tetangga. Sudah bertahun tahun aku membina mereka, sehingga terasa sudah tak lagi berjarak, seperti keluarga sendiri. Yang seusia seperti sahabat, yang lebih muda seperti adik, yang jauh lebih muda sudah menganggapku seperti ibu sendiri.

Umi mau dijemput? bunyi sms salah satu peserta majelis tailim.

Boleh, kebetulan Umi lagi nggak ada payung, jawabku.

Sambil menunggu jemputan, aku mempersiapkan diri, hati dan fisikku. Kulembutkan hati, hadirkan keikhlasan walau tak sempurna, kupersiapkan tema apa yang akan kubahas sore itu, sambil berganti pakaian. Sebenarnya panduan materi untuk majelis ta'lim sudah ada, bahkan seperti kurikulum, tetapi di lapangan, pelaksanaannya tak semulus ketika kurikulum itu dibuat.

Banyak hal yang menyebabkan kurikulum itu disesuaikan, misalnya, peserta yang heterogen, kehadiran peserta yang kadang kadang absen bergantian, peristiwa tertentu yang sedang hangat di lingkungan, termasuk he he he kondisi pembinanya, seperti yang terjadi hari ini.

Setelah salam dan pembukaan, kulanjutkan dengan pengantar bahasan sore ini.

"Ibu ibu , sore ini saya tidak akan memberikan materi pengajian seperti biasanya, hanya ingin sharing. Beberapa hari belakangan ini, saya merasakan jiwa saya sedang garing, kering..."

"Wah, kalau Umi sebagai guru aja garing, gimana kita, muridnya? kerontang kali ya?"

Aku tertawa mendengar celetukan salah satu peserta, melihat aku tertawa lepas, seluruh peserta ikut tertawa.  Aku tertawa sampai ke hati, mentertawakan diri sendiri. Pernyataan itu benar, seharusnya sebagai seorang guru, pembimbing, bagai oase di padang gersang, bagai teko yang penuh air agar bisa mengisi gelas gelas yang kosong.

"Idealnya begitu ibu ibu, tapi inilah kenyataannya, saya tidak biasa bertopeng (pinjam istilah mba @Bayti jannati) untuk menutupi keadaan yang sesungguhnya. Bukankah kita saudara? saling mendukung dalam kebaikan, menghibur dalam kesedihan?"

"Iya Umi, nggak apa apa, kami malah senang kalau bisa gantian menghibur, selama ini Umi yang selalu membimbing, menghibur dan memotivasi kami"

Akhirnya suasana ta'lim seperti ngobrol khas ibu ibu, tapi tetap aku pegang kendali, agar obrolan ini jelas tema dan ada judulnya.

"Ibu ibu pernah merasakan jiwa terasa kering, hampa, jenuh, tidak mood, serba salah, bawaannya pengen nangis, seolah orang sekeliling tidak ada yang memperhatikan?" tanyaku.

Mereka manggut manggut.

"Mi, kalau saya biasanya lagi banyak masalah."

"Kalau saya, ketika fisik kecapean, kerjaan nggak abis abis."

"Kalau saya, maaf, kalau sedang udzur, datang bulan."

Bergantian mereka menyampaikan pendapat dan pengalamannya masing masing.

"Kalau saya sekarang sedang akumulasi, komplikasi." imbuhku.

"Maksud Umi?" bersamaan mereka bertanya, agak heran mungkin dengan istilahku yang ganda.

"Empat hari berturut turut ada kegiatan ke luar rumah, perjalanan jauh, dalam kondisi lelah, cape, makan tidak terjaga, datanglah sang bulan, ditambah beberapa masalah yang datang bersamaan, akhirnya? Sahabat setia hadir menemani, siapa dia? Migren."

"Ooooo." koor tanpa komando terdengar merdu, diteruskan dengan tertawa berderai.

"Ya pantes Umi pake istilah akumulasi, komplikasi, segitu lengkapnya."

"Nah sekarang pertanyaannya, bagaimana solusinya? agar kehampaan itu segera berlalu? supaya kekhusyu'an hadir kembali?"

"Sholat Mi."

"Perbanyak tilawah Mi."

"Eh, gimana sih? Umikan lagi nggak sholat, nggak tilawah?"

"Eh iya ding."

"Kalau saya suka baca buku yang mengingatkan Mi, apa itu buku motivasi, kisah kisah atau lainnya, intinya untuk menghibur dan membangkitkan semangat kembali."

"Saya mah suka nenangga Mi, dengan begitu lupa dengan beban di rumah."

"Kadang saya ke minimarket, sekedar membeli coklat."

"Saya lebih suka mengikuti mood, kalau lagi pengen bermalas malas, ya tiduran aja, toh nggak ada mertua, he he he."

Aku dengarkan semua pendapat peserta, sambil ada yang senyum senyum, bahkan tertawa lepas. Aku bahagia menyaksikannya, dan itu mempengaruhi kondisi jiwaku.

"Ibu ibu, kondisi yang sedang saya alami merupakan sesuatu yang manusiawi, hampir pasti semua kita pernah mengalami, walaupun kadarnya berbeda beda dan ini tidak hanya sekali. Banyak yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya, misalnya dengan memperbanyak dzikir, tafakur, tadabur." aku mulai mengarahkan obrolan pada tema ta'lim sore ini, peserta faham dan mulai menyiapkan catatannya serta menyimak tanpa suara.

"Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. Potongan ayat ini sering sekali dibahas, tetapi pada kenyataan, tidak semudah yang kita inginkan. Kadang kita merasa sudah berdzikir, tapi hati nggak tenang tenang juga. gundah, sedih, pengen nangis, serba salah, sensitif dan sebagainya. Di mana letak rahasianya sehingga dzikir dapat menentramkan hati?"

"Mungkin karena hanya di mulut ya Mi?"

"Ibu ibu, mengingat tuh menggunakan apa? mulut atau fikiran /hati?" tanyaku.

 "Ya pake fikiran dan hatilah Mi."

 "Benar, kalau kita ingin mendapatkan ketenangan dengan mengingat Allah, maka kita harus hadirkan hati dan fikiran ketika lisan kita melafazkannya, satu lagi, di dalam Al Quran, biasanya kata dzikir bergandengan dengan katsiro, artinya banyak. Di situlah letak masalahnya, kadang kita dzikirnya kurang banyak dan tidak menghadirkan hati dan fikiran. Allahkan nggak pernah ingkar janji? Jadi kalau kita berdzikir dengan benar, nggak mungkin Allah nggak menurunkan ketenangan."


"Mi, sholat teermasuk dzikir ya? Saya akan mendapat ketenangan kalau bisa sholat dan munajat."

"Sholat merupakan dzikir yang terbaik, tapi kita nggak bisa sholat sewaktu waktu, apalagi perempuan."

"Dzikirnya apa aja Mi?"

"Apa aja, boleh istighfar, tasbih, tahmid, tahlil, doa doa, atau sholawat."

"Selain dzikir dengan cara apa lagi Mi?"

"Bisa dengan tadabbur, mendalami dan menghayati, juga tafakkur, memikirkan dan merenungkan, misalnya baca terjemah Al Quran, tafsir, hadist, shiroh atau kisah salafusholih, orang orang sukses, orang orang gagal, kejadian alam atau perjalanan hidup kita sendiri."

"Setiap orang mempunyai resep untuk melewati masa masa itu, kalau saya. selain yang dijelaskan di atas, ada cara lain, contohnya hari ini. Dalam kondisi berat hati, badan lesu, bad mood, saya menemui ibu ibu dalam acara sore ini, apa yang saya dapat? Kewajiban tertunaikan, mendapat kegembiraan, berbagi ilmu, atau cara lain dengan membahagiakan orang lain, menolong orang lain."

"Bisa ya Mi? kondisi kita sedang butuh ditolong, dihibur, didengar, tapi justru menolong dan membahagiakan orang lain?" seorang ibu bertanya dalam keraguan.

"Bisa, dan saya sering membuktikan itu." jawabku mantap.

"Subhanallah, alangkah indahnya, jika kita dalam kondisi tidak bahagia tapi bisa membahagiakan orang lain."

"Benar bu, Allah berjanji, jika kita melepaskan kesulitan yang sedang dialami saudara kita, maka Allah akan menolong kita disaat kita butuh pertolongan, jadi ketika kita menolong saudara kita, Allahlah yang menolong, melepaskan kita dari situasi yang tidak nyaman itu."

"ooo."

Alhamdulillah, gundahku hilang, mood membaik, dan ketika tiba di rumah, senyumku sudah lebar kembali.

No comments:

Post a Comment