Tuesday, January 21, 2014

AKU, MBA SAYUR

"Cepet bangun Pak, dah setengah tiga nih," kutepuk lembut pipinya.

"Hmmmm," gumamnya, membalikkan badan, dan "Awww!" tangannya memeluk pinggangku.

"Apa-apaan sih pak?" aku bangkit, berusaha melepaskan tangannya.

"Dingin banget Bu, sini peluk."

"Ogah! Aku mau sholat dulu, sana gih cuci muka."

Kutinggalkan suamiku, tuk sholat malam, lumayanlah, dua rokaat.

***
Untunglah tidak hujan, kupeluk erat suamiku dari belakang.

"Kenapa Bu?" tanyanya, di sela deru suara mesin motor.

"Dingin banget."

"Pulang yok?"

"Ngapain pulang?"

"Lha katanya dingin, tadi diajak nggak mau."

Kucubit pinggangnya, suamiku menggelinjang, sampai motor hampir oleng.

"Bu! genitnya nanti di rumah!" suamiku berteriak tertahan, mengingatkan.

"He he he," kupeluk lebih erat lagi.

Setiap hari, inilah yang kami lakukan. Disaat orang lain terlelap dalam hangatnya selimut, kami harus rela menerjang dinginnya malam dengan motor tua menuju pasar induk. Belanja kebutuhan dapur untuk para pelanggan. Hampir semua kebutuhan dapur segar aku beli, dari bumbu dapur, cabe, bawang, tomat, jahe, kunyit dan lainnya. Juga sayuran, wortel, toge, kubis dan berbagai sayuran hijau. Bahan lauk pauk juga harus selalu ada, daging,ayam, berbagai jenis ikan laut, ikan mas, lele, patin, juga ikan asin, tak ketinggalan tahu, tempe dan oncom.

Aku sudah punya tempat langganan untuk setiap jenis bahan, sehingga tak butuh waktu lama tuk tawar menawar. Waktu dua jam cukup untuk semua urusan dan perjalanan. Setiap penjual sudah tahu, berapa aku biasa belanja.,sehingga ketika aku datang, belanjaan sudah disiapkan, aku tinggal membayar harga, yang hampir selalu berubah setiap hari, tergantung perubahan harga pasar. Aku berbagi tugas dengan suami, untuk mempersingkat waktu.

Sebelum azdan subuh berkumandang, aku sudah sampai rumah. Menyempatkan diri mencuci piring bekas makan malam, kemudian mandi. Setelah sholat subuh, kutambahkan dagangan yang dititipkan tetangga, ada donat, lemet juga sayuran hasil kebun.

Kembali aku nangkring di boncengan motor, yang penuh dengan dagangan, menuju komplek perumahan yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal.

Di komplek perumahan itu aku diizinkan menggelar dagangan di emper sebuah warung soto, yang bukanya jam sepuluhan. Alhamdulillah, ada lampu yang menerangi dari rumah tetangga warung, cukup menolong ketika aku mulai menggelar dagangan. Ibu-ibu di perunahan ini kebanyakan bekerja kantoran, sehingga butuh bahan masakan pagi-pagi sekali untuk membuat sarapan dan bekal anak-anak sekolah. Itu sebabnya aku berusaha sepagi mungkin menggelar dagangan. Jam delapan aku sudah membereskan dagangan, sisanya aku gendong dan tawarkan pada penduduk sepanjang jalan dari perumahan sampai rumah. Bahagia rasanya jika sisa dagangan tinggal sedikit, tidak terlalu berat menggendongnya, maklumlah, jalan pulang menanjak

***

"Ikan layang berapa Mba?" tanya Ma Icha

"Lima belas ribu."

"Dua belas ya?" tawarnya.

"Nggak bisa Ma Icha, belinya nggak dapet segitu."

"Kemarin tiga belas?"

"Lagi musim susah ikan, kalau lagi murah ya bisa jual murah. Kalau sekarang lagi susah ikan, nelayan lagi males ke laut."

"Udahlah, tiga belas aja."

Hmmm, model begini nih pembeli yang nyebelin. Sudah tau kalau aku biasa memberi harga bandrol, nggak pake tawar-menawar, bukan sombong, maksudku sama-sama taulah, biar nggak kelamaan belanjanya. Semua ingin memburu waktu. Untunglah yang model begini nggak terlalu banyak, akhirnya ku diamkan saja, dia menentukan harga sendiri. Rugi? tentu saja, harusnya ada untung seribu rupiah, ehh, ini malah nombok seribu, tapi biarlah, daripada bikin dongkol, nanti mempengaruhi sikapku pada pembeli yang lain.

Karena banyak yang kulayani, aku biarkan para pembeli menghitung belanjaan masing-masing, aku hanya memberi tahu harga perbarangnya.

"Ini mbak uangnya," Umi mengulurkan uang lima puluh ribu.

"Berapa Mi belanjanya."

"Tiga puluh satu."

"Nih Mi kembaliannya," kuulurkan uang dua puluh ribu.

"Kelebihan seribu Mba."

"Nggak apa-apa Mi, sekali-kali diskon."

"Nggak rugi Mba? Kalau nggak, besok ingatkan ya, bayar pas belanja."

"Nggak usah Mi, dari pada lupa, malah jadi beban Umi."

"Wah, terima kasih banyak ya Mba."

Untuk pembeli model Umi, nggak sayang-sayang aku kasih diskon, orangnya baik hati. Kalau belanja nggak pernah nawar, bahkan aku sering ditolong, misalnya pas beliau belanja agak siang, dilihatnya daganganku masih banyak, tak segan dia membeli yang di luar kebutuhannya, dan dipilihnya yang mahal-mahal, untuk ngisi kuskas, katanya. Aku tahu, maksudnya menolong, mengurangi kemungkinan kerugianku.

***

Sepuluh tahun sudah kujalani pekerjaan ini, sejak warungku bangkrut, tak jelas apa sebabnya. Apalagi yang bisa kulakukan? Sekolahku hanya tamat SMP. Aku terbiasa dagang, selain membantu suami mengurus sedikit kebun dan sawah. Suamiku juga dagang, ngampas barang-barang kering ke warung-warung di pelosok kampung. Semua kulakukan, demi pendidikan anak-anakku. Kuingin kehidupan mereka lebih baik dengan pendidikan yang memadai.

***

Jam sepuluhan aku sampai di rumah, langsung membereskan sisa dagangan. Mana bahan yang bisa dibuat sayur, segera kuhantarkan ke tetangga sebelah, kemudian diolahnya menjadi sayur matang. Setiap pagi dia menggelar meja di teras rumahnya, jualan nasi uduk dan sayur matang yang sudah dibungkus plastik.

Bahan lain yang bisa dijual esok harinya, kurapikan di atas rak dapur.
Segera ke dapur, masak untuk makan siang. Aku biasa istirahat setelah sholat dzuhur sampai waktu ashar.
Sore hari aku ke kebun belakang, merawat tanaman dan mencari sayuran yang bisa di petik untuk di jual esok hari.

Hari-hari kujalani dengan senyum. Biarlah orang melihat, hidupku susah, berat, penghasilan tak seberapa, tapi semua kusyukuri, karena mengeluhpun tak ada guna, tak mengubah keadaan.
Bagiku bahagia itu tak harus bermobil mewah, berpakaian necis dan harum, itu hanya tampak luar, sedang bahagia adalah rasa, di hati, di jiwa.

Kurasakan bahagia ketika para pembeli puas dengan dagangan yang kusediakan, ketika bisa menolong salah satu pelanggan yang sedang kekurangan uang belanja, ketika bisa membayar SPP anak-anak tepat waktu, ketika suami menampakkan kebanggaannya karena aku sabar mendampinginya.

Bahagia itu ketika aku mampu menerima apa yang menjadi takdirku dengan rasa syukur dan ridho.

Ya, itu bahagiaku, sebagai mba sayur.

2 comments:

  1. Kereen Bu Neny S.....Bahagia itu ketika aku mampu menerima apa yang menjadi takdirku dengan rasa syukur dan ridho. (beneeeer banget bu)

    ReplyDelete
    Replies
    1. dan ternyata he he he butuh latihan untuk bisa mencapai itu.

      Delete