Monday, October 28, 2013

PEMBANGKANG

Pembangkang!

Kata itu bagai tombak menghunjam dada, merobek hatiku.
Untunglah kuterima dalam bahasa tulis, kubaca di kamar, menjelang tidur.
Apa jadinya?
Menangis!... benar benar aku menangis, tersedu, bahkan menjerit.
Kubenamkan wajahku ke bantal, sedalam dalamnya, agar tangisku tak mengundang tanya suami atau membangunkan lelap anakku.

Tahun 2000, tiga belas tahun yang lalu, label pembangkang itu disematkan oleh seseorang yang punya posisi sebagai pembimbingku.

Aku tidak terima, ingin berontak, protes. Ku adukan semuanya pada suami yang tentunya lebih faham dan mengenaliku seada adanya dibanding orang yang memberiku label yang masyaallah itu.

Eh, semalam aku dapat brand yang serupa, pembantah!

Menangiskah? Marah marahkah aku?

Tidak, untuk kali ini aku tidak menangis, sekedar berfikir dan evaluasi diri.

Juga mentertawakan diri sendiri, ah ternyata dalam hal yang satu ini aku tidak banyak berubah.

Memoriku berputar mundur, mengingat perjalanan kehidupanku sampai saat ini.

Kuhentikan pada satu waktu, masa kecilku, yang kuanggap sebagai pupuk penyubur karakterku yang satu ini, bisa jadi kalau kutarik lebih kebelakang, ada juga faktor keturunan berperan, walau sedikit.

Pola asuh. hei... jangan sinis dulu, aku tidak sedang mencari kambing hitam atau kuda coklat.

Dalam teori, karakter seseorang terbentuk oleh dua faktor, yaitu keturunan dan lingkungan.

Faktor keturunan. . . ah sudahlah, untuk yang satu ini tak usah dibahas, bukan wewenang kita sebagai makhluk, kita bahas faktor yang kedua saja.

Lingkungan, terdiri dari banyak unsur, bisa berupa sikap orang orang yang ada di sekitar, budaya yang berlaku, sistem yang diterapkan, sarana dan prasarana yang digunakan, dll.

Masa kecilku.

Aku dari keluarga sederhana, sangat sederhana bahkan. Ayah seorang guru idealis, begitu idealisnya sampai masa pensiun golongannya hanya II D, walaupun masa pengabdiannya seumur yang seharusnya, padahal teman seangkatannya bahkan yang menyusul belakangan golongannya jauh lebih tinggi, itu semua karena idealisme beliau yang tidak mau berlaku curang, yang sekarang disebut KKN.

Ayahku cerdas, itu tak dapat dipungkiri, beliau banyak membantu orang orang yang ada dilingkungannya ketika menghadapi masalah, aku kagum dengan kelebihan beliau, walau ada juga sisi lain yang membuatku sedih dan menangis sampai saat ini.

Selama sekolah aku menonjol, bukan karena cantik, supel, anak orang kaya, atau yang lainnya, tetapi karena zaman itu yang menjadi ukuran prestasi dan kecerdasan adalah nilai akademik. Aku termasuk murid berprestasi, bahkan posisi tertinggi di SD, SMP, SMA, walaupun tanpa ketekunan belajar. Belajarku hanya mengandalkan memperhatikan penjelasan guru ketika di kelas, dan tidak pernah atau jarang sekali mengulang pelajaran di rumah, apalagi ikut les tambahan, he he tak ada biaya juga.

Satu hal yang terpupuk sejak kecil, aku jadi andalan teman temanku ketika guru selesai menerangkan pelajaran, kemudian bertanya," Ada pertanyaan?" he he he biasanya seluruh mata tertuju padaku, termasuk mata sang guru. Karena merasa bertanggung jawab dan menjaga situasi kelas dan mood guru, aku selalu berusaha mengajukan pertanyaan.

Aku juga membayangkan, kalau jadi guru, materi sudah disampaikan semua, waktu masih ada, trus tidak ada yang bertanya, mau apa coba? tanda tanya juga kan, nih murid nggak ada yang tanya, saking ngertinya atau saking nggak ngertinya?

Kondisi tersebut terbawa sampai ke kampus, di ruang kuliah, di organisasi atau di suang diskusi.
Aku jadi terbiasa adu argumen, berfikir kritis dan berani bicara dengan siapapun.

Dengan modelku yang seperti ini, siapa yang diuntungkan?

Lingkunganku, teman temanku. Biasanya setelah kejadian di forum diskusi, yang berakhir dengan beda pendapat, temam teman berbisik padaku, mereka merasa terwakili. Tidak semua kita berani dan mau bersinggungan dengan orang yang punya wewenang menentukan kebijakan, walaupun tidak setuju dengan kebijakan itu.

Lalu apa yang kudapat? Ha ha ha, aku hanya dapat stempel idealis, atau pembuat ide, dan yang menikmati hasil pengembangan ideku adalah orang lain.

Lihat, berapa banyak teman temanku yang jadi orang hebat, yang dulu adalah orang yang berbisik kepadaku, merasa terwakili oleh suaraku?
Juga ada yang bertengger sebagai pemimpin organisasi yang ide munculnya organisasi itu dari otakku?
Aku di mana? da da terima kasih idenya, silahkan buat ide ide baru.

Mau apa? Sakit hati? Apa untungnya?

Alhamdulillah, suamiku orang hebat, ketika aku mulai ingin berontak, beliau berkata," Sudahlah, kita bekerja untuk siapa? Untuk Allah bukan? Biarlah Allah yang memberi imbalan untuk kita." hmmmmm adeeeem.

Aku jadi terbiasa sakit hati, tapi dapat kunetralisir dengan selalu mengingat jawaban suamiku.

Dendam? sama sekali tidak, bahkan mereka mungkin tidak tahu bahwa aku sakit hati, bukan aku munafik atau pura pura dihadapan mereka, tapi karena aku sudah memaafkan mereka tanpa mereka minta maaf.

Kembali pada stempel, pembangkang, pembantah, bahkan ada yang lebih ekstrim, dengan sindiran, seperti orang yahudi. Aku jengah, tapi aku maklum.

Manusia menilai orang lain sebatas yang mereka tahu. Mereka menilaiku sebatas menyaksikan ulahku dan pembicaraanku, tapi yang tahu hatiku hanya Allah.

Ketika orang mengatakan aku mengajukan pertanyaan seperti pertanyaan yahudi, tak ada niat sedikitpun untuk itu, aku hanya berusaha kritis dan ingin melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan.

Aku tak ingin terjebak pada loyalitas buta, karena apa yang kuputuskan, kulakukan, semua berpulang pada diriku, akulah yang harus bertanggung jawab di hadapan Allah, bukan suami, bukan sesiapa yang melabel dengan label apapun.

Aku ingin menjadi lebih baik, tapi apakah aku harus menjadi orang lain?

6 comments:

  1. Semangat untuk terus menjadi lebih baik ^_^

    ReplyDelete
  2. Jadi diri sendiri itu memang baik, tapi tetap Alquran dan hadis juga rosululloh sebagai panutan ya mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar, jadi diri sendiri yg dituntun Allah n Rasulullah, hanya dalam proses itu banyak hal-hal yang mengundang vonis orang lain, yang kadang-kadang dilontarkan hanya karena asumsi semata, he he selama masih bernama manusia, hal-hal seperti itu akan tetap terjadi, tinggal bagaimana kita bijak menyikapi

      Delete
  3. salam kenal mak Neny ^^ yang paling penting itu penilaian Allah terhadap kita mak.. teruslah semangat dalam kebaikan sekalipun orang lain tak melihatnya..

    ReplyDelete
  4. salam kenal mak, benar. penilaian Allah yang kita cari, walau kadang penilaian Allah sama dengan penilaian manusia. hidup ini proses untuk menjadi. Dari setiap proses harus ada nilai pelajaran yang kita ambil untuk meningkatkan kualitas diri, filter iman dan nurani harus kita bersihkan agar dapat menyaring reaksi orang lain.

    ReplyDelete