Thursday, October 24, 2013

AKU INGIN HOME SCHOOLING


“ Umy, Hany Home schooling saja ya?”
Heh? Daun telingaku seakan berdiri mendengar suara dari belakang punggung. Memang sejak tadi gadis tanggungku tiduran di belakang punggung, tak ada suara sebelumnya, tak ada tanda tanda akan ada yang dibicarakannya. Kufikir sedang membaca, karena tadi sekilas dia datang kulihat memegang buku. Segera kuhentika tarian jemari di atas keyboard. Kubalikkan badan, sepenuhnya menghadap padanya, yang ternyata ... masyaallah, sedang terisak. Kugeser tubuh, kuraih kepalanya dan kurengkuh dalam peluk pangkuanku. Ku usap kepalanya mengikuti alur rambutnya, kubiarkan dia tumpahkan air matanya, sesak dadanya, beban batinnya. Setelah kuyakin dia lebih tenang dari tarik nafasnya, kuangkat kepalanya, kuisyaratkan agar dia duduk dengan lebih nyaman.
“ Sekarang cerita sama Umy, apa yang terjadi, koq Hany bilang seperti itu?”
Masih dengan sisa sisa isaknya, bicaralah dia dengan penuh emosi.
“Hany cape dibandingkan dengan mas terus. Hany sudah berusaha berubah, memperbaiki diri, tapi tetap saja sikap mereka bikin hati keqi!”
“Mereka siapa?” tanyaku, masih belum mengerti.
“ Ustadz, utadzah, kakak kakak, temen temen, semuanya!”setengah berteriak dia luapkan emosinya.
Aku mengerti, sangat mengerti.
“Bukannya Hany sekarang sudah homeschooling? Kan sudah nggak nginap di pondok lagi? Pagi diantar, pulang dijemput, tidur di rumah, malam di rumah.”
“Hany pengen homeschooling full.” Jawabnya mantap.
Hmmm, bukan saat yang tepat untuk berembug, tunda dulu, tunggu waktu yang tepat.
“Oke, sementara ini Hany tenangkan hati dulu, biar nanti Umy bicarakan dengan Abi. Anggaplah Hany homeschooling, lakukan apa yang akan Hany rencanakan dengan homeschooling full itu.”
Hmmm, ujian lagi. Soal baru lagi. Inilah romantika jadi orang tua yang banyak anak, satu masalah teratasi, muncul masalah lain lagi, sabarrrrr, hanya itu penghibur hatiku.
Malamnya kubicarakan masalah ini dengan Abi. Aku faham bagaimana perasaannya, berat bebannya. Bukan suatu hal yang mudah untuk urusan pindah sekolah. Hany sudah empat tahun di pondok tahfiz yang sama dengan dua kakaknya. Keduanya sudah selesai dengan programnya, hafal 30 juz, dengan predikat yang baik. Giliran Hany, ada saja laporan yang tidak nyaman di telinga. Dari urusan tidak memenuhi target setoran, sering terlambat sholat berjamaah, tidak ikut tahajud di masjid, sering membolos sekolah umum dan sebagainya. Aku tahu, dari kecil Hany paling anti dibanding bandingkan. Kami sebagai orang tua tahu, tapi orang lainkan tidak tahu? Tidak mau tahu? Mereka akan berkomentar sesuai dengan pendapatnya, seleranya, tidak perduli dengan perasaan orang yang dikomentari.
Baru dua bulan Hany pindah ke pondok tahfiz yang lebih dekat rumah, minta kebijakan untuk nyantri kalong, karena ustadznya kenal baik, ya di izinkan. Dan pindah sekolah, mana ada yang gratis, jelas lebih mahal dibandingkan dengan biaya daftar ulang di sekolah yang sama.
Ini peristiwa ulangan, hanya sedikit beda masalah. Kesekian kalinya aku harus berperan sebagai jembatan, antara kemauan dan kondisi anak dengan beban dan kondisi Abi yang sangat aku fahami. Bagaimana aku harus bersikap bijak, membicarakan dengan Abi mencari solusi terbaik untuk masalah ini. Tiga tahun lalu anak pertamaku juga begini, baru masuk boarding school dua bulan, minta keluar, ingin menempuh pendidikan gaya ulama salaf, menuntut ilmu yang disukainya, tanpa terikat dengan lembaga formal. Belum lagi anak ke empat, adik Hany, baru dua bulan masuk pondok tahfiz Quran, juga minta keluar, kembali ke SDIT.
Mungkin ada sebagian orang tua berkomentar,”Koq mau maunya mengikuti kemauan anak?”
Aku maklum kalau ada yang berkomentar seperti itu, tapi bagi kami, setiap orang tua, setiap keluarga mempunyai kebijakan masing masing dalam mengelola keluarga dan rumah tangganya. Kami sekeluarga sepakat, bertekad menjadikan Hafizh Quran, hafal Al Quran sebagai cita cita yang harus di capai, bi iznillah, dengan izin Allah tentunya. Maka konsentrasi pada pendidikan awal anak anak kami adalah bagaimana hal itu tercapai sebelum mencapai lainnya. Jadi tak ada paksaan dalam pelaksanaannya, kami saling bantu. Anak anak dengan kerja keras dan ketekunannya dalam menghafal, kami orang tua berusaha semaksimal mungkin memfasilitasi untuk mencapai hal tersebut. Tak ada keharusan harus sekolah di mana atau mondok di mana, yang jelas tidak bergeser dari orientasi menjadi Hafizhul Quran.
Ini lontaran masalah yang harus dicari solusinya. Sambil menunggu kemantapan hati Hany, aku berusaha mempersiapkan segala sesuatunya, seandainya benar benar dia yakin dengan tekadnya, sedang Abi, berusaha mencari informasi tempat tempat yang mungkin di masuki seandainya Hany berubah fikiran dan ingin mondok lagi. Ini bukan yang terakhir, kami harus selalu bersiap dengan kejutan kejutan lain dari anak anak kami.
Kami beri waktu seminggu untuk memutuskan. Aku lihat kesungguhannya, dia buat target, satu juz akan dihafalkannya selama seminggu, satu juz atu minggu. Dia buktikan, hari pertama berhasil menghafal empat halaman, begitu juga hari kedua. Aku senang melihat semangatnya, sambil berfikir mana sanggup aku melakukan itu? Tapi masalahnya bukan hanya menambah hafalan, banyak lainnya. Bagaimana setorannya, bagaimana menjaga kualitas bacaannya, bagaimana penjagaannya, dsb.
Benar benar belajar sepanjang hayat. Mereka, anak anakku, mereka juga guruku, mereka yang menyampaikan ilmu kehidupan kepadaku, subhanallah

No comments:

Post a Comment