Tuesday, October 15, 2013

MENGAPA IBU MEMUKUL ANAKNYA?


Tulisan ini bukan hasil penelitian ilmiah para psikolog ataupun hasil kerja dari lembaga survey tertentu, sekedar pengalaman pribadi dan teman teman seprofesi , profesi tanpa gaji, he he he maksudku  ibu ibu
.
Kalau sedang berfikir waras, lurus, logis, rasanya tak mungkin seorang ibu yang telah rela berjuang bertaruh nyawa untuk menghadirkan anaknya ke dunia, tega melakukan hal tersebut. Bagaimana mungkin? Ketika bayi disusui, digendong, di timang- timang, dirawat, rela kurang tidur, kurang istirahat, tidak sempat mengurus diri, setelah besar malah dibentak, dimarah, dipandang dengan kejengkelan, puncaknya tanganpun maju, memukul. Masyaallah. Tega sekali?

Bila seorang ibu berfikir seperti itu, di malam hari, memandangi anaknya yang pulas tidur, bisa dipastikan, yang dilakukannya adalah... menciumi anaknya yang sedang tidur dengan deraian air mata . . . maafkan ibu nak, maafkan ibu, hu hu hu. Hati terasa menggumpal sesak, penyesalan yang begitu mendalam sampai ke dasar hati sedasar dasarnya. Kemudian berusaha menenangkan diri, berwudhu lalu sholat, bermunajat... tenangkah yang diperoleh? Belum, air mata tumpah ruah lebih banyak lagi, mengingat dosa dosanya, rasa takutnya, penyesalannya. . . mohon ampunannya, mohon kesabaran dariNya. Taubat ? ya, taubat! Saat itu taubat, andainyapun tidak malu, diakuinya itu taubatan nashuha, taubat yang setaubat taubatnya. Barulah didapat ketenangan itu, pergi tidur memeluk anaknya, seolah tak ingin dilepas lagi pelukan itu.

Esok harinya, ketika matahari menyingsing, menampakkan kemerahannya, aktifitas di mulai kembali.   " Bangun nak, sudah siang, lihat mentari  tlah menampakkan sinarnya. Dengar kokok ayam tlah menyambut pagi, malu pada pada burung yang siap mencari rizki. Adzan subuh tlah berkumandang, sejak tadi, ini kali ketiga ibu membangunkanmu. Sholat subuh naaak. Cepatlah, nanti kesiangan untuk persiapan berangkat sekolah. Energi munajat semalam masih ada, masih berpengaruh pada kesabaran, suara masih lembut, masih bisa ditekan, sambil tangan mulai mengelus dada perlahan, seolah menghilangkan gumpalan kecil yang berusaha untuk tumbuh dan membesar. Sabarrrrrr.

Ketika anak anak sudah pergi sekolah, tinggallah si ibu berdua saja dengan sang balita yang menggemaskan ( ketika hati ibu sedang bahagia ) tetapi dia berubah menjadi sangat menyebalkan dan menjengkelkan ketika banyak hal yang membuat kisruh hati sang ibu. Berbagai persoalan menumpuk menjadi gunungan dalam hatinya, dari rasa ketidak puasan respon suami terhadap persoalan keluarga, dari urusan uang belanja yang lebih sering kurang  daripada cukup, urusan rumah tangga yang harus diselesaikannya sendiri, urusan ikut bantu bantu suami menambah penghasilan, belum lagi ibu ibu yang aktifis, hhhh, rumyek! Rentan stres!  Akhirnya? Terjadi lagi, terjadi lagi. Memanggil dengan teriak ketika anaknya tidak segera muncul ketika panggilan pertama, melotot ketika anaknya tlah hadir dihadapannya, menarik tangannya dengan  kasar ketika anaknya akan melakukan perbuatan bahaya yang tadi telah dilarangnya, bila tak juga sesuai dengan yang diharapkan,... terjadi lagi... terulang lagi, tangan melayang ke paha sikecil, walaupuuuuun dengan energi yang katanya kecil, sedikit, ringan. Mungkinkah memukul dengan ringan bila dilakukan dalam keadaan jengkel, marah? Buktinya? Tanganpun terasa panas, mau berkilah lagi? Astaghfirullah.

Kasihan sang ibu, selalu dalam posisi terpojok atau dipojokkan, baik oleh orang lain maupun diri sendiri. Lima jari tangannya menuding balik ke dadanya, “ kamu memang tidak sabaran, kamu pemarah, kamu temperamental, kamu emosional kamu...kamu...kamu... !” tambah streslah si ibu.

Menurut psikologi dan pendidikan modern, kekerasan terhadap anak sangat tidak bisa diterima, apapun alasannya, kemudian muncullah lembaga lembaga anti kekerasan dalam rumah tangga, terutama anak. Kita saksikan sekarang, bagaimana anak berseteru dengan ibunya atau ayahnya, minta perlindungan kepada pihak lain untuk melawan orang tuanya, ck ck ck dunia sudah terbalik, harusnya orang tua melindungi anaknya dari pihak luar, ini...?

Tapi kita juga harus membuka mata terhadap pemandangan yang lain, ketika kita menyaksikan ada ibu yang sangaaaaat lembut, tidak pernah bicara kasar pada anaknya, tidak pernah memarahinya, bila akan menegur kesalahan anaknya didahului dengan kata kata,” maaf ya nak, . . .” yang terjadi? Boleh geleng kepala, ketika menyaksikan anak anak seusia TK masih seenaknya loncat loncat di sofa ketika sedang ikut ibunya pengajian di rumah tetangga, lewat di depan ibu ibu dengan berlari sambil melangkahi piring piring berisi kue yang disajikan, sebentar ada anak kecil menangis ternyata korban jitakannya atau mainannya diambil tanpa izin, alias direbut, masyaallah.

Itu baru beberapa fenomena yang sempat diperhatikan, pada kenyataannya tentu lebih beragam lagi.
Oke, kita kembali pada judul, Mengapa ibu memukul anaknya?

1.       Karena ibu sedang tidak bahagia, ketika ibu bahagia maka segala yang tidak mengenakkan akan ternetralisir oleh perasaan bahagianya, jadi bantulah agar ibu bahagia. Bapak, jika ibu bahagia maka yang paling merasakan efek positif dan keuntungannya yang pertama adalah sampeyan bapak, kemudian anak anak, jadi bantulah agar ibu bahagia.

2.       Sering seringlah ibu memperoleh situasi yang memotivasi dan mengingatkan tentang tugas besar dan mulianya sebagai pendidik generasi. Suasana yang itu itu saja, suntuk, membosankan, sangat besar pengaruhnya sebagai pemicu stres. Jelas, kondisi stres akan menggiring suasana batin ibu ke arah tidak bahagia.

3.       Haramkah memukul anak? Dalam tuntunan Islam tidak dilarang, untuk hal hal yang memang diperlukan terutama dalam mencapai tujuan pendidikan. Memukul  bukan karena tidak sabar atau karena emosional!  Lho? Ya memukullah saat tidak marah, ha ha ha mungkinkahhh?

Sekali lagi ini bukan tulisan ilmiah, silahkan diambil manfaatnya kalau ada, atau bisa dijadikan bahan diskusi. Sekedar curahan hati.


No comments:

Post a Comment