September 1997, di salah satu hari Minggu.
“ Aaaaaaaaaaaa!”
“Allahu Akbar!”
“Adeeeeek!”
Deg!... secepat kilat kualihkan pandanganku dari barisan
huruf huruf di buku yang sedang kubaca ke arah sumber keributan, ada apa?
“Hilmy...? Innalillahi.....!”
Kulihat suamiku secepat kilat meloncat ke air di bawahnya
dari sebuah batu besar yang dialiri air terjun kecil di sebuah sungai,
langsung menangkap anak usia hampir tiga
tahun yang baru saja melorot terlepas dari gendongannya. Anak kecil itu. . . Hilmy,
anakku.
Seakan berhenti detak jantungku! Aku terpana! Tak salahkah
apa yang kusaksikan dihadapank dengan kedua bola mataku? Benar!... Benar,
anakku tercebur sungai, melorot dari
ketinggian sekitar dua meter!
Kurasakan lemas sekujur tubuhku. . . tapi? Tidak,
akal sehat segera menyadarkanku, jangan panik!
“Bawa ke sini Bi!” teriakku dengan nada perinrtah, lupa
unggah ungguh bicara dengan seorang suami.
Suamiku berusaha secepatnya menepi menghampiriku yang ada di
atas batu besar yang relatif datar, tak terlalu jauh dari lokasi kejadian.
Segera kuraih anakku dari uluran tangannya. Sekilas
kuperhatikan kondisinya, sedikit memar dan luka di wajah dan sebagian tubuhnya.
Aku berusaha menata hati, setenang yang aku bisa. Kudekap anakku di dada, agar
ketenanganku mengalir ke detak jantungnya, menuju irama yang sama, tenang,
terkendali, hilangkan takut.
“Maaf Mi, nggak sengaja. Tadi Abi melihat Iqbal terpeleset,
reflek Abi mau menangkapnya, tak sadar tangan melepas gendongan Hilmy,” Suamiku
berusaha menjelaskan apa yang terjadi dengan rasa penuh penyesalan. Aku tak
begitu mendengarkannya, aku hanya sibuk menenangkan Hilmy secepatnya sehingga
luka lukanya dapat segera ditangani. Suamiku sudah siap dengan perlengkapan P3K
untuk mengobati luka dan memarnya, tapi belum dapat dilakukan sebelum anakku
tenang.
Hari itu, kami sedang dalam acara rihlah/ tadabur alam TPA
yang kami bina. Dengan beberapa pembimbing lainnya, kami ajak anak anak ke
sungai yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu jauh lokasinya. Sengaja kami
pilih lokasi yang masih asli, belum ada rekayasa untuk dijadikan tempat wisata.
Masih alami dan segar udaranya.
Belum tiga bulan aku melahirkan anak kedua, sehingga gerakku
tak sebebas biasanya, juga karena aku membawa bayi yang harus kuurus sendiri
segala keperluannya. Anak pertamaku di bawah pengawasan suami.
Aku mengambil
posisi di tepi sungai, di sebuah batu besar yang relatif datar. Setelah semua
perlengkapan kusiapkan, kubaringkan sikecil yang sedang tidur di atas batu
beralas selimut tebal. Kusiapkan snack untuk menemaniku membaca. Suamiku sudah
faham dengan prosesi rutinku saat acara seperti ini. Yang lain begitu heboh dan
gegap gempita dengan segala permainan dan aktifitas yang menggembirakan, aku
akan duduk manis menikmati sepoi sepoi angin sambil membaca dan ngemil,
herannya... tetap saja badanku tak bisa gemuk.
Lha acara yang seperti itu jarang terjadi? He he he
Setelah kejadian itu, anakku perlahan lahan mengalami
perubahan sikap terhadap air. Yang biasanya begitu semangat dan bergembiranya
ketika diajak mandi, sejak kejadiaan itu dia terlihat enggan dan perlu dibujuk
bujuk untuk mandi. Ketika kepala disiram air, dia akan menangis bahkan menjerit
ketakutan. Hmmmm butuh perjuangan saat saat jadwal mandi. Hal itu terjadi
beberapa bulan. Kami terus berusaha menghilangkan trauma itu, kami tak ingin
penanganan yang lambat akan membawa dampak pada trauma berkepanjangan sampai
terbawa ke usia dewasa, jelas hal itu sangat tidak mengenakkan.
Banyak hal yang kami lakukan untuk usaha itu, misalnya
kuajak dia bersama sama ketika aku mencuci piring atau mencuci baju yang saat
itu masih menggunakan tangan.
Kadang sengaja diajak berhujan hujan oleh suami sambil
bermain air yang mengalir diselokan depan rumah yang volumenya bertambah ketika
hujan.
Kami ajak ke kolam renang anak anak, walaupun tidak masuk,
tapi sekedar bermain air ditepiannya.
Berulang kali kami ajak ke sungai yang sama tapi tidak di
tempat air terjun tempat kejadian. Sekedar berjalan menyeberang atau berendam
di aliran yang dangkal dan banyak bebatuan yang tidak terlalu besar.
Alhamdulillah, upaya kami tidak memerlukan waktu sampai setahun, hanya beberapa
bulan saja, anak kami sudah kembali seperti semula, hilanglah trauma airnya.
Sekarang? He he he di usia remajanya, air adalah sahabatnya.
Setiap ada kesempatan minimal berenang di kolam renang, kalau ada kesempatan
berenang di pantai bahkan bersama teman temannya berenang menyeberang ke pulau
kecil yang tidak terlalu jauh dari
pantai. Alhamdulillah.
Kadang ketidak jelian orang tua dan kekurang tepatan dalam menangani trauma di masa kecil anak anaknya, berakibat fatal terbawa ke masa dewasanya, sehingga lebih sulit di atas.
No comments:
Post a Comment