Aku
mulai kenal pengajian kelas 2 SMP. Waktu itu aku tidak percaya yang namanya
jatuh cinta, karena materi materi yang aku terima dari pengajian melarang untuk
berpacaran. Tapi pada kenyataannya,ada seorang akhwat yang membuatku bergetar, ketika kelas 2 SMA.
Aku beranikan diri untuk melamarnya, karena aku tidak mau pacaran, dosa.
Dia
memintaku untuk menamatkan SMA dulu. Aku ikuti maunya, aku bersabar menunggu.
Ketika aku lulus SMA, dia mengatakan,” kalau akhi mencintaiku ….” dia memintaku
melakukan sesuatu, juga kuturuti permintaannya.
Aku terperangah membaca smsnya,
membayangkan remaja kelsa dua SMA melamar seorang wanita untuk menjadi istri.
Setahuku, remaja seusia itu sedang
gencar gencarnya tebar pesona dengan berbagai macam gaya, sehebat hebat dan
senekad nekadnya, mereka paling nembak cewek, ngajak jadian, ngajak pacaran, tapi
yang ini?
Aku langsung teringat pada
pelatihan parenting yang aku ikuti tujuh belas tahun lalu, membicarakan tentang
bagaimana cara menanamkan life skill pada anak. Saat itu salah satu pembicara
mengatakan, dia membayangkan, anak anak dengan life skill yang baik akan
menjadi pemuda yang pada umur 15 tahun berani melamar seorang wanita untuk
membentuk keluarga karena sudah mampu.
Saat itu peserta pelantikan serempak
geer. . .tertawa, kami fikir sekedar banyolan, intermezo supaya peserta tidak
mengantuk, tetapi setelah dijelaskan, ternyata hal itu bukan hal yang mustahil.
Justru ketika seorang pemuda bagus life skillnya, ketika masanya gejolak
mudanya membahana, maka penyalurannya pada hal yang diridhoi Allah, pernikahan.
Kulanjutkan membaca smsnya.
Sampai
saatnya tiba, aku kembali mengajukan lamaran kepadanya. Sebelum berlanjut pada proses berikutnyanya, dia jatuh sakit sampai Allah mengambilnya.
Aku
kehilangan cinta pertamaku.
Kau bisa bayangkan bagaimana perasaanku? Hancur! Aku merasakan
kehancuran dalam hidup, kehilangan pegangan, tak tentu arah melangkah, hilang
konsentrasi. Aku terpuruk, benar benar aku terjerembab, jatuh, tak sanggup
bangun
Itu
lima tahun yang lalu, hingga beberapa hari lalu kuputuskan untuk mengakhiri
kesedihanku, bersamaan dengan kutemukan namamu di brosur, lalu ku catat no hp
mu dan kuberanikan diri kirim sms.
***
Aku ingat kejadian 4 hari yang lalu,
selesai sholat dhuha, kutemani anakku yang terkecil bermain, sambil beresan
rumah, ada suara nada panggil dari hp,
anakku berlari mengambilnya.
“ Mi, ada sms,” katanya sambil
menyerahkan padaku.
“ Terima kasih.” kataku.
“ Sama
sama umi sayang,” jawabnya sambil berlari ke tempat bermainnya. Ah, anakku memang menggemaskan.
Assalamu’alaikum, saya Habib, apa saya boleh
berkenalan? Di mana rumah anda? Apa anda bersedia saya lamar?
Tertulis pesan di hp, kuulang ulang membacanya, tidak salah.
Lha … lha … lha … apa apaan ini? Tanpa
membalas salam, langsung sms kubalas dengan nada ketus,
Katakan
! dari siapa dapat no saya ?
Subhanallah,
saya dapat brosur dari ustadz saya, afwan jiddan kalau tidak berkenan.
Lho ? Afwan jiddan ? itukan bukan ucapan
sembarangan? Setahuku itu ungkapan yang ada di internal, he he he maksudku
dikalangan aktivis pengajian.
Akhi ikut tarbiyah ya?
tanyaku melunak.
InsyaAllah, ukh..
Eh, koq aku sebel dijawab begitu?
Hey akhi, ustadz
antum siapa ? koq sikap akhi seperti itu? Apa di tarbiyah diajarkan
seperti itu? tanyaku dengan nada
tinggi.
Ukhti! Coba diteliti ucapan saya tadi,
bukankah itu tuntunan Islam, proses dalam mencari istri ? pertama saya
tanya ukhti siapa, rumah
dimana = ta ‘aruf, kedua apakah
bersedia saya lamar ? = khitbah, ketiga kalau
ukhti jawab ya, proses ketiga, menikah..
Ha ha ha, naïf banget nih ikhwan, ah
kerjaiin dikit ah, sifat isengku kambuh.
Akhi, ya memang begitu urutannya, teorinya,
tapi ya nggak saklek amatlah, kan akhi belum tahu saya akhwat apa ummahat?
Dalam hatiku tertawa terpingkal pingkal,
bahkan sampai tertawa sungguhan, sekalian bercanda dengan si kecil.
Kalau begitu, boleh saya tahu, ukhti akhwat atau ummahat?
Akhi,
saya ummahat dengan 6 orang anak, usia hamper kepala lima, jadi lamaran
ditolak.
Apa
di situ tidak ada akhwat?
Ihhh,
nekad juga orang ini?
Ada, anak anak saya, masih kecil.
Anak umi nggak apa apa deh.
Heh, ketuaan nanti,
jawabku, masih merasa lucu, tapi aku merasakan adanya keakraban dalam dialog dengan sms tersebut.
Kupikir selesai, ternyata ?
***
Sore hari setelah sholat Ashar, hp berbunyi tanda
panggilan masuk. Aku tak terbiasa meneliti no telfon yang masuk sebelum
kuangkat, biasanya juga Abi, anak anak, tetangga, teman pengajian atau pasien.
“ Assalamu”alaikum.”
“ Wa’alaikum salam,” diam sejenak.
“ Maaf, ini siapa?” tanyaku
“ Umi,
ini Habib, yang tadi sms.”
“ Ooo, ada apa Bib?” tanyaku, lho? Aku
heran dengan suaraku sendiri, koq bisa langsung akrab seperti dengan teman
temanku atau dengan anakku ya? Padahalkan belum kenal-kenal amat dengan si
Habib?
Tut . . .tut . . .tut. . . terputus, mungkin pulsanya habis.
Mau ngomong apa lagi si Habib sampai
nelfon? Rasanya tadi sudah selesai? Sudah kujelaskan semua?
Apalagi ya?
Entahlah ….
***
No comments:
Post a Comment