Esoknya, siang hari ketika aku sedang
menunggu teman yang akan pergi bersama ke pengajian, Habib sms lagi.
Umi, boleh ngobrol lewat sms?
Boleh kalau memang ada yang mau ditanya.
Eh, temanku sudah datang untuk berangkat
bersama.
Sudah
dulu ya, Umi mau berangkat
pengajian.
Salam
untuk akhwat yang cantik ya,.aku senang dengan akhwat yang berkacamata
dan kelihatan pintar.
Wah! Itu mah Umi banget ( 25 tahun lalu ) he he he, isengku nongol lagi.
Wah! Itu mah Umi banget ( 25 tahun lalu ) he he he, isengku nongol lagi.
Yeee .. Umi,
udah keduluan Abi juga. Kalau saja aku ketemu sebelum Abi memiliki Umi?
Uuuuuuu. . . telat lahir!
ejekku.
Koq setiap smsan dengan Habib aku
merasakan seperti smsan dengan sulungku yang ada di Jakarta Ya? Enak, penuh
canda, menyegarkan.
Mungkin ini kesalahanku. Mungkin ini
ketidak pekaanku. Mungkin ini yang mengawali terjadinya kisah aneh ini.
***
Malam harinya, sekitar jam 21, anak anak
sudah tidur, Abi sedang mengisi majlis ta’lim di masjid kompleks, terdengar tanda sms
masuk, siapa ya?
Umi sedang apa? yaah, Habib lagi.
Ini ada yang sedang diselesaikan.
Umi,
aku akan katakana sesuatu padamu, ana uhibbukifillah, aku mencintaimu karena
Allah.
Lho .. lho … lho … apa apaan si Habib?
Nggak ada angin, hujan apalagi badai eh
asal ceplos saja. Tapi okelah, ini anak muda, darahnya masih panas, aku yang
sudah dewasa harus lebih bisa menahan diri.
Cinta
karena Allah selalu bermuara pada peningkatan ma’rifah dan ketaatan kepada
syariatNya.
Aku yakin dengan perasaanku. Getaran getaran ini yang dulu
pernah kurasakan, aku tidak pernah melupakan itu.
Tetapi
cinta karena Allah tidak akan pernah melanggar syariatNya
Syariat
mana yang kulanggar Umi?
Apakah menyatakan cinta melanggar syariat? Bukankah tidak ada larangan?
Aku terdiam, tak berani jawab, walaupun
hatiku tidak setuju, tapi aku belum punya dalilnya.
Mungkin dia benar, diakan hanya bilang
cinta karena Allah? Bukankah kita biasa dengan hal itu? Tapi biasanyakan antar
sesama jenis atau pernyataan kepada jamaah ketika ada majelis? Lha ini antara
laki laki dewasa dan perempuan dewasa, bukan mahram lho? Apalagi istri orang?
Smsan malam itu berakhir menggantung seperti itu.
***
Jam 4 pagi, seperti biasa aku terbangun.
Sempat tergagap karena sedikit lebih siang daripada biasanya.
Tanganku meraba
bawah bantal, mencari hp, ternyata mati. Segera kuaktifkan kembali, ternyata
ada 2 pesan masuk.
Umi! aaah, si Habib lagi, itu sapaan ketika dia
izin masuk untuk komunikasi lewat sms, kulihat waktu kirim, masyaAllah, 00.05.
Aku
nggak bisa tidur, selalu memikirkanmu
Kudiamkan saja, tidak ku balas. Hp memang selalu ku sanding dan dalam kondisi aktif.
Kondisiku mengharuskan aku seperti itu, ibuku sudah sepuh, tinggal bersama
adikku, yang selalu kunanti khabar beritanya, dua anakku jauh dariku. Aku tak
ingin saat keduanya membutuhkan dan menghubungi, hp tidak aktif. Aku juga
selalu siaga sebagai seorang terapis, dimana sewaktu waktu ada pasien darurat
yang butuh pertolongan.
Selesai dzikir subuh, kuambil Al quran
untuk tilawah, sebelum sempat ta’awud, sms masuk,
Umi! aduh
aduh Habib….. hmmm.
Mulailah
harimu dengan ayat ayat cintaNya, Al quran.
Kumulai
hariku dan kuakhiri dengan cintamu, Umi!
Masa bodoh.
Tilawah kumulai sampai waktunya aku ke
dapur menyiapkan segala keperluan pagi, hp kuletakkan di lemari, silent!
***
Habib memang penuh perhatian. Aku belum
bisa membayangkan sosoknya seperti apa, dan memang tidak ada minatku untuk
mengetahuinya. Setiap waktu makan, dia hamper selalu sms,
Umi, sudah makan,?
kalau kujawab sudah, dia akan diam, tapi kalau ku jawab,
belum,
malezzzz, selalu dikatakan,
Makan
Umi, nanti sakit. Aku
nggak mau dengar Umi
sakit. Aduh
aduh, mesranyaaaaa.
***
Pernah suatui malam, setelah sholat Isya, Habib sms
menyapaku, kebetulan aku baru dapat sms dari sulungku.
Baru
saja aku dapat sms dari anak sulungku yang ada di Jakarta, kau tahu bagaimana
perasaanku? Seperti ketika aku dapat telfon dari anak keduaku yang ada di Eropa, juga sama seperti
ketika aku dapat sms darimu.
Saat
kumerindukan anak anakku, kau hadir mengisi kekosongan itu.
Perlu kau tahu,
seorang laki laki sukses, selalu mempunyai dua bidadari dalam hidupnya. Yang
pertama adalah ibunya, bidadari kedua adalah istrinya. Aku ingin menjadi bidadari
pertama dalam hidupmu. Aku selalu doakan anak anakku agar dimanapun mereka
berada, Allah selalu melindunginya, mencukupi rizkinya, memudahkan segala
urusannya, menjadikan orang orang disekitarnya mencintainya dan mengingatkan
mereka agar selalu dekat dengan Alquran, lalu kau ingin aku doakan apa?
Nggak
Umi, engkaulah satu satunya
bidadariku, aku minta doakan agar hatimu juga mencintaiku.
Uff, kalau itu diucapkannya 25 tahun
yang lalu, mungkin tidak perlu di ulang dua kali melamar, sekali saja langsung
aku terima. So sweet, romantis banget!
Ha ha ha jadi ingat Abi, pernah ku
bilang,” Bi bilang cinta dong?” ha ha ha, beliau belingsatan, nyengir kuda, aku
pura pura ngambek. Tapi ketika Abi benar benar bilang cinta padaku, aku tidak
bisa menahan tawa, terpingkal pingkal sampai keluar air mata. Ah sudahlah. . .
nggak pake bilang cinta, anaknya juga enam koq, he he he.
Kadang kadang masalah romantisme di
bahas dikalangan ibu ibu, ada yang
menganggapnya super penting, ada yang biasa biasa saja. Ada yang ekspresinya
terlalu lebay, ada yang super kaku, he he he aku dan Abi tipe mana ya?
Belum berhasil juga, okelah, besok cari
akal lain.
***
Assalamu'alaykum...saya ijin baca tulisan2nya nggih ^^ ijin meninggalkan jejak juga :D
ReplyDeleteMembaca Mujahid Jngkrik (walaupun baru nyampe sesi 2), kok saya merasa aneh ya. Orang yang ikut tarbiyah, yang pemahaman islamnya tinggi kok begitu. Terlebih ikhwannya. Sikapnya jelas2 salah dan melanggar syara'. Menggoda dan merayu istri orang, sms2 yg ga penting (bisa jatuh ke kholwat), dan ga bisa menjaga nafsu. Sebelnya berkedok islami lagi! Itu mah ikhwan bakwan hehe :D
logis nda sih orang yg ngaji islam bahkan sejak belia tapi bersikap seperti itu? atau memang ada kali ya tipe2 yg demikian hhe :)
wa'alaikum salam, monggo di baca. Itulah yang selama ini ada dibenak kebanyakan orang tentang tarbiyah, begitu besar harapannya. Tapi di sisi lain, kita juga harus menerima peluang salah manusianya. Cerita ini coba menghadirkan sesuatu yang mungkin terjadi, bahkan pada kenyataannya bisa lebih parah dari ini. Harapannya ada pelajaran yang bisa kita ambil, untuk lebih bijak membaca persoalan yang ada, sehingga tidak mudah memvonis sebuah sikap dengan ukuran pribadi, mengatas namakan syariah yg ala kadarnya. Trims untuk apresiasinya, bersabar menunggu endingnya ya? jangan berhenti karena nggak simpati dengan tokohnya, he he he.
Delete