Friday, August 19, 2016

Dai dan Tujuhbelasan

Beberapa hari belakangan ini, masyarakat disibukkan dengan hajatan peringatan hari kemerdekaan, tujuh belasan, yang kemungkinan besar, diambil perayaannya, pesta rakyatnya, senang-senangnya.

Bagaimana pemahaman dan pemaknaan dari peristiwa yang diperingati?

Wallahu'alam!

Andai didata secara akurat, masih ada berapakah orang yang sempat menyaksikan atau hidup di zaman kemerdekaan diplokamirkan?

Dari yang masih hidup, berapa orangkah yang terlibat langsung dalam perjuangan merebut kemerdekaan? Berapakah orang yang hanya sebagai saksi dan tidak terlibat sama sekali?

Entahlah, kalau para pejuang yang sebenarnya menyaksikan perayaan yang dilakukan anak cucunya sekarang, senangkah? Atau justru prihatin?

Hampir merata di setiap RT atau RW, panitia mengadakan berbagai lomba yang dari tahun ke tahun tidak terlalu jauh berbeda; panjat pinang, tarik tambang, bakiak, lari karung, makan kerupuk, dan berbagai jenis permainan anak-anak. Di kalangan bapak-bapak, gaple, catur,dll. Di kalangan ibu-ibu: lomba masak, volley, joged balon, dll.

Ada juga yang mencoba mewarnai dengan lomba-lomba yang bernuansa agama, seperti lomba hafalan qur'an, adzan, cerdas cermat, dll.

Puncak acaranya, bagi-bagi hadiah, makan-makan dan pentas musik.

Kita, sebagai manusia merdeka, bebas menentukan pilihan sikap terhadap perayaan yang ada. Mau ikut terlibat sebagai penyelenggara? Sebagai peserta? Sebagai penonton? Atau berlepas diri dari semuanya?

Dimana dai dalam kondisi seperti ini?

Kita akan melihat, para dai pun menentukan pilihannya masing-masing, tentu dengan berbagai pertimbangan.

Ada yang sama sekali tidak ambil  bagian di dalamnya, walau sekedar menampakkan diri atau ikut sumbangan sekedarnya.

Ada yang mau peduli, sekedarnya, ambil bagian di bagian yang dianggap masih bisa ditolerir, seperti misalnya ikut menyaksikan anak-anak lomba.

Ada juga yang jadi penyelenggara, dengan begitu bisa menentukan jenis kegiatan yang bisa ditolerir.

Ada juga yang ikut hadir kumpul-kumpul di puncak acara, yang artinya ada pentas musik yang di gelar.

Oke, saya menyoroti hal yang terakhir, tentang para dai.

Menurut saya, masing-masing dai sudah dewasa, punya alasan dalam memutuskan sikap dan bertanggung jawab atas pilihannya itu, maka, alangkah baiknya kalau masing-masing tidak menilai pihak lain yang berbeda pilihan. Biarlah urusannya kepada Allah. Jangan sampai mengecam pihak lain apalagi sampai mempertanyakan masalah akidah dan akhlaknya.

Bukankah tanggal 17 Agustus hanya satu hari dalam setiap tahun?

Tugas dai di zaman ini sangatlah berat, jangan lagi ditambah dengan persoalan perbedaan yang di besar-besarkan.

Andai tidak bisa bekerja dalam satu pasukan, sibuklah mengurus barisannya agar rapi, solid dan bertambah kuat, tidak perlu mengkritisi barisan lain.

Kalau memang sama-sama menuju Allah, berjuang menegakkan kalimatullah, abaikan perbedaan, fokus pada persamaan.

3 comments:

  1. Sudut pandang itu banyak ya mbak Neny, kalau semua orang bisa berusaha memandang sebagaimana orang lain memandang dan membuat pilihan, mungkin semua perbedaan akan terasa indah :)

    ReplyDelete
  2. Jadi pingin ikut lomba-lomba 17an lagi. Dulu pernah ikut lomba ngambil duit di pepaya dan... nggak menang, hihi...

    ReplyDelete