Aku seorang ibu, ibu
biologis untuk anak anak yang terlahir dari rahimku dan ibu fungsional untuk
orang orang yang aku bimbing dalam kehidupan.
Anak anak adalah cermin, maka aku selalu memperhatikan
mereka untuk melihat diriku.
Ketika salah seorang anak mengatakan,”Aaaah, Umi maaah,”
karena aku tak setuju dengan maunya, maka aku akan langsung bertanya pada
diriku sendiri, pernahkah kau bersikap
seperti itu pada ibumu? Atau lebih parah?
Ketika anak yang lain cemberut karena hidangan di meja yang
kusediakan tak sesuai selera, rasa panas hatiku, nggak tau bagaimana Umi mengorbankan waktu untuk semua ini? Mana terimakasihmu?
Maka aku akan teringat,
ketika SMP, setiap pulang sekolah, hidangan di meja tak ada sayur kesukaan atau
terlihat lauk yang kubenci, aku langsung menangis, kecewa, tapi. . . makan
juga,
Ketika salah satu anak sering sekali menyebabkan pihak
sekolah memanggil untuk membicarakan berbagai hal tentangnya, maka aku akan
teringat bagaimana jerih payah orangtuaku untuk memenuhi biaya sekolah agar tak
putus proses belajarku, dan itu tentu saja memberatkannya, so, apa yang sudah
kulakukan untuk meringankan bebannya, menghibur kesedihannya?
Allah telah mewanti wanti kita sebagai anak, tuk tidak
menyakiti hati orang tua, walau hanya dengan perkataan uff / ah.
Mengapa sesederhana itu?
Mungkin karena kepekaan hati manusia berbeda, ah
adalah kata paling sederhana untuk menyakiti hati yang peka.
Ada lagi pertanyaan yang sering mengganggu tidurku, sudah sesuaikah aku sebagai ibu yang mana
surga ada di bawah telapak kakiku?
#Renungan untuk para Ibu
No comments:
Post a Comment