Sepulang mengantar anak anak ke
sekolah, kulihat Abi membuka leptop..
“Nggak ada agenda Bi?”
“Kosong, mau cari berita
terkini.”
“Sempatkan baca tulisan Umi
yang terakhir, dari kemarin kemarin Abi nggak sempat.”
“Ok.”
“Umi mau melanjutkan masak dan
mencuci, tanggung.”
Kutinggalkan Abi sendirian, aku
ke dapur, melanjutkan masakan yang belum selesai. Hatiku tak karuan rasanya,
campur aduk. Takut, khawatir, degup jantungku tak menentu. Sangat menyiksa,
sungguh, aku tersiksa dengan perasaanku!
“Umiiii!”
Jantungku seakan berhenti
berdetak, kagetku melebihi ketika mendengar guntur menggelegar. Ya Allah,
tolong hamba!
“Yaa!.” Jawabku, setengah berlari
menghampiri kamar, sampai depan pintu langkahku terhenti, aku takut masuk.
“Sini!”
Perlahan kuhampiri Abi, sambil
menunduk, tak berani kutatap wajahnya. Berdiri dihadapannya bagai patung, kaku,
tak dapat bergerak.
“Duduk!” masih dengan suara
sangat tegas.
Aku duduk bersimpuh
dihadapannya, yang saat itu sedang duduk dikarpet.
“Jadi pasien kemarin itu Habib,
yang ada di tulisan Umi ini?” tanyanya dengan suara tegas, tapi tidak teriak
seperti tadi.Aku mengangguk perlahan.
Dipegangnya kedua bahuku dengan
kuat.
“Abi sedang bicara dengan Umi,
angkat wajahnya!”
Perlahan kuangkat wajahku, tapi
aku tak berani menatapnya. Kupejamkan mata, aku sudah pasrah. Apapun yang akan
dilakukannya, aku pasrah, Aku tidak akan membela diri jika dia menyalahkan, aku
hanya berharap, Allah memberikan yang terbaik bagi kami. Tak terasa air mata
menggenang, dan perlahan mengalir di pipiku. Aku tidak tahu, apa arti tangisku,
campur aduk perasaanku. Takut, merasa bersalah, menyesal, entahlah.
Aku
menunggu vonis itu. Tapi kenapa begitu lama?
Tiba tiba aku merasakan sesuatu
yang lembut hinggap di dahiku.
Aku seperti tidak percaya, aku sangat hafal,
itu...kecupan lembut bibirnya. Apa artinya ini?
Aku mencoba mengintip apa yang
terjadi, perlahan kubuka kelopak mataku, tapi kupejamkan lagi, aku takut ini hanya
mimpi. Aku tak ingin beranjak dari suasana ini.
Kurasakan tangannya berpindah
ke pipiku, tidak keras seperti tadi, lembut.
Aku masih takut membuka mata,
sampai terdengar suaranya yang menggoda.
“Ih, seperti penganten, buka
matanya! Koq malu malu?”
Setelah kuyakin dengan suara
itu, kubuka mataku perlahan. Wajah itu begitu dekat, hampir bersentuhan dengan
hidungku. Kulihat senyumnya, tak ada tanda tanda marah.
“Abi nggak marah?” tanyaku
heran, sambil sedikit mendelik.
“Marah dengan siapa?”
“Umi?”
“Nggak ah, nanti kalau Abi
marah, ada Habib yang begitu mencintai Umi.”
“Nggak marah dengan Habib?”
“Untuk apa? Dia toh sudah
mundur? Bahkan kalau berkesempatan ketemu lagi, Abi akan mengucapkan
terimakasih.”
“Koq malah berterimakasih ?”
“Habib sudah mengingatkan,
bahwa Abi harus bersyukur mempunyai Umi, yang begitu di damba laki laki, bukan
karena kecantikan fisik, tetapi karena karakter yang sangat dibutuhkan untuk
mendampingi hidup.”
Hatiku membuncah, sangat
bahagia. Langsung kususupkan wajahku kepelukannya, tapi uh, koq wajahku
dijauhkannya dari dada? Ditatapnya mataku dalam dalam.
“Janji! Tak akan terulang lagi,
Abi tak akan bisa menahan cemburu kalau sampai terulang lagi.”
Langsung kupeluk erat Abi,
seakan tak akan kulepas lagi.Kunikmati suasana itu beberapa jenak, keresapi
degup jantungnya, tarikan lembut nafasnya, eh ada sesuatu yang mengusik di
benakku.
“Menurut Abi, apa tindakan Umi
di hadapan Allah salah?”
“Semoga Allah mengampuni
kesalahan kesalahannya, dan niat baik serta upaya yang Umi lakukan untuk
mengembalikan seorang hamba dari keputus asaannya, dapat menutup kesalahan
kesalahan itu.”
“Tolong bantu doakan Umi ya
Bi?”
“Ya, tentu saja.”
“Mengapa Abi begitu percaya
pada Umi?”
“Selama ini tidak Abi temukan
alasan untuk tidak percaya, dan Abi sudah serahkan penjagaannya pada Allah
untuk hal hal yang di luar kemampuan Abi untuk menjaga Umi.”
Subhanallah, Alhamdulillah,
Astaghfirullah. Terima kasih ya Rahman, atas penyelesaian masalah ini, yang tidak menimbulkan korban.
TAMAT
No comments:
Post a Comment