Bagaimana ini?
Aku sudah tak kuat lagi , sebenarnya aku tak tega membangunkan suami yang pulas
tertidur, dia terlalu lelah.
Baru sore tadi
dia pulang mengantarkan ibuku , pulang berhujan hujan, kedinginan. Wajarlah
kalau tidurnya sangat lelap. Tapi aku tak bisa berbuat apa apa, lemah kurasakan
sekujur tubuh. Menggigil sejak tadi, untunglah bayiku yang baru berumur sepekan
tidur dengan tenang.
Maafkan,
terpaksa aku membangunkanmu Mas, bisik hatiku. Tapi tanganku tak sampai
menggapai tubuhnya, suamiku tidur melintang di dekat kakiku, terpaksa ku
senggol kakinya menggunakan kakiku.
Suamiku tampak
terkejut, langsung bangun, duduk sebentar dia pegang kakiku.
“Masyaallah,
panas sekali?”
Itu kata
terakhir yang kudengar, setelah itu aku tak ingat apa apa, mungkin tidur atau
pingsan, aku tidak tahu, seumur hidup belum pernah aku mengalami pingsan.
***
Kepalaku
pusing karena bangun tiba tiba, panas yang menjalar dari kaki istri membuatku
spontan duduk. Kupegang kakinya, haah! panas sekali. Aku segera turun dari dipan
dan menghampirinya, Allah! Pingsan!
“Nduk! Bangun...nduk!” aku panik, segera kuambil air dan
waslap untuk mengompresnya. Kuoles leher dan pelipisnya dengan minyak kayu putih
dan kuhirupkan dihidungnya, dengan harapan segera sadar.
Ke
dokter! Ya, harus ke dokter, tak bisa ditunda lagi. Wajah istriku pucat, pasi.
Aku segera mengganti pakaiannya, mempersiapkan membawanya ke dokter. Kuminta
adikku ke tempat mas Khudori, tetangga sebelah rumah, untuk mencarikan becak.
***
Ketika sadar,
kurasakan bagian dahi basah, kupegang, oo ternyata ada kompres.
“ Yuk ke
dokter,” kata suamiku sambil tanganya
sibuk memakaikan kaos kaki .
“ Jam berapa Mas?” tanyaku
“
Setengah dua belas.”
“ Besok pagi
saja Mas, nggak enak malam malam mengganggu dokter.”
“ Sekarang! Ini
hasilnya kalau menunda nunda ke dokter!”
Memang setelah
maghrib tadi suamiku mengajakku ke dokter karena badanku demam, tapi ku fikir
demam biasa, maka aku menolaknya.
Sekarang aku
tidak bisa menolak lagi, kondisiku sudah sangat membutuhkan pemeriksaan dokter.
Dibantu suami dan adik ipar perempuan, aku bersiap berangkat, tapi aku ingat
sesuatu.
“Ganti baju dulu Mas, aku tadi pakai daster.”
“Sudah,” jawab
suamiku, pendek.
Rupanya saat
aku pingsan, suamiku sudah mengganti
bajuku, aku tidak tahu baju yang mana, karena tertutup jaket dan jilbab,
terserahlah, yang penting seluruh auratku aman, dan aku percaya pada suamiku,
dia tak akan membiarkan auratku keleleran.
Dengan tertatih,
aku di papah menuju becak yang sudah menunggu, terlihat mas Khudori dan mbak Tus, istrinya di depan pintu.
Kusempatkan berpamitan, walau sambil lalu dan sangat lirih, ”Mba, titip bayi ya?”
“ Ya,Mi,
insyaallah.” jawab mba Tus, melegakan.
Di lingkungan aku biasa di panggil Umi, walaupun belum punya anak, karena aku guru ngaji dan santri memanggilku begitu, begitu juga suami, biasa dipanggil Abi.
Aku berjalan
lebih tenang, setidaknya satu beban fikiranku lepas. Bayiku ada yang menjaga,
mba Tus juga sedang menyusui anaknya, setidaknya kalau urusanku panjang dan lama,
beliau bisa menyusui bayiku..
Di halaman sudah
menunggu abang becak dan becaknya, pak Rasyid, tetangga yang juga pengurus
masjid, dan pak Hasan, petugas keamanan lingkungan yang sedang berjaga.
“ Mas, tolong
anter ke dr
Naimah ya,”
“ Ya Bi,
monggo.”
Rumah Dr. Naimah
hanya berjarak sekitar 400 meter dari tempat tinggalku, pak Hasan mengikuti
kami dari belakang, sekalian menjalankan tugasnya keliling lingkungan.
Sesampainya di
depan rumah dokter, suamiku langsung melompat dari becak, bahkan sebelum becak
berhenti. Membunyikan bel pintu gerbang berulang ulang, tidak juga ada yang
membukakan..
Karena terlalu
lama, suamiku melompat pagar rumahnya, yang
tidak terlalu tinggi. Membunyikan bel di pintu rumahnya sambil mengetuk ngetuk.
Sia sia.
“Mungkin sedang
ke Jakarta,”
Terdengar pak
Hasan sudah menyusul.
“Dibawa ke rumah
sakit saja Bi, minta tolong antarkan sopir pak Ediwan,” usulnya.
Tak ada pilihan
lain, suamiku kembali naik becak dan minta diantar ke rumah pak Ediwan,
tetangga belakang rumah.
Sesampai di
pintu gerbang, suamiku tidak langsung menekan bel, tetapi mengintip ke halaman
dari jeruji pagar rumahnya yang tinggi, tak nampak mobil di garasi tempat
biasanya mobil parker.
Akhirnya kami kembali ke
rumah, ternyata pak Rasyid dan mas Khudori masih ada di halaman rumah kami.
Aku
dibiarkan di beca, suamiku turun, membicarakan hasil perjalanan kami sesaat tadi. Dalam kondisi lemah
tanpa tenaga, aku tetap memikirkan jalan keluarnya, pandanganku tertuju pada
telfon umum yang ada di pojok halaman masjid. Aku memang tinggal di kompleks
masjid, karena tugas suamiku sebagai pimpinan TPA di masjid itu.
“ Mas, telpon bu
Tarni dulu, baiknya bagaimana,”
“ Nomernya
lupa,” jawab suamiku, aku maklum. Itu pertama kali aku melihat kepanikan yang
luar biasa, sebelumnya dia akan bersikap tenang menghadapi situasi segenting
apapun.
Alhamdulillah,
dalam kondisi fisik lemah tanpa tenaga. Ingatanku masih baik, aku ingat nomor telpon rumah bu Tarni, bidan yang menolong
persalinanku seminggu yang lalu.
Kulihat suamiku
menelpon, menjelaskan kondisi saat ini, minta pendapat beliau.
“ Kita ke rumah
bu Tarni dulu.”
Kulihat suamiku
berunding dengan yang hadir, nampak mereka kebingungan, dengan apa membawaku ke
sana? Tempatnya jauh, tidak mungkin dengan becak.
“ Mas, kan di
rumah pak. . .siapa tuh yang pojokan jalan, ada mobil angkot,” aku memberi usul.
Alhamdulillah, dalam
kondisi terkulai, Allah masih memberikan kejernihan pada fikiranku, walau tak sesempurna ketika sehat.
“Masyaallah,
iya, tempat pakde kan
ada mobil, dua malah,” suamiku sampai teriak, hmmm, nih ada bapak bapak empat
orang panikan semua, lupa dengan hal penting seperti itu.
Akhirnya, aku
dan suami di antar oleh anak pakde dengan mobil pribadinya.
Dalam perjalanan
benar benar aku merasakan seluruh tubuhku bagai dilolosi, lunglai, tanpa
tenaga. Dalam kondisi seperti ini, aku teringat dengan bayiku.
“ Mas. . . titip
eee, siapa anak kita namanya. . .?” kataku pada suami, heran! Nomer telfon ingat, tetangga ingat, hah! Nama anak sendiri nggak
ingat, ah maklumlah, baru sepekan. Aku ingat dengan
wasiat. Aku ingin berwasiat,
tapi suamiku segera memotong ucapanku yang belum kuselesaikan.
“ Sudah, diam!
Nggak usah banyak omomg, perbanyak dzikir!”bentaknya.
Aku kaget, belum
pernah suamiku membentak selama ini, tapi aku maklum. Mungkin itu ekspresi
ketakutan, kekhawatiran yang sangat.
Aku menurut, tak
bicara lagi. Sepanjang jalan aku merenungkan apa yang terjadi. Yang kurasa
hanyalah lemas, tanpa tenaga, tetapi aku tidak merasakan sakit apa apa.
Disekujur tubuh, aku rasakan baik baik saja, hanya lemah. Mau menggerakkan
jaripun aku tak sanggup. Aku duduk bersandar di kursi bagian tengah mobil, di
pegangi suamiku. Kepalaku tak bergeser dari bahunya., aku merasakan debaran jantungnya
yang memburu dan kurasakan menjalar sampai bahunya, aku merasakannya. Kurasakan
perjalanan ini begitu jauh, begitu lama. Kupejamkan mata, sekali kali kubuka.
Kupandangi langit penuh bintang, sejuk kurasakan udara malam ini.
Inikah saatnya
aku meninggalkan semuanya? Aku coba coba ingat, seperti apa rasanya sakaratul
maut yang di gambarkan oleh Rasulullah dalam salah satu hadistnya. Tapi koq
tidak sama ya? Katanya, semudah mudahnya sakaratul maut, tetap ada sakitnya,
ada ketakutannya, tapi yang kurasa justru keindahan malam yang tak pernah
kurasakan sebelumnya. Nikmatnya badanku tanpa rasa sakit sedikitpun, hanya
tanpa tenaga. Tetapi kondisi tanpa tenaga itulah yang justru mengantarkanku
pada kepasrahan total kepadaNya,
benar benar pasrah. Mungkin itulah saat terindah aku dalam kepasrahan, tanpa sisa sedikitpun, total.
Sesampainya di rumah bu Tarni, aku di
bopong suami, di bantu bu Tarni dan anak gadisnya, aku benar benar tanpa
tenaga, tak bisa lagi dipapah.
“ Di kamar depan
saja!” perintah bu Tarni.
Aku segera di
tangani, di periksa, tanpa ku duga bu Tarni memerintahkan anaknya untuk
mengambil alat kerokan, hah?
Aku di keroyok.
Ada yang mengerok, ada yg memijit, seluruh tubuhku, depan, belakang, tangan, kaki. Setelah semua terkendali,
aku di beri minum teh
hangat. Aku rasakan tubuhku mulai bertenaga, ku coba gerakkan jari,
perlahan mengangkat tangan,
Alhamdulillah, berhasil.
“Bagaimana bu?”
Tanya suamiku, masih dengan nada khawatir.
“ Sudah Mas,
nggak apa apa. Tapi biar disini dulu. Lihat perkembangannya. Bayinya saja Mas
ambil, bawa ke sini, biar Uminya
lebih tenang.”
“Apa yang
terjadi Bu?”
“ Masuk angin
kasep.”
“Masyaallah, masuk angin?
Kalau masuk angin saya biasa tangani, tapi belum pernah ketemu yang seperti
ini.
Baik, saya akan
bawa kemari bayinya.”
Tanpa menunggu
dua kali, suamiku pulang mengambil bayiku, oh baru ingat, bayiku namanya Hilmy,
ooh, maafkan Umi nak, sampai lupa namamu.
“ Bu, kondisi
seperti tadi apa bisa nggak tertolong?”
“ Sangat bisa,
terlambat sedikit ya bisa nggak tertolong.”
Alhamdulillah ya
Allah, Kau izinkan aku lepas dari masa kritis ini, tak terasa air mata menetes
di pipi, aku kangen bayiku.
***
No comments:
Post a Comment