Tahun 1985, dakwah kampus mulai diterima secara
resmi oleh fihak Universitas, dalam wujud kegiatan mentoring setiap pekan. sebagai
kegiatan yang wajib diikuti oleh mahasiswa yang sedang mengikuti mata kuliah
agama Islam.
Bentuk kegiatan mentoring berupa forum diskusi yang
terdiri dari sepuluh sampai dengan lima belas orang dibimbing seorang mentor
yang berasal dari kakak tingkat.
Dari setiap angkatan akan terseleksi secara alami
beberapa peserta mentoring yang kemudian menjadi kader dan ikut membantu
melaksanakan kegiatan mentoring angkatan berikutnya, aku termasuk yang tertarik
dan bergabung dengan tim mentoring.
Setiap angkatan hanya terseleksi beberapa orang,
tidak sampai lima persen dari seluruh peserta mentoring.dan pada tahun
berikutnya, setelah dievaluasi ternyata terus berkurang, sehingga di tahun
1989, teman teman satu angkatanku yang masih menjadi mentor dan aktifis dakwah
kampus hanya tinggal beberapa orang, itupun lebih banyak wanitanya.
Kondisi seperti itu menjadi masalah tersendiri
dikalangan teman teman seangkatanku, terutama menjelang kelulusan, yang berarti
juga saatnya meninggalkan kampus, berpisah dengan teman teman aktifis dakwah
kampus.
“Gimana nasib kita nanti ya?” gumam Ros, teman
sekamarku sambil memandang ke luar jendela.
“Ada apa Ros, pagi pagi nggremeng?” jawabku sambil
membereskan literatur bahan skripsi yang berserakan di karpet.
“Pernah menghitung nggak, berapa akhwat seangkatan
dan kakak tingkat kita? Berapa juga jumlah ikhwannya?” Ros membalikkan badannya
menghadapku.
Aku tersentak dengan pertanyaannya, wah nggak
nyangka, kalau Ros sedang memikirkan itu.
“Lalu, ada masalah apa?” tanyaku sambil meletakkan
tumpukan literatur di atas meja belajar.
“Idealnya seorang suami lebih dewasa, usianya lebih
tua atau seusia,nah ini. . ., misalnya angkatan kita dan angkatan kakak kakak
yang ikhwan akhwat dipasang pasangkan, tetap saja lebh banyak wanitanya,
artinya ada yang tidak mendapat pasangan.Bagus kalau kita termasuk yang dapat
pasangan, bagaimana kalau termasuk yang tidak?”
Aku terdiam, kutatap wajah Ros, hmmm, serius
rupanya. Kami diam dengan fikiran masing masing, aku jadi ikut ikut
memikirkannya.
“Ada alternatif lain Ros?” tanyaku ragu.
“Maksudmu?”
“Pahitnya nih, kalau kita termasuk yang nggak dapat
pasangan ikhwan seangkatan atau kakak tingkat, ada alternatif lain nggak, toh
kita harus punya pasangan?”
Ros diam, direbahkan tubuhnya di kasur, matanya
menatap langit langit kamar.
“ Belum ada pandangan,” jawabnya lirih.
“Bagaimana dengan dosen ikhwan?”
Ros langsung duduk mendengar pendapatku, tapi
sejenak rebah lagi.
“Yang mana? Semua dosen ikhwan sudah
beristri’”desahnya
Aku terdiam, melanjutkan mencari alternatif lain.
“Mungkin nggak kalau seperti Mba Lulu?”
“Ikhwan import maksudmu? Nglink dari mana? Mba Lulu
kan senior awal, ya wajar kalau komunitasnya nasional, linknya nasional juga.
Gimana dengan kita?”
“Kitakan senior juga, he he he?” jawabku meledeknya.
“Senior dari umur ya, dari prestasi dakwah? Hmm ,
jalan di tempat,”
“Sudahlah, jodohkan sudah ada yang mengatur,”
jawabku ragu, menghibur diri.
“Aku tidak ragu sedikitpun, tapi nilai manusia bukan
pada apa takdirnya, melainkan seperti apa ikhtiarnya,” Ros menjelaskan
alasannya.
Kami diam beberapa saat, asyik dengan jalan fikiran
masing masing.
“Bagaimana dengan teman teman kuliah atau kakak
tingkat yang bukan ikhwan?”tanyaku ragu.
“Aku belum berfikir ke arah sana, mungkin itu
alternatif terakhir,”
“Mengapa Ros?” tanyaku.
“Kehidupan kita berbeda dengan mereka.”
“Kehidupan beragama?”
“Ya, terutama masalah ruh dakwah.”
“Bukankah kita bisa mengajaknya, seperti halnya
selama ini kita mengajak orang lain?”
“Menurutku, tidak semudah itu, Arrijaalu qowwamuuna ‘alannisa,
laki laki itu pemimpin atas perempuan. Kalau Allah menentukan demikian, berarti
kekuatan dan kewibawaan mereka di atas perempuan. Sebelum menjadi suami istri
itu belum bisa dibuktikan, tapi ketika sudah menikah, risalah dan fitrah akan
selalu mengarah ke konsep itu. Dibutuhkan hal luar biasa untuk keluar dari
ketentuan itu.”
Aku terdiam, mencoba memahami apa yang dikatakan
Ros. Satu hal yang kukagumi darinya, ketika memahami sesuatu, selalu lebih
dalam dari yang lain. Jujur, aku tidak berfikir sedalam dan sejauh itu.
“Kalau ikhwan seumuran atau yang lebih tua nggak
ada, tetapi tetap ingin berjodoh dengan ikhwan juga, alternatif yang ada ya
ikhwan yang usianya lebih muda.”gumamku.
“Atau ikhwan di luar kampus, yang bisa saja mereka berpendidikan
lebih rendah,” Ros juga bergumam.
“Tapi alangkah banyaknya takdir yang di luar
perkiraan, kenyataan yang jauh dari harapan?”
“Itu sebabnya kita harus berfikir alternatif lain,
agar mental kita siap dengan takdir yang tidak sesuai dengan harapan.” Ros
menjelaskan.
“Jadi kita juga harus berfikir akan kemungkinan
menikah dengan bukan ikhwan?”tanyaku dengan perasaan ragu dan khawatir.
“Ya!” Ros menjawab tegas.
Obrolan hari itu menyisakan ketidak pastian dalam
diriku, lebih tepatnya kebimbangan. Dan ternyata aku tidak sendiri, hampir
semua teman teman seangkatan apalagi kakak tingkat.
Aku tahu, masalah itu juga didiskusikan oleh
kalangan ikhwan setelah tulisanku di muat di majalah Sabili tahun 1990, karena
salah seorang ikhwan adik angkatan menyampaikannya padaku. Mereka tidak tahu
kalau aku penulisnya karena menggunakan nama pena, jujur, aku belum siap dengan
reaksi mereka.
Memang itu tujuanku, apa yang kufikirkan dan yang menjadi
kebimbangan kami juga difikirkan para ikhwan.
No comments:
Post a Comment