Setelah
mendapat kepastian, istriku baik baik saja dan bisa ditinggal, aku segera
bergegas pulang untuk mengambil Hilmy, masih dengan mobil pakde, karena memang
anak pakde menunggu hasil pemeriksaan.
Sesampai
di rumah segera kusiapkan keperluannya, pakaian dan lain lainnya. Agak bingung
juga sih, apa apa saja yang dibutuhkan, tapi biarlah, kekurangannya besok
kuambil lagi setelah tanya istri, dan lagi tentunya di rumah bu Tarni ada
keperluan bayi, bukankah memang di sana klinik bersalin? Aku agak bingung
ketika mau menggendongnya, bisa sih, kemarin juga menggendong, tapikan hanya di
dalam rumah, sedang ini akan pergi lumayan jauh, malam menjelang dini hari,
angin kencang dan tentunya dingin sekali. Dimana selimut bayi yang tebal, yang
dipakai waktu pulang dari klinik bersalin ya? Ah, aku tidak menemukannya. Hmm,
ada handuk baru, lebar dan tebal hadiah dari salah satu orang tua santri TPA
tergeletak di sisi bantal, istriku belum sempat membereskan dan menyimpannya.
Kugunakan handuk tebal itu untuk membungkus Hilmy, beres.
Kugendong Hilmy dalam
dekapanku, melindunginya dari hawa dingin dan angin kencang.
Mengulang
perjalanan yang sama, tapi jauh berbeda yang kurasa. Perjalanan kali ini tak
begitu menegangkan, tak juga menakutkan, mengkhawatirkan. Aku bersyukur, Hilmy
tenang dalam gendonganku, anak pintar. Tadi kata mba Tus, Hilmy juga nggak
rewel, saat bangun, disusui dan tidur lagi, Alhamdulillah. Itu sangat membantu,
yang jelas aku akan sangat panik jika dia menangis, aku tak tahu cara
mendiamkannya, akukan tidak punya ASI, he he.
“Astaghfirullah!”
tiba tiba aku rasakan mobil berhenti mendadak,dan. . .masyaallah, di posisi
jalan sedang menanjak?
“Kenapa
mas?” tanyaku panik.
“Sepertinya
bensin habis, Bi.” Jawab anak pakde.
Mobil
dimundurkan untuk mencari posisi yang lebih aman, kemudian anak pakde keluar.
“Tunggu
dulu ya Bi, saya cari bensin dulu.”
“Di
mana mas nyarinya?”
“Saya
coba dulu di sekitar sini, mungkin ada warung yang masih buka.”
Aku
menunggu beberapa saat, sambil terus berdoa, mohon agar Hilmy jangan bangun
dulu, masih jauh.
Sambil berhitung, andainya aku jalan kaki, tapi kasihan
Hilmy, dingin dan angin terlalu kencang.
“Nggak
ada yang buka Bi, gimana ya?” anak pakde datang tanpa hasil.
Aku
berfikir keras, kupandang sekeliling, Alhamdulillah.
“Maaf
mas, itu ada telpon umum, mungkin bisa minta tolong pakde.”
“Oh,
ya. Telpon bapak, minta tolong bawakan bensin.” Anak pakde langsung menuju ke
telpon umum.
Hmmm, penantian diperpanjang, ya Allah, tolong lelapkan Hilmy
selama menunggu.
Aku
berunding dengan anak pakde, bagaimana caranya segera sampai tempat, kalau
menunggu pakde jelas lama, akhirnya diputuskan untuk mencari pertolongan,
tumpangan mobil yang lewat.
Aku
tetap di dalam mobil, sedang anak pakde menyetop setiap mobil yang lewat, sudah
beberapa yang lewat, tapi tak satupun yang mau berhenti. Kuputuskan turun
sambil menggendong Hilmy, ikut menyetop mobil yang lewat, dengan harapan ada
yang kasihan melihatku menggendong bayi. Aku tak tahu, berapa mobil yang telah
kami stop, tak satupun yang perduli. Aku sedih, tapi aku maklum, mungkin mereka
khawatir dan curiga, maklumlah hampir jam dua malam. Akhirnya aku harus
bersabar menunggu mobil pakde.
Hampir
dua jam kami terombang ambing dalam penantian, akhirnya pakde datang, langsung
mengantar aku dan Hilmy, sedang anak pakde menunggu mobil yang kehabisan bensin.
***
Bahagianya
mendengar suara suamiku datang, aku ingin bangkit, tapi belum kuat, aku ingin
segera memeluk bayiku. Baru beberapa jam saja aku berpisah dengannya, tapi aku
sangat kangen, aku segera memeluknya ketika suamiku mengulurkannya padaku.
Kupeluk dia yang sedang tenang tidur dalam balutan handuk tebal. Subhanallah.
Bu
Tarni menyarankan aku tidak menyusuinya dulu, sebelum kondisiku pulih, khawatir
mempengaruhi bayiku. Aku menurut, dalam kondisi seperti ini aku percayakan
semuanya pada bu Tarni, dia lebih tahu tentunya. Akhirnya bayiku di bawa
asistennya ke kamar lain untuk di rawat. Aku belum bisa melakukan apapun untuk
bayiku. Aku sedih, menangis, tapi berusaha untuk menerimanya, aku pasrahkan
semuanya pada Allah.
Keesokan
harinya, atas saran dokter, aku di bantu infus agar segera pulih, juga minum
beberapa obat untuk mengatasi demam dan berbagai keluhan yang menyertainya.
Apa
sebenarnya yang terjadi denganku?
Sampai saat ini aku tidak tahu pasti, tapi kemungkinan
besar disebabkan salah urus, he he he.
Sejak
menikah, kami memang mandiri, jauh dari orang tua. Ibuku datang ketika aku
sudah melahirkan, dan hanya bisa menemani tiga hari. Saat itu musim hujan,
cuaca dingin mempengaruhi bayi sering pipis, sehingga butuh sering ganti
pakaian. Saat itu kami mencuci manual, tidak ada pengering, sehingga proses
pengeringan cucian tergantung matahari. Melihat kondisi suami yang sibuk, aku
berusaha mencuci setiap ada popok dan baju bayi yang kotor, agar jangan sampai
kehabisan baju kering. Kondisi baru melahirkan, di tambah cuaca dingin dan
bolak balik ke air, membuat kondisi tubuhku semakin rentan, wajarlah kalau
kondisi itu memicu menurunnya daya tahan tubuh.
Walaupun
aku sudah mempersiapkan diri dengan banyak membaca tentang menyambut kelahiran
dan bagaimana merawat bayi, tapi tanpa pembimbing yang sudah berpengalaman dan
semua harus ditangani sendiri, membuat aku tak berdaya dan terpuruk dengan
kondisi yang tak sesuai dengan yang aku baca, ini pengalaman yang sangat
berharga untuk anak anak selanjutnya. Ini pengalaman pertamaku merawat bayi.
Pengalaman
pertama menjadi seorang ibu, benar benar pelajaran yang luar biasa, Alhamdulillah,
untuk 5 orang adik adiknya, kejadian itu tak terulang lagi. Setiap habis
melahirkan, aku selalu ingat pengalaman itu dan berusaha untuk menghindari penyebab
dari kejadian seperti itu.
***
Setiap mengingat peristiwa itu, syukur kehadirat Allah
selalu kupanjatkan, begitu besar karunia dan kemudahan yang diberikannya kepada
kami saat dalam kesulitan. Satu hal yang kami yakini, kemudahan kemudahan itu
tak lepas dari kehidupan kami sebagai guru ngaji dan pengurus masjid juga
pengurus kematian. Memang apa yang kami lakukan bukan profesi bonafid, tapi
dalam kondisi kesedihan, kematian anggota keluarga, profesi kami sangat
dibutuhkan dan tentunya sangat membekas, manusiawi sekali, ketika seseorang
merasa pernah ditolong maka akan sangat senang memberikan pertolongan kepada
orang yang pernah menolongnya.
***
No comments:
Post a Comment