Kamis malam. Anak anak sudah
tidur, kulongok Abi sedang membaca di tempat tidur, di kamar tengah. Ada dua kamar yang jadi tempat istirahat kami, kamar tengah biasa aku gunakan untuk tidur dengan si kecil, sedang Abi lebih sering di kamar depan. Untuk si bungsu aku terlambat menanamkan kemandirian, sehingga belum bisa memisahkan tidurnya dariku. Anehnya lagi, ketika malam terbangun dan melihat ada Abi, dia akan menangis dan meminta Abi pindah kamar, ha ha ha
Aku bergegas ke kamar mandi,
membersihkan diri, bersiap untuk tidur.
Melihat aku masuk kamar dan
menutup pintu, Abi meletakkan bukunya di meja kecil di sebelah tempat tidur
serta mencopot kacamatanya.
Kurebahkan tubuhku di
sampingnya. Tak ada reaksi, kulirik wajahnya, hmmm matanya terpejam, tapi aku
yakin belum tidur, lah baru beberapa menit.
“Bi. . .,”
“Hmmm.”
“Sudah ngantuk?”
“Belum.”
“Boleh nanya?” hhhh, jantungku
mulai berdegup agak keras.
“Ya?”
“Abi merasakan ada perubahan
sikap Umi nggak sebulan terakhir ini?”
“Maksud Umi?”
“Ya, Abi melihat Umi belakangan
ini ada perbedaan nggak, terutama dari sikap?”
“Mmm. . .ada nggak ya?”
jawabnya sambil tersenyum, aku semakin deg degan.
“Ada nggak Bi?”
“Kasih tau nggak ya...?” hmmm
benar benar menyiksa.
“Abiiiii?”
“Ada.” Jawaban itu membuatku
semakin tidak nyaman, kurasakan tubuhnya bergeser mendekat, kupejamkan mata,
berusaha pasrah, bersiap mendengar jawabannya. Terasa ada hembusan nafas di
telingaku, aku semakin merinding.
“Umi tambah romantis.”
bisiknya, aku kaget dengan jawabannya, tapi aku senang, reflek tanganku
mencubit pinggangnya.
“Auuu!” jeritnya, aku nyengir
kuda melihatnya kesakitan, rupanya cubitanku terlalu keras.
“Satu lagi, tambah genit!”
katanya sambil melotot lucu, ah senangnya. Langsung kurebahkan kepalaku di atas
dadanya, hmmmm. Lega rasanya.
***
Umi!
Ya, apa kabar Bib?
Badan semakin sehat, tidur agak lumayan, sudah ada
nyenyaknya, walau sebentar.
Gimana perasaan Habib terhadap Umi?
Maksudnya?
Sudahkah rasa cinta itu kau kikis?
Entahlah Mi, aku masih merasakan hal yang sama, nyaman
kalau berkomunikasi dengan Umi.
Kapan kau bisa hilangkan perasaan itu? Tentu menyiksa,
mengharapka seseorang yang tak mungkin kau miliki?
Tau
dirilah aku Mi?
nggak mungkinlah aku mau memaksa
Umi jadi milikku? Sementara sudah ada Abi di sisi Umi. Kalau toh nanti aku sudah beristri,Umi tetap aku butuhkan.
Koq gitu?
Memang
apa bedanya aku
dengan teman Umi yang lain? Bukannya teman Umi ada ribuan orang?
Tuh nggak masalah?
Umi jangan tinggalin aku. Kuingin Umi dampingiku tuk
selamanya
Ngomong opo tho
Biiiiiib? Kapan kau akhiri semua ini?
Owh
, aku sadari itu semua Umi.makanya mau ke tempat
Umi,
berobat dan insayallah ada pencerahan setelah itu.
Terimakasih kalau kau bisa selesaikan ini secepatnya.
Umi
jangan khawatir, aku bisa ngerti gimana perasaan Umi, makanya aku nggak bakal nunda nunda
tuk silaturahim
segera..
***
Umi, aku berangkat sekarang, inssyaallah empat stau lima
jam sampai tempat Umi.
Hati hati, barokallah.
***
“ Siang nanti ada agenda apa
Bi?”
“Ada jadwal khotbah Jum’at,
terus langsung jemput anak anak, kenapa?”
“Ada yang konfirmasi, siang ada
pasien akupunktur, laki laki, gimana? Nunggu Abi dulu atau langsung Umi
tangani?”
“Kalau Abi belum pulang,
langsung tangani aja, kan ada anak anak di rumah, takut kelamaan.”
***
Aku
tidak tahu, apa yang akan terjadi nanti, hanya menunggu. Seperti biasa, sebelum
pasien datang, aku persiapka ruangan dan perlengkapan yang akan kugunakan.
Kunyalakan pengharum ruangan, kupilihkan musik lembut therapi yang diakui
beberapa pasien menimbulkan sensasi rilex, sehingga mampu mengalihkan rasa
sakit yang muncul akibat akupunktur, terutama yang sebelumnya mempunyai rasa
takut dengan jarum.
Setelah sholat dzuhur, aku
sempatkan makan, sekaligus menyuapi si kecil sampai selesai, Habib datang.
Sendirian.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam, masuk!”
Kupersilahkan dia masuk ke
ruang praktek, pintu depan kubiarkan terbuka, juga pintu penghubung dengan
rumah induk.Kuupayakan sikapku sewajar mungkin, setenang mungkin.
“Duduk.”
“Maaf Mi, adek nggak jadi ikut,
ada kegiatan.”
“Ok, nggak apa apa.”
“Nggak susah kan cari alamat
Umi.”
Terdengar suara motor berhenti
di halaman rumah, aku bangkit.
“Abi pulang, tunggu sebentar
ya?”
Si kecil mendahului langkahku menuju ke pintu depan, begitu
ramainya menyambut kakak yang baru pulang, biasa, laporan kegiatannya di rumah.
Kuajak Abi ke kamar pasien,
mereka berkenalan. Kutinggalkan sebentar menyambut anak anak, lalu kembali ke
kamar praktek.
Abi berpamitan untuk makan
siang, setelah menawari Habib ikut makan, tetapi di tolak karena sudah makan
di warung diperjalanan tadi.
“Ayo, katanya banyak yang mau
dibicarakan,”
Habib hanya tersenyum, tanpa
menatapku, diarahkannya tatapannya ke arah pintu, sekali kali ke arah kesibukan
dua anakku yang kubiarkan bermain di ruang praktek, sekalian menemani.
Kutunggu tak ada suara,
akhirnya aku yang memulai.
“Umi koq rasanya belum percaya.
. .”
“Belum percaya apa? Buktinya
aku sudah ada di sini?”
Sepi, Habib diam, aku agak
bingung mau membicarakan apa, akhirnya.
“Jadi mau terapy? Nggak takut
jarum?”
“Jadi,” jawabnya lirih.
Abi masuk ruang praktek, minta
maaf pada Habib, tidak bisa menemani, berpamitan padaku, ada rapat mendadak di
assosiasi.
Kulanjutkan wawancara sekitar
penyakitnya, sampai kutentukan diagnosa yang mendekati sesuai dengan hasil
wawancara.
Ku arahkan Habib mengambil
posisi terapi di tempat yang sudah ku siapkan. Akupun bersiap diri, memakai
sarung tangan dan masker.
Ku raba bagian bagian tertentu
di tangan dan kakinya, kutekan tekan, dan kutanyakan apa yang dirasakannya,
sebagai penunjang hasil wawancara, untuk lebih meyakinkan dalam menentukan
tindakan terapi.
Aku tak tahu perasaannya,
tetapi aku perhatikan dari getar tubuhnya, bisa dipastikan dia tidak tenang,
aku tidak berani memeriksa detak jantungnya, pasti hasilnya tidak akurat, he he
he.
Aku sangat maklum, apabila yang
selama ini diakuinya padaku benar, sangat wajar kalau reaksi tubuhnya seperti
itu.
Kutangani sesuai prosedur
standar, seperti yang kulakukan pada pasien lainnya. Setelah selesai ku
tanamkan jarum pada titik titik terpilih, sambil menunggu proses terapi, Habib
kuajak bicara. Sebagai seorang terapis, aku terpaksa menatap pasien ketika
wawancara, untuk menghindari bias. Maka itu kuberlakukan juga terhadap Habib.
“Gimana pengajian pekanannya,
sudah jalankan?”
“Sudah, aku dikelompokkan
dengan teman teman yang sudah berumah tangga, aku sendiri yang belum menikah.”
“Ya pantaslah, memang
seharusnya begitu.”
“Kenapa memang seharusnya
begitu?”
“Memang tampangnya sudah tua,
pantes punya anak.”
Ah, dia memalinghkan wajahnya,
aku tersenyum. Nggak tahu, dia tersinggung atau tidak.
Akhirnya pembicaraan kuarahkan pada
pekerjaannya, tentang kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan pengajian
pekanannya.
Setelah semua kuanggap selesai,
koq nggak pamit juga?
“Mau sholat di sini?”
“Nanti saja cari
masjid.”
“Lansung pulang ke rumah?”
“Mau mampir ke tempat paman,
nginap di sana, kemalaman kalau ke rumah.”
Loh, koq nggak pamit pamit?
Gimana nih?
“Umi mau sholat, mau pulang jam
berapa?”
“Sekarang,” jawabnya lirih,
sambil berdiri dan berkemas. Lalu, duduk lagi, lho?
“Nyaman banget Mi,” Habib
memberanikan diri menyampaikan perasaannya.
“Keinginan Habib sudah
kesampaian, bertemu Umi, nggak penasaran lagi kan? Artinya setelah ini nggak
ada sms lagi?”
Habib langsung menghentikan
langkahnya yang sudah hampir mencapai pintu depan, dia membalikkan badannya.
Aku sempat kaget.
“Umi! Orang lain. . .”
“Ok.” Aku sudah tahu apa yang
akan dikatakannya.
***
Malam harinya, Habib sms
panjang, wah bukan sms lagi nih.
Umi. Kaulah orang paling baik yang pernah kukenal. Di
saat keterpurukanku kau hadir bagai cahaya.
Kau orang paling jujur yang pernah
ada dalam hidupku.
Di tengah beribu masalah yang kuhadapi, kau pemberi
semangat bagiku, tak tahu bagaimana bila saat itu aku tak mengenalmu.
Terima kasih kuucapkan padamu wahai Umi, selama kaki ini
masih berpijak, aku akan erusaha menjadi seperti yang kau harapkan.
Aku lega sudah bertemu denganmu dan melihat langsung
bagaimana kehidupanmu. Sejujurnya aku iri dan sangat cemburu dengan Abi,
manusia yang dalam pandanganku sangat sangat beruntung.Aku semakin ciut,
harapanku semakin terkubur. Tidaklah mungkin rasanya aku memilikimu.Biarlah
harap ini ku pendam dalam dalam, aku terima semua ini, walaupun berat, aku akan
usahakan ikhlas dan ridho menerimanya. Sakit hati dan kecewa sudah sering aku
rasakan, tapi jangan khawatir, aku tidak akan mengambil langkah bodoh seperti
yang kemarin. Aku sudah mendapat bekal yang cukup darimu. Pesan pesan itu tak
akan kulupa, pesan yang telah menghidupkan kembali semangat hidupku,
mengembalikan pada tugas tugasku yang sudah kuabaikan. Jangan terlalu
mendesakku untuk segera mencari penggantimu, sekarang aku akan menunaikan dulu
tugasku sebagai pemimpin keluargaku, membantu ayahku mengarahkan dan
mengantarkan adik adikku yang masih perlu bimbingan dan biaya. Ini bukti
cintaku kepadamu, dan aku tidak pernah merasa bersalah mencintaimu, karena kau
memang layak untuk kucintai, mungkin oleh semua laki laki.Aku berharap Abi bisa
mencintai dan membahagiakanmu lebih dari kesanggupanku dan siapapun, karena kau
layak untuk mendapatkan itu.Terimakasih untuk semua kebahagiaan yang telah kau
berikan. Terimakasih untuk nasehat nasehat yang telah kau tanamkan dalam
sanubariku, semoga Allah selalu menjagamu, selalu memberikan kebahagiaan dunia
dan akherat, barokallah.
Airmataku menggenang, syukur
kupanjatkan kehadiratmu ya Rahman. Bimbing selalu dia dalam memperbaiki
kehidupannya, bantu dia untuk lebih kuat mengatasi masalah masalahnya.
Barokallah.
***
No comments:
Post a Comment