Saat ini aku bisa tersenyum lega dan haru, melihat hasil
perjuangan selama 22 tahun yang insyaallah masih akan berlanjut.
Aku ingat ketika kakek dan nenek almarhum memberikan
motivasi tahunan, maksudnya, ketika bertemu silaturahim lebaran, motivasi yang
selalu kutunggu dan tak pernah bosan aku mendengarnya walaupun di ulang ulang.
Kakek nenek mengatakan bahwa ketika seseorang bertemu
kembali setelah sekian lama berpisah, yang selalu ditanya adalah anak, berapa
anakmu? Bukan berapa rumahmu, berapa mobilmu, berapa kambingmu, berapa
kucingmu? He he he
Kadang memang aku merasa agak gimanaaa gitu, ketika acara
rutin lebaran. Bagaimana aku melihat perkembangan ekonomi saudara saudaraku
yang nampak begitu pesat, karir meningkat, jabatan terus naik, sedangkan kami ?
perkembangan pesat kami ada di jumlah anak! He he he.
Dalam keluarga besar, kamilah
yang anaknya paling banyak.
Dulu, ketika anak anak masih kecil, aku sering stress ketika
pulang kampung, masalahnya . . .ya itu tadi, rombongan paling besar. Kan
kasihan yang dikunjungi? Kadang kadang kursi yang tersedia tidak mencukupi,
akhirnya gelar gelaran, apalagi kalau sudah ada acara bermalam wah! Tambah
stres. Alhamdulillah suamiku bisa mengimbangi, dia sering menghiburku,” Nggak
apa apa My, kan setahun sekali.” He he he
Tapi kini aku senyum senyum
sendiri kalau mengingat itu semua.
Kakek benar, dibandingkan yang lain, anak
anak lebih layak untuk diceritakan, apalagi dengan anugerah yang telah Allah
berikan kepada kami, anak anak yang membanggakan, membahagiakan.
Mau tahu berapa anak kami? Enam !
he he he.
Dari enam orang anak, masing
masing mempunyai hal positif yang dapat kami jadikan inspirator bagi orang
lain, terutama keluarga muda ( he he he ngaku sudah tua nih).
Anak pertama kami, laki laki, Alhamdulillah berpredikat syahid, meninggal ketika dilahirkan.
Anak kedua dan ketiga, bebas dari
hisab karena abortus.
Anak keempat, laki laki, yang sekarang jadi sulung, Alhamdulillah
hafizh Al Quran usia 15 tahun, tangkas mengambil keputusan, berani ambil resiko
dan menentukan masa depannya sedini mungkin. Usia 16 tahun sudah berpenghasilan
dan berani ambil kreditan motor,( he he he kredit bangga), pandai bergaul dan
disukai banyak orang, dll yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Anak kelima, laki laki, yang sekarang menempati posisi anak
kedua, usia belum 15 tahun hafizh Al Quran, usia 16 tahun mendapat beasiswa
belajar di Turki. Beberapa kali menjadi imam tarawih 1juz/ malam, piala dan
medali berjajar hasil prestasinya dalam event MTQ dan MHQ . Anak yang khusyu,
tawadhu, sedikit lebay kalau dekat Umy he he he.
Anak ke enam, sekarang jadi anak ketiga, perempuan, manis,
he he, he, pemberani, kadang galak. Usia 13 tahun sudah menghafal 15 juz, mau
belajar masak dan urusan rumah.
Anak ke tujuh, perempuan, 11 tahun, sedang berusaha
mendapatkan hafalan 2 juz, tekun, sudah bisa buat ayam goreng dan berbagai
masakan sederhana, dengan syarat Umy mau mendiktekan bagaimana caranya, telaten
momong 2 adiknya.
Anak ke delapan, perempuan, 8 tahun, ya baru mulai menghafal
juz 30, lincah, mudah dimintai tolong ke warung, mau dititipi adiknya kalau Umy
ngisi pengajian.
Treng treng ini dia, yang terakhir( insyaallah), laki laki,
hampir 4 tahun, yang kadang kadang buat Umy melotot lucu karena suka teriak
cari perhatian kalau lihat Umy sedang asyik di depan komputer, cemburu gitu.
Kalau punya mau hhhhh! Greget deh! Tapi itu ciri ciri anak yang teguh
pendirian, alias ngototttt.
Kelelahan,stress, banting tulang, kejengkelan, semua sirna
terhapus senyum manisku bila mengingat mereka, qurrota’ayunku. Subhanallah,
begitu besar karunia yang telah Kau anugerahkan kepada kami yaa Rahman.
Ah jadi ingat 22 tahun lalu, ketika aku menerima pinangan
calon suamiku. Siapa dia? Dia bukan orang istimewa dihabitatnya he he he,
bintang kampus bukan, bintang basket bukan,bintang dilangit juga bukan.
Mengapa aku mau menerimanya, sedang dia tidak tampan, tidak
atletis, tidak berharta, tidak populer?
Hanya satu alasanku! Karena aku ingin mewujudkan doa doaku sebelumnya.
Satu doaku sebelum kutemukan jodohku,” Ya Allah, jadikan
orang yang pertama melamarku adalah jodohku, yang terbaik untukku.”
Koq yakin banget?
Yap, Allah berjanji akan mengabulkan doa hambaNya yang meminta. Aku
minta kebaikan, masa ya nggak dikabulkan?
Aku bukan penganut sholat istikhoroh
untuk urusan jodoh! Hai! Bukankah sunnahnya begitu? Yaaa tapi kan nggak wajib?
He he he, aku takut salah menerima petunjuk dengan sholat istikhoroh, kalau
calon itu sudah datang.
Selain itu, yang membuat aku yakin adalah, lingkungan
pergaulannya, yang merekomendasikannya.
Satu lagi kenangan manis yang tak terlupakan, ketika ditanya
mahar apa yang ku inginkan, jawabku, apa saja selain uang, lho? Maksudku mau
ngetes, mau lihat, nih orang mau kasih apa ya?
Alhamdulillah, aku tidak kecewa, ternyata maharnya....?
Ingin tahu saudara saudara?
Ck ck ck, memang jodoh! Sudah lama aku menginginkan
barang itu, kasih tau nggak yaaa?
Buku Terjemah Tarbiyatul Aulad karya Abdullah nashih Ulwan,
dua jilid!
Hanya itu?
Ya, hanya itu!
Nggak kecewa?
Sama sekali tidak. Dengan
buku itu aku merasa satu gelombang, kami belum pernah bicara sebelum
akad nikah, tetapi mahar itu telah menyelaraskan gelombang, kami satu visi misi
dalam membentuk rumah tangga ini, membangun generasi Robbani. Aku optimis, tanpa keraguan.
Eh ada yang penasaran?
Ya.. apa yang mau ditanya?
Umur?
Ooo
aku menikah pada umur hampir 26 tahun, sedang suamiku 23 tahun, eh... daun
muda?
Masalah buat lo? He he he.
Suamiku memang lebih muda, pendidikan juga saat menikah
lebih tinggi aku. Dia lulusan D3 sedang aku S1, mungkin banyak suara lebah
mengiringi pernikahan kami, tapi ya biar saja. Orang bebas menilai,
memprediksi bagaimana hubungan kami
kedepan dengan keadaan ini, eh lama lama lupa juga, ternyata mereka juga tidak
menanyakan langsung ke kami tentang itu.
Selanjutnya aku memutuskan untuk tidak bekerja di luar rumah
yang mengikat.
Keluarga menyayangkan, aku yang berpendidikan tinggi, sudah
menghabiskan banyak biaya untuk kuliah, koq tidak bekerja?
Tidak mau melamar
PNS? Atau kerja di perusahaan besar?
Malah memilih mendampingi suami membina
Taman Pendidikan Alquran sambil bisnis serabutan untuk makan sehari hari.
Aku
tidak banyak membantah atau berargumentasi, yang penting aku dapat memberi
pengertian ibuku tentang keputusanku dan mohon ridhonya.
Aku juga tidak
menunjukkan kesusahan dan kesulitan hidupku. Kami berusaha semandiri mungkin.
Alhamdulillah, 22 tahun kami membuktikan, bahwa keputusan
kami tidak salah.
Sekarang kami menerima
banyak pengakuan tentang rasa iri mereka teradap keluarga kami.
Pelukan haru
dan pandangan berkaca kaca sering kami saksikan ketika kami bersilaturahim
dengan sesepuh yang sering kami minta doanya, mereka ikut bahagia.
Kini mereka
minta doa kepada kami agar anak anaknya bisa mencontoh perjalanan kehidupan
keluarga kami.
Apakah begitu mulusnya perjalanan kami?
Ah, ada ada saja! Ya nggak mungkin, sunnatullahnya, bersama
kesulitan itu ada kemudahan, logikanya, ketika ada kemudahan berarti bersamanya
ada kesulitan, ah sama ajah, di bolak balik, intinya, untuk mendapatkan hasil
seperti di atas, anugerah seperti di atas, wajarlah kalau butuh perjuangan yang
bukan biasa biasa. Untuk hasil yang baik, tentu dibutuhkan kerja keras yang
sungguh sungguh, itu rumusnya.
Kami manusia, yang kadang kala berharap terlalu besar,
kecewa, takut, khawatir, sedih, lelah, bosan, marah, mengeluh.
Tapi kami juga manusia yang berfikir, berusaha bersabar,
bersyukur, memandang segala sesuatu dari sisi positifnya, dan yang terpenting,
kami mempunyai tempat untuk bersandar, berharap, berpasrah, minta tolong, minta
kekuatan dan bergantung, dialah Allah, yang ketika berharap hanya kepadaNya
manusia tidak akan kecewa.
Apapun yang kami
lakukan, itu atas izinNya. Apapun yang kami hasilkan, itu karena karuniaNya,
jadi wajar kalau segala syukur dan puji kami kembalikan kepadaNya.
Subhanallah, Alhamdulillah.
Semoga Allah senantiasa merberkahi keluarga besarnya Mak Neny dan suami.. amiiiin... :)
ReplyDeleteamin, barokallah
ReplyDelete