Thursday, August 13, 2015

Memilih Sikap

"Umi, nggak mau, kuenya nggak enak," kata Harish, sambil menyerahkan sepotong penganan yang sudah digigitnya.

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya?

Bagaimana juga perasaan teman saya yang menyuguhkan kue buatannya dengan perasaan bangga?

Tapi hal ltu masih bisa dimaklumi, karena Harish barusia lima tahun.

Bagaimana jika hal itu dilakukan oleh orang dewasa?

Masih bisakah dimaklumi? Ataukah sipelaku langsung dijuluki tidak sopan, tidak tahu etika atau bahkan dikatakan menghina? Bukankah dia jujur, mengatakan apa adanya?

Salah satu ciri anak-anak adalah spontan, walaupun belum ada kesepakatan batasan, usia berapa masih  bisa dikatakan spontan atau sudah dikategorikan tidak sopan.

Inilah dunia kita, ambigu! Untuk hal yang sama, memiliki standar nilai yang berbeda.

Di sinilah peran bahasa, pemilihan redaksi kalimat.

Sebagai orang dewasa, ada beberapa pilihan sikap saat menghadapi situasi seperti di atas:
1. Mengatakan apa adanya seperti anak usia lima tahun.
2. Terus memakan kue itu, walaupun tidak enak dilidah, tapi tidak berbahaya, sebagai bentuk penghargaan dan sopan santun pergaulan.
3. Menanyakan resep dan cara pembuatannya, sehingga tahu di mana letak kesalahannya dan memberi saran dengan cara sopan.
4. Meletakkan kue itu sebagai bahasa tubuh bahwa kita tidak suka tanpa komentar apapun.

Setiap pilihan sikap bisa dipastikan memberikan dampak psikologis untuk teman kita itu.

Sikap mana yang akan kita pilih? Tentu disesuaikan dengan tingkat kedekatan pertemanan dan dampak apa yang kita harapkan.

Biasanya, kita akan memilih sikap seperti sikap orang lain yang kita harapkan jika kita dalam posisi tersebut.

Seperti itulah yang kita hadapi dalam hidup, memilih sikap terhadap sikap orang lain. Memilih reaksi terhadap aksi orang lain. Dan di situlah nilai diri kita.

Nilai diri ditentukan apa reaksi kita terhadap aksi orang lain, bukan apa apa aksi orang lain terhadap diri kita.

Sebagai manusia dewasa kita lebih bisa mengendalikan diri sendiri daripada mengendalikan orang lain.

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk tidak bersikap yang membuat kita marah, tapi kita bisa memilih sikap tidak marah, seperti apapun sikap orang lain yang berusaha memancing kemarahan kita.

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk tidak bersikap menyebalkan, tapi kita bisa bersikap tidak sebal dengan mencoba memahami atau mengabaikan sikap orang lain yang sebenarnya sangat menyebalkan.

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk tidak mengumpat diri kita atau sebuah keadaan, tetapi kita bisa menahan diri untuk tidak balas mengumpat. Bahkan kita bisa memilih bahasa yang sangat halus tapi bisa menembus jantung seseorang yang memang layak mendapatkannya tanpa merendahkan diri sendiri dengan mengumbar umpatan.

Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk tidak menghina dan merendahkan diri kita, tapi kita bisa memilih kata yang sangat sopan yang bisa membuat orang yang layak mendapatkan penghinaan, merasa dirinya sangat hina dan rendah.

Untuk apa kita melakukan hal itu?

Agar kita tidak termasuk orang-orang yang menebarkan aura negatif di lingkungan. Cukuplah orang yang membutuhkan yang mendapatkannya.

No comments:

Post a Comment