Thursday, August 20, 2015

Bagaimana Menyalurkan Naluri Suka Kepada Lawan Jenis

Satu hal sangat berat bagi orang tua yang menemani perkembangan anaknya, yaitu saat usia remaja. Di masa remaja normal, ada hal yang tidak dapat dihindari, yaitu munculnya rasa suka kepada lawan jenis, walaupun saat umur berapa rasa itu muncul, tidak sama untuk semua orang.

Yang sekarang sudah dewasa atau sudah jadi orang tua, coba diingat-ingat, umur berapa pertama memiliki rasa suka yang khusus terhadap lawan jenis?

Haish! Kok malah senyum-senyum. Kenapa? Lucu? Apa manis-manis kecut, gitu? Masih terasa getarannya seperti apa? Hayoo, suka karena apanya.

Sudah mengingatnya? Apa masih mau nerusin senyum-senyumnya?

Etdah! Lama banget! Mau dilanjut nggak nih, bahasannya?

Oke, kita lanjut.

Kalau kita bicara ketertarikan kepada lawan jenis, ada hal yang sulit kita mengerti secara logika.

Kenapa si A tertariknya kepada si B? Bukan kepada yang lain?
Misalnya pun dicari-cari sebab atau alasannya, biasanya sangat subyektif.

"Nggak tau, deh. Aku kalau lihat senyumnya, rasanya gimanaaa, gitu. Seraya melayang terbang ke awan," celoteh seorang ABG saat menggambarkan cowok yang menarik hatinya.

Idih! Lebay banget, kan? Padahal, senyumnya biasa aja, tuh.

"Aku suka dia, hmmm. Cool, berwibawa, pokoknya terasa adem kalo deket dia, serasa ada yang melindungi."

"Kalau aku, mmm, suka tatapan matanya, iiih, gimana gitu. Aku merasa bagai princess di hadapan seorang pangeran."

Ha ha ha, nih cewek-cewek kalau kumpul.

Mungkin beda kalau cowok, ya?

Apa? Gemes, greget atau apa? Halah! Nggak mau ngaku, tengsin ya?

Oke, kita kembalikan ke masing-masing orang, seperti apa kenikmatannya. Yah! Kenikmatan fantasi. Lah, iya, tho? Sesuatu yang nggak nyata disebut fantasi?

Itu awal mula.

Tumbuh rasa suka kepada lawan jenis.

Sesuatu yang sifatnya naluri, bawaan lahir, setiap manusia normal mengalaminya. Dia tidak bisa ditiadakan begitu saja. Juga tidak ada larangannya.

Nah! Yang jadi masalah, apa kelanjutannya? Bagaimana penyalurannya? Atau menunda kedatangannya?

Oke, kita hitung-hitungan umur.

Mulai usia berapa rasa itu muncul?

Bukan mengabaikan yang lebih muda, tapi kita ambil dari usia 13 tahun, rata-rata usia kelas 1 SMP sampai lulus SMA. Kurang lebihnya bisa disesuaikan.

Pertanyaannya, setelah menyukai seseorang, punya target umur berapa mau nikah?

Lho? Kok nikah?

Lha iyalah, memang mau kemana arahnya kalau nggak ada rencana nikah?

Ibarat suka kepada seseorang itu mimpi, maka menikah atau tidak menikah dengannya adalah perwujudan dari impian saat bangun tidur.

Mau mimpi terus? Hellow! Waktu terus berjalan, jangan lama-lama di dunia mimpi, segera bangun.

Trus gimana, dong? Kan rasa itu nggak bisa dicegah untuk muncul?

Benar! Nggak bisa dicegah, tapi bisa diminimalisir.

Semakin luas pergaulan, semakin banyak pertemanan, semakin intens komunikasi, ditambah kurang padatnya kesibukan pikiran, maka munculnya akan semakin cepat.

Ketika rasa itu sudah muncul, mau tidak mau berfikir, so, what? Apalagi?

Kalau jaman dulu, saat budaya malu masih mendominasi masyarakat kita, kelanjutan dari rasa suka itu hanya dipendam sendiri. Malu ketahuan orang lain, apalagi kalau terhitung masih kecil. Takut dibilang kegenitan. Ada juga yang mencuri-curi pandang, mengikuti berita tentangnya dari obrolan teman, atau, kalau cowok yang terhitung berani, dia tulis surat, menyampaikan perasaannya.

Bagaimana zaman sekarang?

Era keterbukaan, tak ada lagi yang tabu, semua hal bisa diakses oleh siapapun, semua umur.

Menyedihkan, memang! Tapi, adakah gunanya mengeluh?

Lebih baik kita fikirkan, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu para remaja ini, agar dapat melewati masa remajanya dengan selamat.

Baiklah, kita mulai dari bagaimana rambu-rambu agama tentang hal ini.

Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami,"Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yang telah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. (HR Muttafaqun `alaih.)

1. Menikah, jika sudah mampu.

Mampu ini relatif, tapi yang pasti sudah baligh. Mampu melaksanakan hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.

Sayangnya, perbedaan waktu antara munculnya rasa suka dengan kemampuan seseorang untuk menikah itu relatif lama, sehingga ada masa tunggu yang tentunya membuat tidak nyaman, mengganggu bahkan bisa jadi menyiksa bathin.

2. Puasa, adalah syariat yang bertujuan meningkatkan kemampuan menahan diri. Bukankah puasa itu sebuah upaya menahan diri dari keinginan makan, minum dll kebutuhan manusia? Harapannya, dengan memperbanyak puasa, daya tahan memperturutkan keinginan dan gejolak perasaannya dapat diredam.

Selesai masalah?

Ya, bagi yang segera menikah atau rajin berpuasa, bagaimana dengan yang lain? Bagaimana solusinya? Sedang Rasulullah Saw. Bersabda:

Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan zinanya hati adalah  berangan-angan dan berhasrat, namun kemaluanlah yang (menjadi penentu untuk) membenarkan hal itu atau mendustakannya.” (H.R.Muslim)

Apakah berdosa?

(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari Lamam -kesalahan-kesalahan kecil- (An-Najm : 32)

Dari Ibnu Abbas dia berkata; ‘Saya tidak mengetahui  sesuatu yang paling dekat dengan makna Lamam (dosa dosa kecil) selain dari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam: “Sesungguhnya Allah. . . (Hadits di atas).

Bagaimana untuk mengatasinya?

Beberapa yang bisa dilakukan :

1. Hindari berinteraksi dan berangan-angan tentangnya. Sibukkan diri dan fikiran dengan aktivitas positif, sehingga tidak ada kesempatan memikirkan dia.

2. Jangan nyatakan perasaan itu padanya, untuk apa, coba? Ketika kedua belah pihak saling tahu, berarti membuka kesempatan untuk menumbuh suburkan perasaan itu bersama-sama.

3. Perbanyak istighfar, karena tidak bisa menghindari zina mata, lisan dan hati. Benar, hanya dosa kecil, tapi kalau terus-terusan dilakukan tanpa dikurangi dengan permohonan ampun, ya bisa jadi besar juga. Seorang ulama mengingatkan, bukan masalah besar kecilnya dosa itu, tetapi kepada siapa kita berbuat dosa.



No comments:

Post a Comment