Wednesday, April 1, 2015

Buku Terbit, Bukti Konsistensi ?

Adakah penulis instan? Sekali menulis langsung bagus? Disukai pembaca?

Mungkin ada, tapi sangat jarang terjadi.

Kebanyakan penulis yang hasil karyanya banyak disukai pembaca, biasanya orang yang konsisten dengan dunia pilihannya, dunia kepenulisan.

Berbagai tujuan dari pemilihan dunia ini.

Ada yang menulis karena hobi, senang melakukannya dan puas melihat karyanya.

Ada juga memiliki tujuan komersial dan popularitas, atau sosial.

Ada yang idealis, menulis untuk melestarikan suatu bidang keilmuan, ingin menyebarkan lebih banyak kemanfaatan, bahkan menulis diniatkan sebagai bentuk andil dalam dakwah.

Begitu banyak orang yang ingin jadi penulis, mengingat efektivitasnya dalam menyampaikan pesan. Tetapi sunatullah, tidak semua yang punya keinginan berarti konsisten dalam mewujudkannya.

Banyak cara diambil untuk memulai aktivitas kepenulisan itu. Seperti membiasakan diri dengan menulis diary, membuat status di facebook, membuat postingan di grup kepenulisan. Ada yang mencoba merambah media cetak, tapi ada yang setia dengan blognya.

Sampai tahap ini, konsistensi bisa dilihat. Ada yang berhenti karena merasa kurang apresiasi dari pembaca, ada yang terus melakukannya terus walau tergantung mood, tapi ada yang konsisten dengan aktivitasnya.

Setiap penulis mempunyai ukuran untuk menilai tingkat konsistensi dan komitmennya.

Ada yang cukup puas dengan terus menulis setiap hari, ada yang gigih untuk tembus media, ada yang mencukupkan diri sebagai kontributor antologi  , yang penting namanya sudah tercantum di sebuah buku.

Ada yang mengharuskan diri memiliki buku terbit solo,walau diterbitkan sendiri,  ada juga yang mewajibkan diri menerbitkan buku solo dengan penerbit mayor.

Nah, keren banget kalau sampai jadi penulis langganan best seller.

Begitu juga dengan saya, yang merasa sangat terlambat memasuki dunia ini, walau sadar, potensi itu ada dalam diri. Sayang, terlalu banyak excuse.

Saya memulai menulis dalam artian mencoba untuk serius, saat diberi kesempatan memiliki sarana pendukung. Diawali dengan membuka akun facebook menjelang akhir tahun 2012. dengan niat yang jelas, membuka akses ke pembaca.

Hampir setahun membuat status-status singkat yang mengandung pesan, walau tidak rutin, karena masih adaptasi dengan sarana. Berulang kali tidak bisa update karena berbagai sebab, dari urusan gangguan jaringan, pulsa telat ngisi, coba-coba yang membuat akun kacau, tidak bisa dibuka, dsb.

Setahun kemudian, sebagaimana akun fb, saya dibuatkan blog oleh anak sulung. Dengan komitmen blogging setiap hari, walaupun kadang-kadang tidak sesuai target karena kesibukan. Sebulan kemudian, bergabung ke beberapa grup kepenulisan online, dengan tujuan meningkatkan kualitas tulisan. Sharing dengan orang-orang yang minatnya sama, membuat belajar tidak terasa berat, bahkan merasa sedang bersenang-senang.

Sepuluh antologi menjadi bukti, bahwa saya konsisten dalam kepenulisan. Baik melalui event atau sekedar mengikuti ajakan untuk membuat antologi. Hanya sepuluh, karena saya ingin menulis apa yang sesuai dengan tujuan nyemplung ke dunia ini. Antologi tentu saja harus mengikuti ide sipemrakarsa.

Saya belum puas dan ingin meningkatkan pencapaian itu dengan menerbitkan buku solo, walaupun diterbitkan dengan biaya sendiri.

Mungkin ada yang melecehkan,"Mau-maunya, sudah cape-cape nulis, masih membiayai sendiri."

Nggak apa-apa, semua orang punya pendapat. Dan saya, dengan menerbitkan buku, itu cara untuk menghargai karya sendiri. Untuk apa menulis bagus, kalau hanya dibaca-baca sendiri?

Kok tidak penerbit mayor? Kan tidak harus mengeluarkan uang untuk modal?

Aha ha ha, saya mengukur diri. Seberapa kekuatan saya untuk bersaing, tembus penerbit mayor.

Nggak berani bersaing? Karena karyanya belum berkualitas?

Mungkin, tapi lebih pada pertimbangan waktu.

Ingin buku diterbitkan mayor, berarti siap memenuhi kriteria dan standar penerbit. Kemudian menunggu waktu pertimbangan, di acc atau ditolak. Selanjutnya masuk daftar antri terbit. Ups! Sok tahu! Seperti yang pernah mengajukan naskah ke penerbit mayor? Setidaknya, itu informasi yang pernah saya dapat.

Mengapa buku solo yang jadi ukuran?

Untuk membuat cerpen, atau status, tentu tidak butuh waktu lama. Tapi untuk sebuah buku?
Seorang sarjana tentu pernah merasakan itu, saat membuat skripsi atau tesis.

Saya tahu, salah satu kejelekan yang ada pada diri adalah sifat gampang bosan jika melakukan aktivitas yang sama dalam jangka waktu lama. Dan saya membayangkan, betapa membosankannya menulis sebuah novel yang tebal.

Untuk melatih diri, saya buat buku solo perdana ini dengan model kumpulan tulisan yang setiap judul beda tema.Sehingga mengerjakannya bisa terputus-putus, tapi jika disatukan bisa membentuk satu tema besar. Saya sedang menguji dan membiasakan diri untuk bisa sedikit-sedikit mengurangi sifat cepat bosan ini.

Cukup satu buku?

Oo, tentu tidak. Satu buku ini sebagai langkah awal dan akan terus terlahir buku-buku berikutnya, selama umur masih ada, insyaallah.
.

2 comments: