Wednesday, April 29, 2015

Mencela Pelaku Kemaksiatan

Tidak semua orang mengambil sikap mencela kemaksiatan yang terjadi atau dilakukan orang lain.

Bukan masalah tidak berani.

Bukan pula karena tidak membenci kemaksiatan itu atau bahkan merestuinya.

Tapi semata-mata karena pilihan cara.

Banyak orang yang dengan tegasnya membicarakan kemungkaran dengan celaan terhadap pelakunya. Tanpa pikir panjang apa dampaknya kepada sipelaku kemungkaran, pendengar celaan atau terhadap dirinya sekalipun.

Akibatnya?

Bisa jadi sipelaku merasa dipermalukan, dendam dan berusaha mencari celah keburukan sipencela untuk suatu saat akan dibalasnya. Atau mungkin tertampar dan sadar, kemudian berhenti dan bertaubat melakukan kemaksiatan itu, kemudian memulai lembaran baru dalam kehidupannya. Tapi mungkin juga justru akan membuat sipelaku terpuruk karena merasa dirinya jadi manusia yang buruk dan tidak berguna, menjauh dari pergaulan karena takut mendapat celaan dari orang lain.

Bagi pendengar, mungkin langsung berpihak pada sipencela, tapi bisa jadi justru dia memberi penilaian negatif atau membandingkan sipencela dan yang dicela. Benarkah sipencela lebih baik dari yang dicela?

Bagaimana akibat terhadap sipencela?
Yang pasti, dia sudah membuat batas dengan yang dicela. Dia berhasil menanamkan bibit permusuhan dalam hati yang dicela. Bersyukurlah jika yang dicela termasuk orang yang lapang dada dan pemaaf, tapi, bagaimana jika sebaliknya?

Sebenarnya, bagaimana tuntunan Rasulullah Saw.dalam menyikapi kemaksiatan?

Dari Abu Sa’id Al Khudri ra : ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya, dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim)
Pertama yang harus dilakukan adalah mengubah dengan tangan. Mayoritas pendapat mengatakan yang dimaksud dengan tangan adalah kekuasaan atau wewenang. Bagi yang punya kemampuan, baik itu kekuasaan, jabatan, ketokohan atau hartanya mampu mengubah kondisi kemungkaran/ kemaksiatan ydengan apa yang ada pada dirinya. Bisa dengan membuat peraturan/ undang-undang atau mengupayakan bagaimana caranya agar kemungkaran itu dihentikan. Misal, seorang ketua RT bisa mengajak warganya untuk bersama-sama mengatasi kemungkaran di wilayahnya. Orang tua bisa memberlakukan peraturan tertentu di keluarganya, apalagi seorang pemimpin negara, tentu peluangnya untuk memberantas kemungkaran jauh lebih besar.

Yang kedua mengubah dengan lisan.
Di sinilah tema yang sedang kita bicarakan. Sebagai apapun, kita bisa mengambil porsi ini sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Lisan mungkin bisa diperluas juga ke ranah tulisan, ucapan yang dituliskan. Intinya adalah mempengaruhi orang untuk meninggalkan kemaksiatan atau kemungkaran.
Kita bisa memilih cara komunikasi, dengan bahasa halus atau kasar, membujuk atau menghardik, menghimbau atau memerintah, menasihati atau mencela,memberi saran atau mengkritik.

Setiap pilihan, tentu ada konskuensinya. Setiap pelaku kemaksiatan juga mempunyai karakter yang berbeda. Hanya saja yang perlu menjadi pertimbangan saat kita dalam posisi orang yang mengubah kemungkaran dengan lisan atau tulisan adalah:
1. Sudahkah kita memahami dengan baik permasalahannya?
2. Yakinkah bahwa kita tidak termasuk pelaku atau terlibat dalam kemaksiatan itu?
3. Bisakah dijamin, nantinya kita atau keluarga atau orang-orang dekat kita terhindar dari perilaku kemungkaran tersebut? Khawatirnya Allah menguji kita dengan hal seperti itu.

Saat kita mencela, bisa jadi suatu saat kita juga akan dicela, mungkin dengan yang lebih keras lagi, saat tidak bisa menghindari situasi atau terjebak dalam sebuah kemungkaran.

Jika kita memilih ucapan/ kata-kata yang santun dalam mengingatkan, sepertinya akan lebih baik, setidaknya kita terhindar dari keburukan perbuatan mencela.

Cara ketiga adalah menolak dengan hati, tanpa melakukan tindakan nyata, maka kita harus rela digolongkan orang-orang yang lemah iman.





2 comments:

  1. Yaa semestinya menyampaikan kebaikan itu dengan cara yang baik juga. Amar ma'ruf bil ma'ruf, nahi munkar bil ma'ruf... Begitu ya, Mi??

    ReplyDelete
  2. Sepertinya begitu, tapi bisa jadi orang punya pertimbangan lain, misalnya kalau nggak setajam silet maka ucapannya nggak ngaruh, ya kembali kepada pilihan masing2, karena semua toh akan dimintai pertanggung jawaban.

    ReplyDelete