Friday, March 20, 2015

Bagaimana Mengapresiasi Sebuah Prestasi?

Apa nilai sebuah piala?

Kebanggaan, mungkin!

Wajar sih, karena piala menunjukkan peringkat terbaik untuk seseorang di suatu bidang.

Piala dijadikan sebagai bentuk apresiasi bagi sebuah prestasi. Biasanya akan didapatkan setelah mengikuti sebuah kompetisi.

Mari kita bandingkan, bentuk apresiasi dulu dan kini.

Tahun 80an, apresiasi untuk siswa SLTP dengan peringkat terbaik, ranking 1 dari seluruh kelas 1 yang berjumlah 7 kelas, masing-masing kelas berjumlah 40 sd 50 orang, berupa buku tulis setengah lusin!
Jadi siswa terbaik dari 300an siswa hadiahnya buku tulis sebanyak enam eksemplar.

Itu sangat membahagiakan sianak, membanggakan orang tua. Tapi wujud apresiasinya nggak bisa dilihat orang lain, lha iya, buku setengah lusin dipakai untuk belajar satu semester berikutnya.


Bandingkan dengan siswa sekarang!

Untuk mendapatkan sebuah piala, hebatlah di satu pelajaran! Untuk siswa dengan nilai terbaik di satu pelajaran, di sebuah kelas yang siswanya kurang dari 30 orang, disiapkan sebuah piala.

Bahkan pernah terjadi, siswa satu kelas hampir seluruhnya mendapat piala. Bagaimana tidak? Setiap mata pelajaran dipilih terbaik 1 sampai 3, belum lagi untuk bakat tertentu. Ada satu anak yang mendapatkan lebih dari satu piala, karena terbaik untuk beberapa mata pelajaran.

Semoga ini tidak berefek pada sekedar pencitraan. Khawatir, ketika anak merasa hebat di komunitas kecilnya, saat ke luar lingkungannya dia merasa bukan apa-apa.

Atau justru semakin lama nilai piala itu menurun bahkan merosot, karena begitu mudahnya mendapatkan.

Saya pernah bertemu dan mendengarkan serta terlibat diskusi di tahun 90an, dengan salah satu tokoh pendidik Indonesia, Ibu Nibras OR Salim.

Saya sangat terkesan dengan salah satu konsepnya, bagaimana beliau tidak mau mengapresiasi prestasi anak dengan sesuatu yang berwujud materi. Anak selalu diarahkan pada apresiasi "supaya disayang Allah" dengan varian ungkapannya, yang intinya mengajarkan anak agar melakukan sesuatu dengan orientasi penilaian Allah.

Bukankah ini sebuah konsep yang hebat? Melatih anak untuk ikhlas, berprestasi karena Allah? Mengharap imbalan hanya dari Allah?

Subhanallah!

Sangat tidak mudah mendidik anak di zaman ini dengan konsep seperti itu. Di zaman yang cenderung materialis, segala sasuatu divisualkan, ukuran prestasi berdasarkan hitungan matematis manusia.

Ini sebuah tantangan bagi orang tua dan pendidik. Jangan sampai kita tertipu dengan berbagai jenis bentuk apresiasi yang nampak, lalu melupakan hakekat prestasi itu sendiri.

No comments:

Post a Comment