Tuesday, November 4, 2014

Akhir Perjalanan

Dengan takut-takut dan jantung berdebar kencang, Ely memasuki halaman rumah yang sangat megah itu. Disambut gemericik air mancur yang tak pernah berhenti mengucur serta kicauan beberapa jenis burung dari sangkarnya.

Sebelum memencet bel, Ely menarik nafas dalam berulang kali, berusaha menenangkan perasaannya. Seorang pembantu membukakan pintu untuknya.

"Di tunggu Bapak di ruang makan, Bu," katanya setelah menyilahkan Ely masuk.

***
"Langsung ke inti masalah, Abang ada waktu sepuluh menit sambil sarapan!"

Ely memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Dia sampaikan tujuan kedatangannya kepada kakak sulungnya itu. Dia tahu, kakaknya sangat sibuk dengan beberapa perusahaannya, makanya dia rela berpagi-pagi meninggalkan anak-anak di rumah untuk menemui abangnya setelah kemarin janjian.

"Kamu tahu kan, Abang nggak tertarik dengan hal-hal seperti itu? Hari ini akan ada meeting untuk membahas rencana menambah investasi, jadi Abang nggak bisa bantu proyek itu. Abang pergi dulu,"

Lelaki gagah itu mengecup kening istrinya, dan pergi meninggalkan Ely

"Makan dulu, Ly," kata kakak iparnya, setelah mengantar suaminya di pintu depan.

"Terima kasih Kak, Ely buru-buru, kasihan anak-anak di rumah."

***

Ely mendapat amanah tanah wakaf dan dana dari ibunya untuk mendirikan pondok pesantren. Bersama teman-temannya yang aktif dalam dakwah, Ely berhasil memulai pembangunan pondok itu. Sayang, sebelum siap digunakan, ibunya jatuh sakit, padahal beliau ingin sekali melihat aktivitas belajar di pondok itu, sebelum tutup usianya.

Ely berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan keinginan ibunya. Berbagai cara dilakukannya untuk mencari tambahan dana. Semua teman yang ada kemungkinan bisa membantu, sudah dihubunginya, tapi tetap saja belum mencukupi. Hitung-hitungan untuk menjadikan bangunan bisa dipakai sekedarnya, butuh sekitar lima puluh juta rupiah. Dia pikir uang senilai itu tidak terlalu sulit untuk abang sulungnya yang pengusaha dengan omzet milyaran. Tapi prediksinya meleset. Abangnya belum berubah, belum juga tergerak hatinya untuk memikirkan bekal kehidupan akhiratnya.

***

Seminggu setelah Ely menemui abangnya.

"Ely,...Abang..." terdengar suara kakak iparnya di telpon menahan tangis.

"Abang kenapa, Kak?"

"Abang...meninggal."

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun."

***

Beginikah akhirnya?

Abangnya meninggal karena serangan stroke. Diagnosa dokter, terjadi pecah pembuluh darah di otak. Tindakan operasi tidak bisa menyelamatkannya. Hartanya yang berlimpah tak bisa menyelamatkannya di dunia, sedang dia belum sempat menyiapkan keselamatannya di akhirat.

Hari esok benar-benar rahasia Allah, tiada yang tahu apa yang akan terjadi lima menit kemudian. Segalanya mudah bagi Allah. Tak ada lagi penyesalan bila batas kehidupan itu telah sampai.

Membuat target dalam hidup itu harus dilakukan agar hidup ini jelas arahnya, tapi perlu dipertimbangkan dengan jeli masalah waktu pencapaian target itu.

Kita harus berfikir, bahwa apapun target yang kita buat, semua tetap terbingkai dalam takdir Allah yang sangat rahasia sebelum terjadi.

Sertakan selalu target akhirat saat membuat target dunia. Terlalu banyak contoh kejadian yang bisa kita ambil pelajarannya.

4 comments:

  1. Keseharian kita dan mungkin kita juga termasuk di dalamnya ya Mbak, suka abai pada kehidupan akhirat.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu sebabnya kita harus saling mengingatkan, karena kita sering lupa

      Delete
  2. semua bisa terjadi yang sehat bisa saja meninggal dengan tiba-tiba .. tak ada yang tahu

    ReplyDelete
  3. Benar! Kita hanya bisa menyiapkan diri sebaik-baiknya

    ReplyDelete