Untuk membandingkan kualitas tulisan tiga belas tahun lalu dengan sekarang, sepertinya tidak ada salahnya ditayangkan ulang.
Berhubung tidak menyimpan soft copynya, terpaksa mengetik ulang.
Ini dia!
***
Tulisan ini saya buat untuk menanggapi tulisan adik Yonalita
Vevia (selanjutnya saya sebut YV ) yang dimuat dalam Lampost Minggu 28
April 2002 rubrik GENDER.
Ditilik dari namanya, adik YV adalah seorang perempuan,
seperti saya; walaupun nama tersebut tidak seperti nama saya tapi mencerminkan
nama seorang muslimah pada umumnya (yang biasanya diambil dari bahasa arab),
juga seperti nama saya.
Adik YV mengawali tulisannya dengan sebuah pernyataan bahwa
Islam adalah agama yang universal, yang di dalamnya mengatur segala aspek
kehidupan manusia (semoga itu sebuah pengakuan yang tulus), tetapi dalam isi
dan akhir tulisan tersebut saya menemukan beberapa buah pikiran yang mengusik
saya, sebagai muslimah untuk menanggapinya.
Beberapa hal yang akan saya tanggapi adalah
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1 . Dan biar
bagaimanapun poligami yang terjadi saat ini pada hakekatnya merupakan
penghinaan terhadap perempuan, sebab
mana ada perempuan yang rela dan bersedia dimadu, sebagaimana halnya laki-laki
mana ada yang rela dan bersedia dimadu, walaupun memang tidak mustahil ada
perempuan yang rela dan bersedia menerima poligami, tapi karelaan atau
kesediaan dari satu atau sejumlah perempuan tidak boleh dijadikan acuan
menggeneralisasi apalagi memaksakan seluruh perempuan dapat menerima hal yang
sama.
Dari cuplikan kalimat di atas saya menangkap bahwa adik YV:
- menggeneralisir bahwa poligami yang ada
saat ini merupakan penghinaan terhadap perempuan.
- menggeneralisir bahwa semua
perempuan tidak rela dimadu.
- menuntut perempuan sama persis dengan laki-laki
- khawatir dengan adanya beberapa perempuan
yang rela dan bersedia dimadu, semua perempuan dipaksa untuk menerima hal yang sama.
2. Kerelaan yang
jarang dan langka terjadi itu muncul apabila perempuan memandang atau
menempatkan dirinya sebagai harta atau obyek yang dimiliki suami, bukan melihat
dirinya sebagai subyek atau individu yang merdeka, yang memiliki seperangkat
hak. Dengan demikian penerimaan poligami oleh perempuan bergantung pada seperti
apa dia memandang dirinya, sebagai subyek (mungkin yang dimaksud adalah obyek
(pen) atau individu yang memliki hak sebagaimana layaknya seorang manusia.
Dan kalimat di atas dapat dimaknai bahwa adik YV menuduh perempuan
yang menerima poligami berarti merendahkan dirinya, menempatkan dirinya sebagai
obyek, bukan sebagai subyek atau individu atau sebagai manusia merdeka bahkan
bukan sebagai manusia (layaknya).
3. Dengan kata lain, poligami hanyalah sebuah pintu darurat kecil yang dipersiapkan untuk situasi dan kondisi darurat. Itupun disertai syarat besar, keharusan berlaku adil, yang rasanya hanya bisa dipenuhi segelincir orang.
3. Dengan kata lain, poligami hanyalah sebuah pintu darurat kecil yang dipersiapkan untuk situasi dan kondisi darurat. Itupun disertai syarat besar, keharusan berlaku adil, yang rasanya hanya bisa dipenuhi segelincir orang.
- Adik YV beranggapan bahwa
polgami boleh dilakukan dengan sangat terpaksa, untuk kondisi yang sangat darurat.
- Yang bisa memenuhi
syarat poligami hanya Nabi Muhammad Saw. seorang, laki-laki lain tidak akan
sanggup.
4. Dan satu hal yang menjadi peringatan bagi kita,
perkembangan sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kaum
perempuan. Ketika masyarakat memandang derajat perempuan hina, poligami menjadi
subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang derajat perempuan terhormat,
poligami menjadi berkurang.
- Adik YV menutup tulisannya dengan kesimpulan bahwa
poligami adalah penghinaan terhadap perempuan.
Tulisan berikut merupakan sebuah upaya untuk memandang
poligami dari sudut keotentikan ajaran Islam (insyaallah), bukan dari sudut
pandang perasaan seorang perempuan.
Ketika kita bicara tentang aturan hidup yang
diundang-undangkan oleh Sang Pencipta untuk kebaikan hidup seluruh manusia
(ciptaan-Nya), maka yang adil adalah, kita berusaha memahaminya dari sudut
ke-Maha Kasih Sayang-Nya Sang Pencipta kepada seluruh manusia, bukan dari
kepentingan/keegoisan seorang/sekelompok manusia.
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..."(Terjemah QS An Nisa : 1 )
Dalam Islam, perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci,
yang mana lembaga tersebut merupakan salah satu sarana ibadah kepada Allah.
Perkawinan bukan sekedar sarana untuk menunaikan naluri seksual manusia, bukan
pula sekedar sarana menjaga keberlangsungan keturunan, bukan sekedar
keteraturan sosial di masyarakat, walaupun itu semua tercakup dalam tujuan
disyariatkannya perkawinan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Terjemah QS Ar Rum : 21)
Manusia diciptakan dari bahan yang sama dan mempunyai tugas
hidup umum yang sama ( yaitu beribadah kepada Allah) tetapi memiliki tugas
hidup khusus/teknis/fungsi yang berbeda, sesuai dengan jenis kelaminnya.
Kalau laki-laki dan perempuan mengemban fungsi yang persis
sama, mengapa pula Allah menciptakannya dalam bentuk berbeda?
Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling menolong,
saling mengisi, bersama-sama menciptakan dan menikmati ketentraman dan kasih
sayang yang bersemi di antara mereka. Dan kalau kita mau jujur, tidak salah
bila kita menangkap makna ayat di atas, bahwa Allah menciptakan beberapa
perempuan (istri-istri) untuk seorang laki-laki.
“...maka kawinilh wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja...”(Terjemah QS An Nisa : 13)
Mengapa laki-laki diizinkan mengawini lebih dari satu
perempuan, sedangkan perempuan tidak?
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain...” (Terjemah QS. An Nisa : 34)
Apakah semua laki-laki diperkenankan mengawini lebih dari
satu perempuan?
Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa laki-laki yang
memenuhi syarat untuk itu adalah laki-laki yang dapat menjadi pemimpin yang
adil.
Poligami diperuntukkan bagi laki-laki yang taat kepada Allah
sehingga dia dapat mempertanggung-jawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah.
Dia tidak menyebabkan poligami menjadi fitnah dan masalah di bumi ini.
Perempuan-perempuan yang menjadi istri pertama, kedua,
ketiga dan keempat, juga seharusnya adalah perempuan-perempuan yang taat kepada
Allah, sehingga dia bisa menjalani kehidupannya dengan tentram dan penuh kasih
sayang Dia tidak mempermasalahkan nomor urutnya, dia hanya berusaha maksimal
memerankan fungsinya sebagai istri, karena nomor urut tidak membedakan
fungsinya sebagai istri. Semua istri mempunyai tugas yang sama, yaitu
mewujudkan ketentraman dan kasih sayang dalam keluarga.
Bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah poligami masih
relevan dilaksanakan?
Jika jumlah laki-laki sama dengan jumlah perempuan atau
jumlah laki-laki lebih banyak dari jumlah perempuan, maka persoalan poligami
akan lenyap dengan sendirinya. Tetapi pada kenyataannya tidak demikian, justru
jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Menghadapi kenyataan tersebut,
kita dihadapkan pada beberapa pilihan:
1. Membiarkan laki-laki memelihara
perempuan-perempuan lain selain istri tunggalnya dan ini berarti mengakui dan
menyuburkan perzinahan.
2. Membiarkan sebagian perempuan hidup di dunia
tanpa suami sampai mati, hidup dengan tekanan karena naluri keperempuanannya
tidak tersalurkan, yaitu naluri kasih sayang kepada suami, naluri seksual,
naluri berketurunan dan naluri keibuan serta naluri-naluri yang lain yang masih
sangat banyak.
3. Memperbolehkan poligami.
Saya kira tidak ada perempuan terhormat yang memilih menjadi
perempuan simpanan atau teman selingkuh yang hidupnya bergelimang dosa dan
dikejar rasa kegalauan karena status yang tidak jelas. Juga mungkin jarang
ditemui perempuan-perempuan yang mampu menjalani hidup normal, bahagia dan
tetap terhormat tanpa suami di sisinya.
Bagaimana agar poligami dapat menjadi sebuah solusi?
1. Setiap kita hendaknya memahami konsep poligami
sesuai dengan sumber aslinya, tanpa mengotorinya dengan pemikiran-pemikiran
sekuler atau apapun namanya, sehingga kesuciannya sebagai risalah ilahi
terjaga, tanpa dicampuri hawa nafsu rendah laki-laki maupun perasaan cemburu
perempuan yang berlebihan.
2. Hendaknya laki-laki yang akan berpoligami
benar-benar yakin dengan kemampuannya dalam memimpin istri-istrinya, mampu
berbuat adil minimal dalam hal yang bersifat lahiriah (catatan kaki terjemah
QS. An Nisa :3 terbitan Depag RI) dan mempunyai kemampuan harta untuk
menghidupi istri-istri dan anak-anaknya sampai Allah menjemput ajalnya.
3. Hendaknya laki-laki yang akan berpoligami
memberikan pemahaman kepada istri-istrinya, baik istri pertama, kedua atau yang
ketiga, sehingga penerimaannya dengan hati yang ikhlas.
4. Hendaknya istri pertama berusaha memahami alasan
suami dan dapat menerima kehadiran madunya dengan persahabatan.
5. Hendaknya istri yang baru tahu diri sebagai
pendatang, menghormati istri terdahulu, jangan mencoba mengusik posisinya dan
mengacaukan rumah tangganya. Hendaknya dia takut kepada Allah sehingga tidak
menjadi sumber fitnah.
Kalau poligami dilaksanakan dengan keimanan, keikhlasan dan
etika yang baik, insyaallah poligami tidak akan bermasalah, justru akan menjadi
sebuah solusi bagi permasalahan sosial saat ini.
Satu hal yang mungkin kita lalai, ketika terjadi
ketidak-sesuaian antara hukum Allah sebagai pencipta dan kemauan manusia
sebagai ciptaan-Nya, manusia terlalu sombong untuk mengakui ketidak-mampuannya
dalam memahami hukum Allah tersebut, bahkan sering terjadi manusia dengan
kelebihan akalnya mempertanyakan bahkan menggugat hukum Allah tersebut dengan
dalih reaktualisasi atau relevansi atau apapun istilahnya, yang pada intinya
adalah, manusia tersebut sedang mencoba menggantikan posisi Allah dengan hawa
nafsunya sebagai tuhan-tuhan baru di permukaan bumi ini.
Padahal, walau seluruh manusia di jagad raya bersepakat
mengubah hukum Allah, tetapi toh pada perhitungan akhir nanti, parameter yang
digunakan tetap saja hukum Allah.
Jadi, manusia yang cerdas adalah yang dapat memposisikan dirinya sebagai hamba Allah yang taat, karena dia yakin bahwa seluruh alam ini nantinya akan kembali kepada Allah.
Wallahu’alam bishshowab.
Penulis : Dra. Neny Suswati
Direktur wilayah Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Keluarga
Sakinah LPPKS-BKPRMI Lampung
***
Pihak media berhak memotong naskah jika dipandang kurang efektif n efisien.
Aih, tulisan Umi Neny emang selalu keren (Y)
ReplyDeleteTerima kasih, Indriw wae
Delete