Tuesday, January 13, 2015

Hambatan Kreativitas

"Hilmy mana, Bi? Kok nggak ada suaranya?" tanya Umi, bangkit meninggalkan dapur, mencari tahu keberadaan anak sulungnya yang berusia hampir tiga tahun. Sempat terbersit kekhawatiran, anaknya keluar rumah dan bermain di jalan raya atau bermain air di saluran pembuangan rumah tangga yang mengalir di depan rumah. Abi mencari di depan rumah, sedang Umi ke kamar.

"Masyaallah, Hilmy!"

"Ada apa, Mi?" tanya Abi, menghampiri Umi yang mendapati sulungnya sedang asyik sendiri di kamar depan, tempat menyimpan perlengkapan jahit. Dilihatnya Hilmy sedang menatap Umi dengan sorot menunggu reaksi. Di tangannya tergenggam gelas plastik berisi bedak bayi yang diberi air.

"Kenapa bedaknya dikasih air?" tanya Umi.

"Buat susu," jawab Hilmy.

Mendengar jawaban itu, Umi dan Abi senyum-senyum menahan tawa.

"Yok, buat susu sama Umi. Kalau ini bedak, dipakai untuk wajah dan badan setelah mandi, biar terasa lebih segar dan wangi." Umi menuntun Hilmy ke dapur dan membimbingnya membuat susu sendiri.

***.

"Umi, boleh minta telur mentah, satu aja?" tanya Hilmy, sepulang dari sekolah. Siswa kelas satu SD ini belum berganti pakaian.

"Untuk apa?" tanya Umi, mengalihkan perhatiannya dari kain yang sedang dipotong untuk membuat baju pesanan pelanggannya.

"Mau buat sate telor."

"Boleh, tapi nanti kalau sudah makan," jawab Umi, heran. Sate telor seperti apa ya?

"Umi nyimpan tusuk sate, ya?"

"Ada, di tempat sendok."

Setelah makan Hilmy mengocok telur itu dengan garpu, diberi sedikit garam. Kemudian menyalakan kompor minyak tanah, menuangkan minyak goreng ke kuali yang sudah ditempatkan di atas kompor. Setelah minyak goreng panas, dimasukkannya satu sendok telur kocok itu, lalu dengan menggunakan tusuk sate, telur yang hampir matang itu diputar-putar. Diulanginya hal itu sampai telur tadi habis. Umi memperhatikan semua yang dilakukan anaknya.

"Belajar di mana buat sate telor?" tanya Umi, saat mencicipi hasil masakan anaknya.

"Di sekolah ada tukang sate telor, tiap hari aku beli sambil ngeliatin cara buatnya," jawab Hilmy sambil menikmati hasil karyanya.

***
"Kenapa harus dikerjakan sendiri, kan sudah ada dekoratornya?" tanya Umi, saat sulungnya menyatakan keinginan membuat dekorasi untuk pelaminannya.

"Nggak dibatalin, Mi, cuma pengen konsep yang desainnya aku buat sendiri," jawabnya, sambil menunjukkan gambar-gambar desain yang sudah dibuatnya.

"Artinya tambah biaya untuk beli bahan ini?" tanya Umi, sambil menunjuk desain berbahan dasar styrofoam buatan Hilmy.

"Kreativitas memang butuh biaya, Mi."

"Apa momennya tepat? Saat ini kita butuh dana banyak dan sulit diprediksi. Harga bahan pokok, terutama untuk konsumsi lagi tinggi-tingginya."

"Justru ini momen tepat, kesempatan berkreasi untuk walimah sendiri. Aku puas, kreasi tersalurkan, syukur-syukur bisa jadi bisnis pasca nikah."

"Umi tau, tapi masalahnya, kita harus bisa mengelola dana yang ada, agar mencukupi. Dana untuk konsumsi itu besar banget lho, belum lagi yang tak terduga, urusan kecil-kecil tapi harus pakai dana."

Hilmy menyandarkan punggungnya, menundukkan kepala.

"Seingat aku, dari kecil, penyaluran kreativitas sering terhambat dana."

Nyessss.

Umi terdiam. Terasa ada yang menyelusup ke hati. Entahlah! Perih, mungkin. Tapi tidak menyalahkan sepenuhnya, memang benar adanya. Bukan karena pelit, bukan pula kurang usaha untuk memenuhinya, tapi lebih sebagai kondisi yang harus diterima dengan lapang. Justru kondisi itu yang dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan.

Alhamdulillah! Dengan kondisi itu, hasilnya sudah terwujud nyata. Seorang pria berusia belum cukup 20 tahun, relatif mandiri, berani mengambil keputusan dan layak dijadikan contoh untuk adik-adiknya.

No comments:

Post a Comment