Thursday, January 8, 2015

Dilema Seorang Dai

Menjadi da'i itu keren! Mengapa!

Da'i adalah orang yang perkataannya paling baik di hadapan Allah.
"Siapakaah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata, 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.'"(QS Fushilat ayat 33)
Subhanallah! Siapakah yang tak ingin mendapat predikat ini? Menjadi orang yang perkataannya layak didengar,diperhatikan lalu diikuti? Siapakah yang tak ingin mendapat predikat yang diberikan oleh Allah, sedang sekedar digelari oleh manusia saja sudah berbangga diri?

Apalagi kalau kita perhatikan sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
"Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala mereka yang mencontohnya. Dan barang siapa mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi dosa mereka yang menirunya." (HR Muslim dari Jarir bin Abdillah ra.) 
Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Tidak semua Muslim melakukan aktivitas keda'ian, bahkan yang menyedihkqn banyak Muslim yang menghalangi dakwah, bila tidak ingin dikatakan ingin menghancurkannya.

Menjadi da'i ideal itu tidak mudah.

Beban berat yang menjadikannya tidak mudah adalah, sebagai seorang manusia, da'i memiliki kelemahan. Termasuk menghadapi dirinya sendiri. Sangat tidak mudah melaksanakan ayat berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." QS As Shaf ayat 2-3.
Mengatakan kebaikan itu mudah, berbeda dengan melakukannya.
Selama tidak tuna wicara, semua kita bisa mengatakan kebaikan, tetapi untuk melaksanakannya, selain butuh kemampuan dan kemampuan, juga kegigihan dalam konsistensi.

Belum lagi terkait dengan orang-orang terdekat.
Beberapa kisah nabi yang menghadapi ujian ini antara lain, Nabi Ibrahim dengan ayahnya sang pembat berhala, Nabi Luth dengan istrinya yang berpihak pada kaum homo dan lesbi. Nabi Nuh dengan anaknya yang tidak mau masuk golongan yang ditolong Allah, juga Nabi Muhammad Saw. dengan paman-paman yang disayanginya, tapi menolak cahaya kebenaran yang dibawanya.

Apakah kemudian para nabi Allah itu mundur dari tugasnya? Meninggalkan dakwah?

Ternyata tidak!

Nabi tetap mengemban tugas dakwah, karena pada prinsipnya, hidayah itu hak Allah, akan diberikan pada siapa yang gigih menggapainya, bukan karena kepiawaian para da'i dalam menyampaikan dakwahnya.

Hanya saja, para da'i harus menyiapkan mental untuk menghadapi ujian sejenis ini. Mengajak manusia ke jalan Allah dalam berbagai aspek kehidupannya, tapi pada kenyataannya ada satu-dua aspek yang dirinya belum mampu melaksanakan. Bukan tidak mau, tapi belum "mampu". Belum lagi suami/ istri, anak-anak, dan keluarga besarnya.

Bagaimana antisipasinya?

Mungkin kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi, apalagi mencegah apa yang Allah kehendaki. Tapi kita bisa memilih sikap dalam berdakwah.

Bayangkan ketika kita bicara keras tentang larangan sesuatu, apalagi terkesan menyerang orang-orang yang melakukannya, ternyata, di luar sepengetahuan, orang-orang terdekat kita justru melakukan itu. Bisa dibayangkan bila fakta itu dibalikkan untuk menyerang kita?

Bukan sekedar masalah rasa malu, tapi lebih dari itu, dikhawatirkan apa yang kita lakukan termasuk bentuk pencedaraan dakwah! Orang-orang yang tidak suka dengan dakwah bersorak-sorai melihat apa yang kita pertontonkan.

Maha Benar Allah yang menuntun kita dengan petunjuknya di Al Qur'an surat An Nahl ayat 125 yang artinya:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih nengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."

No comments:

Post a Comment