“Apakah Ibu bersefia membuatkan seragam majelis ta'lim untuk mengikat pilihsn kami?” Ibu ketua MT yang
kami kunjungi siang itu menyampaikan aspirasinya di akhir acara.
Sebelum mike diberikan kepada Bu Nurul, ustadz Pembina MT
tersebut memintanya dan berbicara kepada peserta dengan bahasa setempat, yang
intinya mengingatkan, jangan menjadi orang munafik, berjanji mau mendukung
kepada semua calon, tapi hanya mau ambil hadiahnya.
“Terima kasih, Ibu-ibu sudah berterus terang. Mari kita
bicara Ibu, agar tak ada salah paham. Mungkin untuk membuat satu stel seragam
membutuhkan dana sekitar seratus sampai dua ratus ribu, kita ambil yang minimal
saja. Kalau penduduk di kabupaten ini sekitar 400.000, kemudian kami harus
menyiapkan hadiah dengan nilai 100.000, setidaknya dana yang harus tersedia
sekitar 40 M.” Bu Nurul diam sejenak, menebar pandangan ramah ke seluruh
peserta.
“Uang siapa yang dipakai untuk memberi hadiah itu? Berapa
biaya untuk sekedar membuat stiker dan banner agar informasi sampai ke
masyarakat? Suami saya diperintahkan PKS untuk menjadi calon bupati bukan
karena banyak uang, tapi karena dianggap paham kondisi daerah yang diwakilinya
selama 3 periode di DPR. Di Senayan memang banyak amplop berseliweran, bukan
hanya ratusan juta, tapi miliaran. Tapi itu uang tidak jelas, di luar uang
gaji, namanya gratifikasi. Suami saya sangat berhati-hati dalam urusan ini,
tidak mau menerima uang selain uang gaji.”
Peserta pengajian serius memperhatikan Bu Nurul, entahlah,
mungkin baru sekali ini mendapatkan penjelasan seperti itu. Di sebagian
masyarakat memang terasa gejala saling memanfaatkan. Para calon yang sedang
menjaring suara, memanfaatkan keluguan masyarakat. Tapi kenyataannya, sebagian
masyarakat justru menggunakan situasi seperti itu. Bagi mereka, mumpung ada
kesempatan, manfaatkan sebaik-baiknya, sebab belum tentu saat mereka
benar-benar jadi pemimpin, nasib mereka diperbaiki. Mereka mungkin tidak tahu atau tidak mau tahu,
uang siapa atau dari mana sumbernya, yang dipakai untuk dibagi-bagikan ke
masyarakat saat para calon dan teamnya memperkenalkan diri.
“Ibu-ibu ingin pemimpin yang kaya dan memberi hadiah tapi
membiarkan kebocoran anggaran pemerintah, atau pemimpin yang amanah, menggunakan
anggaran untuk kepentingan rakyat? Ibu ingin hadiah seragam yang hanya seratus
dua ratus ribu atau sarana pendidikan, jalan dan pembinaan yang baik untuk
masyarakat? Bukankah system dan sarana pendidikan yang baik merupakan hadiah
yang lebih layak diterima oleh anak-anak ibu?”
Satu dua peserta menundukkan kepala, sebagian lagi masih
menunggu penjelasan berikutnya, yang lain senyum-senyum, mungkin merasa
aspirasinya selaras dengan penjelasan Bu Nurul.
“Ibu, berikan dukungan kepada calon yang Ibu nilai sanggup
memimpin daerah ini, mampu meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Terlalu murah
kalau dukungan ibu hanya senilai satu stel seragam dengan melupakan peluang
kebaikan untuk keluarga ibu. Suami saya melaksanakan perintah untuk mencalonkan
diri, harapannya bisa lebih banyak lagi yang bisa dilakukan untuk memberikan kebaikan untuk masyarakat dibanding
menjadi seorang anggota dewan. Silakan dukung dan doakan, bila menurut ibu, suami saya layak memimpin daerah ini.”
Hmm, andai semua calon pemimpin mau terbuka dan berbicara
seperti ini dengan calon pemilihnya, setidaknya proses pendidikan politik di
masyarakat bisa berjalan. Proses pencerdasan masyarakat akan berlangsung dengan
baik.
No comments:
Post a Comment