Monday, June 8, 2015

Buatkan Kami Seragam

“Apakah Ibu bersefia membuatkan seragam majelis ta'lim untuk mengikat pilihsn kami?” Ibu ketua MT yang kami kunjungi siang itu menyampaikan aspirasinya di akhir acara.

Sebelum mike diberikan kepada Bu Nurul, ustadz Pembina MT tersebut memintanya dan berbicara kepada peserta dengan bahasa setempat, yang intinya mengingatkan, jangan menjadi orang munafik, berjanji mau mendukung kepada semua calon, tapi hanya mau ambil hadiahnya.

“Terima kasih, Ibu-ibu sudah berterus terang. Mari kita bicara Ibu, agar tak ada salah paham. Mungkin untuk membuat satu stel seragam membutuhkan dana sekitar seratus sampai dua ratus ribu, kita ambil yang minimal saja. Kalau penduduk di kabupaten ini sekitar 400.000, kemudian kami harus menyiapkan hadiah dengan nilai 100.000, setidaknya dana yang harus tersedia sekitar 40 M.” Bu Nurul diam sejenak, menebar pandangan ramah ke seluruh peserta.
“Uang siapa yang dipakai untuk memberi hadiah itu? Berapa biaya untuk sekedar membuat stiker dan banner agar informasi sampai ke masyarakat? Suami saya diperintahkan PKS untuk menjadi calon bupati bukan karena banyak uang, tapi karena dianggap paham kondisi daerah yang diwakilinya selama 3 periode di DPR. Di Senayan memang banyak amplop berseliweran, bukan hanya ratusan juta, tapi miliaran. Tapi itu uang tidak jelas, di luar uang gaji, namanya gratifikasi. Suami saya sangat berhati-hati dalam urusan ini, tidak mau menerima uang selain uang gaji.”

Peserta pengajian serius memperhatikan Bu Nurul, entahlah, mungkin baru sekali ini mendapatkan penjelasan seperti itu. Di sebagian masyarakat memang terasa gejala saling memanfaatkan. Para calon yang sedang menjaring suara, memanfaatkan keluguan masyarakat. Tapi kenyataannya, sebagian masyarakat justru menggunakan situasi seperti itu. Bagi mereka, mumpung ada kesempatan, manfaatkan sebaik-baiknya, sebab belum tentu saat mereka benar-benar jadi pemimpin, nasib mereka diperbaiki.  Mereka mungkin tidak tahu atau tidak mau tahu, uang siapa atau dari mana sumbernya, yang dipakai untuk dibagi-bagikan ke masyarakat saat para calon dan teamnya memperkenalkan diri.  

“Ibu-ibu ingin pemimpin yang kaya dan memberi hadiah tapi membiarkan kebocoran anggaran pemerintah, atau pemimpin yang amanah, menggunakan anggaran untuk kepentingan rakyat? Ibu ingin hadiah seragam yang hanya seratus dua ratus ribu atau sarana pendidikan, jalan dan pembinaan yang baik untuk masyarakat? Bukankah system dan sarana pendidikan yang baik merupakan hadiah yang lebih layak diterima oleh anak-anak ibu?”

Satu dua peserta menundukkan kepala, sebagian lagi masih menunggu penjelasan berikutnya, yang lain senyum-senyum, mungkin merasa aspirasinya selaras dengan penjelasan Bu Nurul.

“Ibu, berikan dukungan kepada calon yang Ibu nilai sanggup memimpin daerah ini, mampu meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Terlalu murah kalau dukungan ibu hanya senilai satu stel seragam dengan melupakan peluang kebaikan untuk keluarga ibu. Suami saya melaksanakan perintah untuk mencalonkan diri, harapannya bisa lebih banyak lagi yang bisa dilakukan untuk memberikan kebaikan untuk masyarakat dibanding menjadi seorang anggota dewan. Silakan dukung dan doakan, bila menurut ibu, suami saya layak memimpin daerah ini.”

Hmm, andai semua calon pemimpin mau terbuka dan berbicara seperti ini dengan calon pemilihnya, setidaknya proses pendidikan politik di masyarakat bisa berjalan. Proses pencerdasan masyarakat akan berlangsung dengan baik.



No comments:

Post a Comment