Monday, May 18, 2015

Hadiah Yang Mengecewakan

Gadis kecil itu tak mampu menyembunyikan rasa kecewanya. Dia menangis menerima hadiah yang dikirimkan panitia penyelenggara lomba melalui gurunya. Bisa jadi dia sangat terpukul melihat apa yang ada di hadapannya tidak seperti yang ada dalam bayangannya.

Kemarin, saat panitia menelepon Abi, menyampaikan berita gembira itu, mendapat juara II, dia begitu gembira dan langsung membuat rencana dengan hadiahnya.

Dia sudah merancang, 20 % akan dibagikan ke pendamping dan teman-temannya yang berasal dari tempatnya belajar, 80 % akan dimasukkan rekening.

Sebenarnya dia tidak ada rencana ikut, mengingat dua hari setelah lomba akan menghadapi ujian akhir SD. Tapi sehari sebelum hari H lomba, dia berubah pikiran, karena dapat informasi, lombanya hanya sebentar.

Dia ikut lomba menggambar kaligrafi. Tentu iming-iming hadiah yang besar mempengaruhi niatnya.
Dalam pengumuman, hadiah pertama sebesar Rp.1.500.000 percabang lomba, hadiah kedua Rp.1.250.000 dan seterusnya.

Kiriman itu berupa sebuah piala, piagam dan amplop yang berisi uang Rp.500.000 dan surat permohonan maaf dari panitia, karena hadiah tidak sesuai yang dijanjikan.

Dia menangis. Umi membiarkannya, sampai dia tertidur.

Setelah shalat, dia masih masih cemberut memandangi hadiah-hadiah itu.

"Kenapa menangis?" tanya Umi, sambil membelai kepalanya.

"Itu!" jawabnya, sambil menunjuk hadiah-hadianya yang masih berserak di tempat tidur. Dia menangis lagi.

"Kemarin waktu daftar lomba, bayar nggak?" tanya Umi. Dia menggeleng.

"Awalnya nggak mau ikut, kan? Trus Allah membuka hati Husna untuk ikut, supaya ada jalan rizki itu sampai. Bayangkan, hanya duduk nggak sampai dua jam, melakukan kegiatan yang memang Husna suka, hadiahnya piala dan piagam, yang kalau dirawat dengan baik, nanti anak-anak Husna bisa melihat. Ditambah uang Rp. 500. 000. Itu rizki yang luar biasa banyak, lho. Pernah menghitung, nggak? Untuk dapat uang segitu, mbak yang kerjanya nyetrika baju itu butuh waktu berapa lama? Tukang roti yang keliling itu butuh berapa hari?"

Dia masih menangis. Umi memahami kekecewaannya. Sangat wajar untuk anak seusianya.

"Panitia lomba itu sudah kerja keras, lho. Bayangkan! Mereka sudah mengadakan lomba dengan segala kerepotannya, mungkin sudah dilakukan sebulan sebelumnya. Mengumpulkan dana dari para donatur untuk terselenggaranya acara dan menyediakan hadiah yang tidak sedikit. Mereka yang cape, tidak dibayar. Tapi rizki Allah yang menentukan. Panitia ingin memberikan hadiah yang besar, tentunya dengan perhitungan yang matang, tapi Alllah mengujinya dengan pemasukan yang tidak sesuai dengan pengeluaran yang direncanakan. Yang jelas, panitia juga merasa nggak enak hati, membuat para juara kecewa dengan hadiah tidak sebesar yang direncanakan."

Dia tidak menangis lagi, diam mendengarkan, walau wajahnya masih cemberut.

"Allah akan menambah nikmat bagi hamba-hamba-Nya yang bersyukur." Umi meninggalkannya, memberi kesempatan untuk meresapi kata-katanya.

Memang tidak mudah menghadapi anak-anak seusianya. Kalau tidak tepat menyikapinya, rasa kecewa itu bisa membuat luka yang sulit disembuhkan.

Alhamdulillah, sore harinya dia sudah ceria. Bersemangat latihan soal matematika menghadapi ujian akhir.

Selamat berjuang sholihah cantik, semoga sukses. Jadilah manusia yang selalu bersyukur. Mampu melihat takdir-Nya dengan kacamata syukur, walau itu butuh proses dan latihan yang terus menerus.

Barokallah.




No comments:

Post a Comment