Tulisan ini bukan hasil penelitian ilmiah para
psikolog ataupun hasil kerja dari lembaga survey tertentu, sekedar pengalaman
pribadi dan teman teman seprofesi , profesi tanpa gaji, he he he maksudku ibu ibu
.
Kalau sedang berfikir waras, lurus, logis,
rasanya tak mungkin seorang ibu yang telah rela berjuang bertaruh nyawa untuk
menghadirkan anaknya ke dunia, tega melakukan hal tersebut. Bagaimana mungkin?
Ketika bayi disusui, digendong, di timang- timang, dirawat, rela kurang tidur,
kurang istirahat, tidak sempat mengurus diri, setelah besar malah dibentak,
dimarah, dipandang dengan kejengkelan, puncaknya tanganpun maju, memukul.
Masyaallah. Tega sekali?
Bila seorang ibu
berfikir seperti itu, di malam hari, memandangi anaknya yang pulas tidur, bisa
dipastikan, yang dilakukannya adalah... menciumi anaknya yang sedang tidur
dengan deraian air mata . . . maafkan ibu nak, maafkan ibu, hu hu hu. Hati
terasa menggumpal sesak, penyesalan yang begitu mendalam sampai ke dasar hati
sedasar dasarnya. Kemudian berusaha menenangkan diri, berwudhu lalu sholat,
bermunajat... tenangkah yang diperoleh? Belum, air mata tumpah ruah lebih
banyak lagi, mengingat dosa dosanya, rasa takutnya, penyesalannya. . . mohon
ampunannya, mohon kesabaran dariNya. Taubat ? ya, taubat! Saat itu taubat,
andainyapun tidak malu, diakuinya itu taubatan nashuha, taubat yang setaubat
taubatnya. Barulah didapat ketenangan itu, pergi tidur memeluk anaknya, seolah
tak ingin dilepas lagi pelukan itu.
Esok harinya, ketika matahari menyingsing,
menampakkan kemerahannya, aktifitas di mulai kembali. " Bangun nak, sudah
siang, lihat mentari tlah menampakkan
sinarnya. Dengar kokok ayam tlah menyambut pagi, malu pada pada burung yang
siap mencari rizki. Adzan subuh tlah berkumandang, sejak tadi, ini kali ketiga
ibu membangunkanmu. Sholat subuh naaak. Cepatlah, nanti kesiangan untuk
persiapan berangkat sekolah. Energi munajat semalam masih ada, masih
berpengaruh pada kesabaran, suara masih lembut, masih bisa ditekan, sambil
tangan mulai mengelus dada perlahan, seolah menghilangkan gumpalan kecil yang
berusaha untuk tumbuh dan membesar. Sabarrrrrr.
Ketika anak anak sudah pergi sekolah,
tinggallah si ibu berdua saja dengan sang balita yang menggemaskan ( ketika
hati ibu sedang bahagia ) tetapi dia berubah menjadi sangat menyebalkan dan
menjengkelkan ketika banyak hal yang membuat kisruh hati sang ibu. Berbagai
persoalan menumpuk menjadi gunungan dalam hatinya, dari rasa ketidak puasan
respon suami terhadap persoalan keluarga, dari urusan uang belanja yang lebih
sering kurang daripada cukup, urusan
rumah tangga yang harus diselesaikannya sendiri, urusan ikut bantu bantu suami
menambah penghasilan, belum lagi ibu ibu yang aktifis, hhhh, rumyek! Rentan
stres! Akhirnya? Terjadi lagi, terjadi
lagi. Memanggil dengan teriak ketika anaknya tidak segera muncul ketika
panggilan pertama, melotot ketika anaknya tlah hadir dihadapannya, menarik
tangannya dengan kasar ketika anaknya
akan melakukan perbuatan bahaya yang tadi telah dilarangnya, bila tak juga
sesuai dengan yang diharapkan,... terjadi lagi... terulang lagi, tangan
melayang ke paha sikecil, walaupuuuuun dengan energi yang katanya kecil,
sedikit, ringan. Mungkinkah memukul dengan ringan bila dilakukan dalam keadaan
jengkel, marah? Buktinya? Tanganpun terasa panas, mau berkilah lagi?
Astaghfirullah.
Kasihan sang ibu,
selalu dalam posisi terpojok atau dipojokkan, baik oleh orang lain maupun diri
sendiri. Lima jari tangannya menuding balik ke dadanya, “ kamu memang tidak
sabaran, kamu pemarah, kamu temperamental, kamu emosional kamu...kamu...kamu...
!” tambah streslah si ibu.
Menurut psikologi
dan pendidikan modern, kekerasan terhadap anak sangat tidak bisa diterima,
apapun alasannya, kemudian muncullah lembaga lembaga anti kekerasan dalam rumah
tangga, terutama anak. Kita saksikan sekarang, bagaimana anak berseteru dengan
ibunya atau ayahnya, minta perlindungan kepada pihak lain untuk melawan orang
tuanya, ck ck ck dunia sudah terbalik, harusnya orang tua melindungi anaknya dari pihak luar, ini...?
Tapi kita juga
harus membuka mata terhadap pemandangan yang lain, ketika kita menyaksikan ada
ibu yang sangaaaaat lembut, tidak pernah bicara kasar pada anaknya, tidak
pernah memarahinya, bila akan menegur kesalahan anaknya didahului dengan kata
kata,” maaf ya nak, . . .” yang terjadi? Boleh geleng kepala, ketika menyaksikan
anak anak seusia TK masih seenaknya loncat loncat di sofa ketika sedang ikut
ibunya pengajian di rumah tetangga, lewat di depan ibu ibu dengan berlari
sambil melangkahi piring piring berisi kue yang disajikan, sebentar ada anak
kecil menangis ternyata korban jitakannya atau mainannya diambil tanpa izin,
alias direbut, masyaallah.
Itu baru beberapa
fenomena yang sempat diperhatikan, pada kenyataannya tentu lebih beragam lagi.
Oke, kita kembali
pada judul, Mengapa ibu memukul anaknya?
1. Karena ibu sedang tidak bahagia, ketika ibu bahagia maka segala yang
tidak mengenakkan akan ternetralisir oleh perasaan bahagianya, jadi bantulah
agar ibu bahagia. Bapak, jika ibu bahagia maka yang paling merasakan efek
positif dan keuntungannya yang pertama adalah sampeyan bapak, kemudian anak
anak, jadi bantulah agar ibu bahagia.
2. Sering seringlah ibu memperoleh situasi yang memotivasi dan
mengingatkan tentang tugas besar dan mulianya sebagai pendidik generasi.
Suasana yang itu itu saja, suntuk, membosankan, sangat besar pengaruhnya
sebagai pemicu stres. Jelas, kondisi stres akan menggiring suasana batin ibu ke
arah tidak bahagia.
3.
Haramkah memukul anak? Dalam
tuntunan Islam tidak dilarang, untuk hal hal yang memang diperlukan terutama
dalam mencapai tujuan pendidikan. Memukul
bukan karena tidak sabar atau karena emosional! Lho? Ya memukullah saat tidak marah, ha ha ha
mungkinkahhh?
Sekali lagi ini bukan tulisan ilmiah, silahkan
diambil manfaatnya kalau ada, atau bisa dijadikan bahan diskusi. Sekedar
curahan hati.
No comments:
Post a Comment