“ Umy, Hany Home schooling saja ya?”
Heh? Daun telingaku seakan berdiri mendengar suara
dari belakang punggung. Memang sejak tadi gadis tanggungku tiduran di belakang
punggung, tak ada suara sebelumnya, tak ada tanda tanda akan ada yang
dibicarakannya. Kufikir sedang membaca, karena tadi sekilas dia datang kulihat
memegang buku. Segera kuhentika tarian jemari di atas keyboard. Kubalikkan
badan, sepenuhnya menghadap padanya, yang ternyata ... masyaallah, sedang
terisak. Kugeser tubuh, kuraih kepalanya dan kurengkuh dalam peluk pangkuanku.
Ku usap kepalanya mengikuti alur rambutnya, kubiarkan dia tumpahkan air
matanya, sesak dadanya, beban batinnya. Setelah kuyakin dia lebih tenang dari
tarik nafasnya, kuangkat kepalanya, kuisyaratkan agar dia duduk dengan lebih
nyaman.
“ Sekarang cerita sama Umy, apa yang terjadi, koq
Hany bilang seperti itu?”
Masih dengan sisa sisa isaknya, bicaralah dia dengan
penuh emosi.
“Hany cape dibandingkan dengan mas terus. Hany sudah
berusaha berubah, memperbaiki diri, tapi tetap saja sikap mereka bikin hati
keqi!”
“Mereka siapa?” tanyaku, masih belum mengerti.
“ Ustadz, utadzah, kakak kakak, temen temen,
semuanya!”setengah berteriak dia luapkan emosinya.
Aku mengerti, sangat mengerti.
“Bukannya Hany sekarang sudah homeschooling? Kan
sudah nggak nginap di pondok lagi? Pagi diantar, pulang dijemput, tidur di
rumah, malam di rumah.”
“Hany pengen homeschooling full.” Jawabnya mantap.
Hmmm, bukan saat yang tepat untuk berembug, tunda
dulu, tunggu waktu yang tepat.
“Oke, sementara ini Hany tenangkan hati dulu, biar
nanti Umy bicarakan dengan Abi. Anggaplah Hany homeschooling, lakukan apa yang
akan Hany rencanakan dengan homeschooling full itu.”
Hmmm, ujian lagi. Soal baru lagi. Inilah romantika
jadi orang tua yang banyak anak, satu masalah teratasi, muncul masalah lain
lagi, sabarrrrr, hanya itu penghibur hatiku.
Malamnya kubicarakan masalah ini dengan Abi. Aku
faham bagaimana perasaannya, berat bebannya. Bukan suatu hal yang mudah untuk
urusan pindah sekolah. Hany sudah empat tahun di pondok tahfiz yang sama dengan
dua kakaknya. Keduanya sudah selesai dengan programnya, hafal 30 juz, dengan
predikat yang baik. Giliran Hany, ada saja laporan yang tidak nyaman di
telinga. Dari urusan tidak memenuhi target setoran, sering terlambat sholat
berjamaah, tidak ikut tahajud di masjid, sering membolos sekolah umum dan
sebagainya. Aku tahu, dari kecil Hany paling anti dibanding bandingkan. Kami
sebagai orang tua tahu, tapi orang lainkan tidak tahu? Tidak mau tahu? Mereka
akan berkomentar sesuai dengan pendapatnya, seleranya, tidak perduli dengan
perasaan orang yang dikomentari.
Baru dua bulan Hany pindah ke pondok tahfiz yang
lebih dekat rumah, minta kebijakan untuk nyantri kalong, karena ustadznya kenal
baik, ya di izinkan. Dan pindah sekolah, mana ada yang gratis, jelas lebih
mahal dibandingkan dengan biaya daftar ulang di sekolah yang sama.
Ini peristiwa ulangan, hanya sedikit beda masalah. Kesekian
kalinya aku harus berperan sebagai jembatan, antara kemauan dan kondisi anak
dengan beban dan kondisi Abi yang sangat aku fahami. Bagaimana aku harus
bersikap bijak, membicarakan dengan Abi mencari solusi terbaik untuk masalah
ini. Tiga tahun lalu anak pertamaku juga begini, baru masuk boarding school dua
bulan, minta keluar, ingin menempuh pendidikan gaya ulama salaf, menuntut ilmu
yang disukainya, tanpa terikat dengan lembaga formal. Belum lagi anak ke empat,
adik Hany, baru dua bulan masuk pondok tahfiz Quran, juga minta keluar, kembali
ke SDIT.
Mungkin ada sebagian orang tua berkomentar,”Koq mau
maunya mengikuti kemauan anak?”
Aku maklum kalau ada yang berkomentar seperti itu,
tapi bagi kami, setiap orang tua, setiap keluarga mempunyai kebijakan masing
masing dalam mengelola keluarga dan rumah tangganya. Kami sekeluarga sepakat,
bertekad menjadikan Hafizh Quran, hafal Al Quran sebagai cita cita yang harus
di capai, bi iznillah, dengan izin Allah tentunya. Maka konsentrasi pada
pendidikan awal anak anak kami adalah bagaimana hal itu tercapai sebelum
mencapai lainnya. Jadi tak ada paksaan dalam pelaksanaannya, kami saling bantu.
Anak anak dengan kerja keras dan ketekunannya dalam menghafal, kami orang tua
berusaha semaksimal mungkin memfasilitasi untuk mencapai hal tersebut. Tak ada
keharusan harus sekolah di mana atau mondok di mana, yang jelas tidak bergeser
dari orientasi menjadi Hafizhul Quran.
Ini lontaran masalah yang harus dicari solusinya. Sambil
menunggu kemantapan hati Hany, aku berusaha mempersiapkan segala sesuatunya,
seandainya benar benar dia yakin dengan tekadnya, sedang Abi, berusaha mencari
informasi tempat tempat yang mungkin di masuki seandainya Hany berubah fikiran
dan ingin mondok lagi. Ini bukan yang terakhir, kami harus selalu bersiap
dengan kejutan kejutan lain dari anak anak kami.
Kami beri waktu seminggu untuk memutuskan. Aku lihat
kesungguhannya, dia buat target, satu juz akan dihafalkannya selama seminggu,
satu juz atu minggu. Dia buktikan, hari pertama berhasil menghafal empat halaman,
begitu juga hari kedua. Aku senang melihat semangatnya, sambil berfikir mana
sanggup aku melakukan itu? Tapi masalahnya bukan hanya menambah hafalan, banyak
lainnya. Bagaimana setorannya, bagaimana menjaga kualitas bacaannya, bagaimana
penjagaannya, dsb.
Benar benar belajar
sepanjang hayat. Mereka, anak anakku, mereka juga guruku, mereka yang
menyampaikan ilmu kehidupan kepadaku, subhanallah
No comments:
Post a Comment