“Apa yang memberatkan fikiran Mamak? Membuat gundah?
Eny perhatikan, setiap doa usai sholat Mamak selalu menangis, kadang sampai
tersedu?” tanyaku sambil melipat mukena, setelah sholat berjamaah dengan Mamak.
Memang selalu kuusahakan untuk sholat berjamaah dengan belaiu saat mengunjunginya.
“Mamak tidak pernah bisa menahan air mata ketika
berdoa. Semua anak anak mamak, juga bapak, selalu Mamak doakan, tapi ada
penghalang ketika akan mendoakan mbakmu, Lia.” jawabnya lirih, kerut merut di
wajahnya semakin menunjukkan kerentaannya. Usianya 85 tahun, terhitung panjang
umur dan relatif sehat menurut ukuran dewasa ini.
Lia, kakak sulungku. Perjalanan hidupnya telah
membuat sesalan tiada akhir di hati Mamak, ibu kandungnya, yang telah
mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidiknya.
***
1972
“Mengapa harus Jogja Pak? Terlalu jauh, Lia anak
perempuan.” Mamak minta penjelasan, apa alasan Bapak mengizinkan mba Lia
sekolah di Jogja.
“Di sini belum ada sekolah perawat, apalagi yang ada
asrama dan beasiswa. Nggak apa apa Mak, Lia pemberani, dia akan bisa menjaga
diri.”
“Tapi Liakan sudah tamat SMA, sedang sekolah perawat
itu setara dengan SMA? Kan sayang usia tiga tahun berlalu terbuang?”
“Ya nggak terbuang, tetap saja pelajaran SMAnya
terpakai. Kalau mengandalkan ijazah SMA, sulit mendapat pekerjaan yang agak
lumayan, kalau jadi perawatkan mudah mendapatkan pekerjaan, dan lagi, cita cita
Lia memang ingin jadi perawat.” Bapak tetap mantap dengan keputusannya.
“Tapi itukan sekolah agama lain? Tentunya peraturannya
sesuai dengan agama mereka? Lia muslimah lho Pak, bagaimana nanti dengan
ibadahnya bila tinggal di asrama dengan aturan agama lain?”
“Tidak ada persyaratan tentang agama, siapapun yang
lulus tes bisa diterima, dan Lia sudah membuktikan bahwa dia layak masuk asrama
itu.”
Jawaban tegas Bapak membuat Mamak tak lagi dapat
bicara, tatapan matanya mengisyaratkan beliau tak ingin lagi mendengar perkataan
Mamak selanjutnya, dengan wajah menunduk, ditinggalkannya Bapak. Tak ada lagi
yang dapat dilakukan kecuali menangis, hatinya tak setuju, tapi tak mampu
membujuk Bapak tuk membatalkan keberangkatan sulungnya.
***
1975
“Mengapa harus di sana? Apa tidak bisa mencari
pekerjaan di rumah sakit atau klinik di sini? Itukan Rumah Sakit di bawah
naungan agama lain, tentu asramanya juga pakai aturan agama mereka?” Mamak
berusaha mencegah mba Lia yang minta izin merantau ke kota lain.
“Mak, dari SD, SMP, SMA, SPK, Lia sekolah di sekolah
mereka, nyatanya sampai saat ini Lia tetap muslimah, apa itu bukan bukti bahwa
Lia kuat? Lia tetap mempertahankan kemusliman Lia walaupun di lingkungan
mereka?” mba Lia berusaha meyakinkan Mamak.
“Sudahlah Mak, jangan takut berlebihan begitu, benar
apa yang Lia bilang,” Bapak menimpali, memperkuat argumen mba Lia.
Tak ada yang bisa dilakukan Mamak, kecuali masuk ke
kamar dan menangis, menyesali diri, karena tak mampu mencegah kepergian
sulungnya untuk yang kedua kali masuk ke lingkungan yang membahayakan
aqidahnya.
***
1977
Apa yang ditakutkan Mamak terjadi. Mba Lia datang
dan mengabarkan sudah berpindah agama. Bagai dihantam godam Mamak mendengar
berita ini. Tiga hari tiga malam Mamak menangisinya, sakit terasa hatinya,
lebih sakit andainya ditikam belati atau disayat sembilu.
Darah dagingnya, anak yang dilahirkan, disusui,
ditimang dan diasuhnya dengan segala pengorbanan dan rasa sakitnya, memilih jalan
lain. Pupus harapannya mendapat doa anak sholihah, habis impiannya tuk bahagia
bersama di surga seperti yang diangankannya.
Sebulan setelah seremoni perpindahan agama, mba Lia
menikah dengan pria yang seagama dengannya. Mamak tak mengizinkan pernikahan
itu di rumahnya, pun tak hadir ketika pernikahan itu, hanya Bapak, aku dan
kakakku yang saat itu belum begitu faham masalah itu.
***
Ibu tetaplah ibu, yang begitu mudah memaafkan apapun
kesalahan yang dilakukan anaknya. Mamak tetap memperlakukan mba Lia sebagai
anak dan menerima suaminya sebagai menantu, tetapi itu secara fisik, tetapi
luka hati itu tak juga mengering, bahkan sampai saat ini.
“Apa Mamak tidak ridho dengan kehendak Allah?
Bukankah setiap takdir semua atas kehendak Allah, termasuk yang terjadi pada
mba Lia?” hati hati sekali kutanya Mamak.
“Mamak berusaha ihklas dan ridho atas kehendak
Allah, tapi sedih ini sulit sekali hilang dari hati, apalagi ketika Mamak
ingat, mungkin tak lama lagi akan menghadap Allah, malu dan takut, apa yang
akan mamak katakan? Mamak diberi amanah, tetapi tidak mampu menajganya.”
“Allah Maha Melihat, Maha Adil. Tentunya usaha Mamak
untuk mencegah terjadinya hal itu juga dinilai sebagai bentuk tanggung jawab
Mamak terhadap amanah itu.”hiburku.
“Mamak takut, usaha Mamak dinilai belum maksimal.”
“Mak, Eny ingin, di hari tua Mamak bisa hidup dengan
tenang, menikmati ibadah, lebih dekat dengan Allah. Pasrahkan semua pada Allah
yang Maha Pengampun, manfaatkan waktu yang ada untuk berdzikir sebanyak banyaknya,
semoga sesalan Mamak menjadi sebab ampunanNya. Semua manusia sudah ditentukan garis hidupnya, kita
hanya mengikuti ketentuan itu sebagai ujian perjalanan hidup. Setiap diri
bertanggung awab atas perbuatannya.”
Mamak memelukku erat, adem rasanya. Kuusap air
matanya dengan ujung jariku, Mamak tersenyum, kucium pipinya. Dipeluknya lagi
aku dalam dekapannya, giliranku menitikkan air mata haru, kulantunkan doa
dengan suara lirih,” Yaa Rahman, sayangi Mamak dan bahagiakan beliau di hari
tuanya, berikan khusnul khotimah dan keluasan surga untuknya.”
***
No comments:
Post a Comment