Belum ada jawaban Kiki.
Mungkinkah jarak yang membentang menyurutkan langkahnya? Menyuburkan
keraguannya? Apakah memang dia hanya mempermainkan perasaanku? Tapi aroma rindu
itu masih kurasakan bahkan semakin mengental.
“Nia! Tolong buatkan kopi nduk,
bapak sudah mulai ngantuk, sedang pekerjaan belum selesai.”
“Nggih pak.” Aku segera beranjak
ke dapur, memenuhi permintaan bapak.
Aroma kopi yang kuaduk perlahan dengan teknik mengaduk yang
diceritakan Kiki dalam postingan postingannya, justru membawaku melayang,
menghadirkan bayangan Kiki. Secara fisik aku belum faham betul, maklumlah,
hanya melhat dari profil facebooknya. Tapi aku merasakan begitu dekat
dengannya, walaupun mengenalnya hanya lewat postingan dan inboxan beberapa kali.
Ada yang berdesir dalam hati, seperti desir ketika aku membaca postingan
kerinduan Kiki di KBM. Apakah virus rindu sudah menjangkiti hatiku? Ahhh , apa
aku sudah sama gilanya dengan Kiki? Merindukan seseorang yang belum pernah
bertemu? Apakah mangkuk hatiku sudah menampung kerinduannya?
Ahhhh, benar benar gila. Kekuatan virus merah jambu mampu
menembus jarak dan waktu rupanya, akankah aku jadi korbannya?
“Nduk! Mana kopinya? Ketiduran ya?” terdengan suara bapak
memanggilku, sempat membuatku terlonjak, tersadar dari lamunan.
“Nggih pak, sudah jadi koq,” jawabku sambil melangkah ke
ruang tengah. Setelah kopi kuletakkan di meja, kuambilkan kaleng biskuit di
lemari, sebagai peneman kopi.
“Nia bobok duluan nggih Pak?” pamitku.
“Ya tidurlah duluan, terima kasih kopinya.”
“Ya Pak, sama sama.”
***
Sanggupkah aku menerima tantangannya?
Menemui orang tuanya? Sekedar bertemukah? Berkenalan dulu?
Atau itu bahasa isyarat Nia agar aku segera melamarnya?
Sampai kapankah aku harus menahan siksaan kerinduan ini?
Cukupkah rindu atau mungkin kata Lutfi, cinta, ini menjadi dasar aku
melamarnya?
“Fi, maksud Nia meminta aku menemui orang tuanya apa ya?”
“Bego banget sih lo, Ki! Ya itu artinya minta dilamar!”
“Secepat itu?”
“Trus lo pikir suruh apa?”
“Ya mungkin maksudnya kenalan dulu, pedekate dulu.”
“Pacaran maksud lo?”
“Mungkin begitu.”
“Ooo, jadi lo nggak ngerti maksud Nia? Artinya lo belum
faham dong sama dia?”
“Belum faham gimana?”
“Yaaa, payah lo! Nia tuh jenis manusia anti pacaran!”
“Ngerti lah Fi, Nia nggak bakalan mau pacaran seperti pada
umumnya, yang pake ketemuan dan seterusnya yang mengarah pada maksiat, tapi
inikan nggak ketemu? Pacaran jarak jauhlah.”
“Itukan pikiran lo, emang gitu yang dipikir perempuan?
Terutama Nia?”
“Belum faham banget sih.” Jawabku ragu.
***
Rasa ini benar benar telah menyiksaku, setiap hari aku
menantikan postingan Kiki. Sykurlah, setiap hari Kiki selalu posting di KBM,
entah itu cerpen, puisi atau curhat singkat. Kadang kuhitung sampai lima kali
posting sehari, dan tentunya tetap dengan aroma kerinduan yang semakin terasa.
Ternyata kerinduan membuatnya lebih produktif menulis.
Nia
Ya?
Maaf, dalam waktu
dekat aku belum bisa menemui orang tuamu.
Tak kujawab, bingung menjawabnya. Aku senang jika Kiki
menyapaku, lewat inbox, tapi kalau ini dibiarkan, sepertinya akan mengganggu
hati, mengurangi bahkan menghilangkan kekhusyu’anku.
Nia
Ya?
Koq nggak jawab?
Aku bingung
menjawabnya.
Apa Nia keberatan?
Gimana ya? Apa itu artinya
Kiki nggak sungguh sungguh?
Bukan! Bukan begitu,
tapi aku harus menyiapkan segala sesuatunya, dan sepertinya sulit kalau bisa
kuselesaikan dalam waktu dekat.
Oke, Nia berusaha
untuk percaya, tapi tolong , jangan inbox sebelum jelas kapan tanggal
kesanggupan Kiki menemui bapak. Satu hal lagi, Nia ingin menikah dengan orang
yang benar benar bisa menjadi imam, menuntun Nia di jalan Allah dan sampai
selamat kesurgaNya nanti.
Maaf Ki, itu semua
untuk kebaikan kita, terutama kebersihan hati. Aku tak ingin mengotorinya,
mengganggu kekhusyuan ibadahku, mengertilah. Percayalah, kalau Kiki memang
orang yang ditentukan Allah sebagai jodoh dan imam bagi Nia, maka Dia akan
memudahkan jalannya.
Tapi Nia . . .
Bersungguh sungguhlah,
niat baik akan dipermudah Allah untuk mewujudkannya.
Air mata ini tak sanggup bertahan dikelopak mata. Tumpah! Itu
artinya kerinduan ini akan semakin memanjang, sanggupkah aku meniti hari hari
dengan gelayutan rindu yang semakin memberat.
Aku teringat kisah Ibrahim bin Adham, seorang hamba yang
sholih yang begitu mencintai Allah, rindu berjumpa denganNya, gelisah ingin
selalu berjumpa denganNya, dia melantunkan doa untuk menenangkan hatinya.
“Ya Allah, ridhakan aku dengan ketentuanMu, sabarkan aku
atas ujianMu dan tuntunlah aku untuk mensyukuri nikmatMu, karena kerinduan ini
akan menemukan ketenangannya di akherat.”
Walaupun doa ini untuk kerinduan jumpa dengan Allah,
sepertinya bisa kupakai untuk menentramkan hati.
Doa ini juga yang selalu
kupakai ketika rindu membuncah pada ibu yang terpisah jarak.
***
Jawaban Nia membuatku lunglai. Apa yang bisa kulakukan?
Hehhhh!
Menulis, menulis dan menulis! Sementara itulah jalan
keluarnya.
No comments:
Post a Comment